Pengetahuan yang berakar dari tradisi dan kepercayaan budaya setempat telah dimilki masyarakat Indonesia sejak lampau. Seiring bergulir masa, pengetahuan tersebut semakin tergerus. Disisi lain, pengetahuan lokal diperhadapkan pada kesangsian atas nama reliabilitasnya di era kekinian.
Pengetahuan tradisi banyak terkait dengan penafsiran atas gejala alam sebagai penanda peristiwa. Peristiwa yang dimaksud kerap bersambungan dengan aktivitas mata pencarian yang bergantung pada pengelolaan sumber daya alam.
Bagi masyarakat tradisi, penanda (signifiant) tersebut penting, sebab menjadi acuan untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan. Perubahan iklim dan kejadian bencana merupakan gejala pada sistem alam yang menuntut manusia melakukan adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan mata pencarian.
Selain penafsiran atas pertanda (signified), pengetahuan tradisi juga memuat batasan dan larangan untuk laku tertentu. Dengan sengaja, pengetahuan tersebut berusaha mempertahankan keberlanjutan dan keselarasan dalam sistem alam dalam jangka panjang.
Baca juga: Cerita Orang Marena Berjuang Peroleh Hak Kelola Hutan
Beberapa gagasan dan inisiatif menggali dan mengangkat kembali pengetahuan lokal sekarang coba untuk kembali digulirkan. Namun, upaya serius untuk benar-benar mendalaminya masih dapat dihitung dengan jari.
Tulisan ini berpangkal pada inisiatif memberi “nyawa” kembali pada nanaku -pengetahuan lokal berbasis tradisi di Maluku. Sebagai bagian dari upaya kapitalisasi modal sosial masyarakat untuk melakukan penyesuaian dan respon terhadap perubahan pada sistem alam, termasuk perubahan iklim dan kejadian bencana.
Nanaku , diturunkan lewat media tutur (disebut kapata) oleh para tetua dan diwariskan dari leluhur. Kelembagaan adat dan agama memegang peran sentral menjaga tradisi tersebut.
Laiknya tradisi lisan, hampir tidak ditemukan dokumentasi tertulis yang utuh merangkum petanda dan tafsir peristiwa atas pertanda tersebut. Saat pengetahuan ilmiah berkembang , Nanaku terlampaui dan tertinggal jauh dibelakang kemampuan pengetahuan ilmiah menafsirkan gejala.

Berpijak pada keyakinan bahwa nanaku merupakan alternatif pengetahuan yang bisa didayagunakan memperkuat ketahanan iklim, upaya menghidupkannya kembali dilakukan. Namun jalan mewujudkan tujuan tersebut tidak sederhana, tantangan pertama ditemui pada proses penelusurannya.
Sebagai tradisi lisan, penutur yang tersisa adalah para sepuh yang mengandalkan ingatan. Karena itu perlu usaha sungguh-sungguh menyatukan potongan-potongan pengetahuan yang dimiliki masing-masing penutur.
Tantangan berikut, upaya merevitalisasi nanaku kerap dibenturkan pada kompatibilitasnya dengan pengetahuan ilmiah. Generasi yang lebih muda cenderung meyakini pengetahuan ilmiah sebagai sumber informasi tunggal yang valid.
Belum lagi sifat lokalitas nanaku, bisa berbeda dalam satu wilayah yang memiliki kedekatan geografis sekalipun. Pada langkah yang lebih jauh, muncul kebimbangan untuk menempatkan nanaku dalam sistem formal pemerintahan desa sebagai produk kebijakan.
Sebuah Program USAID-APIK bersama Yayasan Walang Perempuan yang memulai inisiatif merajut ulang pengetahuan lokal tersebut. Pengetahuan yang berserak dari sumber penutur dikumpulkan, dituliskan dan diberi tafsir.
Untuk menjawab keraguan atas reliabilitas pengetahuan tersebut, kumpulan pengetahuan melalu proses validasi dengan basis ilmiah coba untuk dikumpulkan dan ditafsirkan. Lewat proses pembelajaran, maka diketahui bahwa sebagian nanaku mampu dijelaskan dengan pendekatan ilmiah dan rasionalitas nalar.
Semisal, keyakinan untuk tidak melaut saat bulan purnama, maka dapat dijelaskan bahwa terjadi gaya tarik bulan dan aktivitas migrasi ikan nokturnal ke perairan yang lebih dalam untuk menghindari terang.
Lainnya, jika ada cacing laor (famili Eucidae) hinggap di tanaman, maka itu akan menjadi tanda pergantian musim. Cacing laor yang muncul di laut dangkal dan zona intertidal yang hangat, berdasarkan pengamatan akan keluar dari laut dua kali setahun untuk reproduksi. Laor muncul pada kuartal awal dan akhir pada setiap siklus tahun.
Beberapa nanaku juga menggambarkan bagaimana pengetahuan tersebut tidak terbatas hanya pada tafsir atas pertanda, namun juga kebiasaan dan larangan.
Seperti nanaku yang berlaku untuk tanaman umur pendek semacam tomat, cabe dan sayur-sayuran, seperti tidak diperkenankannya membakar tempurung kelapa di sekitar area tanaman. Sebab diyakini, aktivitas ini menyebabkan bunga gugur, buah rusak dan menyebabkan daun tanaman menjadi kering.
Secara rasional, pembatasan tersebut dijelaskan lewat reaksi tumbuhan dalam menerima pengaruh perubahan, atau gangguaan akibat polusi udara atau perubahan lingkungan.
Penambahan konsentrasi pencemar ke udara secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, mengakibatkan kerusakan yang terjadi pada gangguan nutrisional dan atraksional biologis yang berakibat pada penurunan tingkat kandungan enzim.
Sedangkan gangguan pada respon fisiologis adalah perubahan pada sistem fotosintesis, dan gangguan yang tampak adalah perusakan zat hijau daun, daun berbintik dan mengurangi hasil panen.
Contoh lain adalah nanaku laut. Masyarakat meyakini waktu yang baik untuk memancing ikan dasar adalah dua hari sebelum bulan baru, yaitu bulan hari 29 atau periode bulan gelap.
Secara astronomis, pada posisi bulan 29 (hitungan bulan dengan menggunakan kalender komariah) akan terjadi kondisi arus kencang sehingga banyak ikan dasar muncul ke permukaan, sehingga akan mudah mendapatkan ikan dasar.
Namun tentu saja dimungkinkan terdapat sejumlah nanaku yang tidak bisa mendapatkan justifikasi ilmu pengetahuan, sebab terkait dengan sesuatu yang irasional. Pada titik ini, penulis beranggapan hal ini bukan berarti otomatis melemahkan nanaku, sebaliknya masih diperlukan penggalian untuk memperoleh konotatif pemaknaan dari sebab nanaku itu dibuat.
Dalam perspektif yang berbeda, nanaku masih menunjukkan potensinya untuk menjadi alternatif informasi dan narasi bijak.
Setidaknya nanaku akan turu untuk mempertahakan keberlanjutran sistem alam atas ancaman laku perusakan dan eksploitasi oleh manusia. Lagipula, kesenjangan atas akses informasi masih menjadi tantangan yang belum tuntas terselesaikan antar wilayah di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, menjadi logis jika peran tradisi dapat jadi pemecah kebuntuan.
* Suryani Amin, penulis adalah Community-based Climate Change Adaptation Advisor Program USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK). Tulisan ini merupakan opini penulis.