Program analisa dan evaluasi kapal (Anev) eks asing sebagai bagian dari kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak 2014 dinilai tidak pernah efektif setelah berjalan selama empat tahun hingga sekarang. Ketidakefektifan itu terjadi karena semua kapal yang dinyatakan masuk dalam kelompok terlarang untuk beroperasi, hingga saat ini tidak mendapatkan sanksi.
Padahal, menurut Direktur Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, program Anev sudah dilaksanakan hingga empat kali oleh Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, selama pelaksanaan tersebut, tak satu kapal pun yang mendapatkan sanksi tegas dan berat. Padahal, dari hasil Anev, kapal-kapal yang dimaksud sudah dinyatakan melanggar hukum Indonesia.
“Jika memang (Pemerintah) serius, maka sudah seharusnya dilakukan penegakan hukum. Akan tetapi, yang terjadi justru tanpa ada penegakan hukum atas temuan-temuan yang sudah didapatkan tim Anev,” ujarnya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Senin (13/8/2018).
Bagi Halim, ketidakseriusan tim Anev di bawah KKP, semakin menjelaskan bagaimana kinerja kementerian yang dipimpin Susi Pudjiastuti itu sebenarnya. Menurut dia, selama empat tahun berjalan program Anev, KKP seharusnya sudah bisa mendapatkan hasil yang jelas dan tegas. Setelah itu, KKP bisa bergerak maju untuk menyelesaikan persoalan yang ada di lingkungan perekonomian perikanan.
baca : Lolos Verifikasi Anev, 363 Kapal Eks Asing Harus Hapus Kepemilikan
Pada kenyataannya, Halim menegaskan, KKP justru seolah berlindung di balik program Anev untuk menyembunyikan bobroknya manajemen yang ada di dalam kementerian tersebut. Bahkan, tanpa ragu, dia menyebut kalau KKP selama empat tahun terakhir ini hanya fokus mencari-cari kesalahan pelaku usaha perikanan.
“Padahal, yang ada seharusnya KKP memastikan gerak ekonomi perikanan nasional bisa berjalan dengan baik dan terus naik. KKP tidak boleh lagi bertumpu pada upaya mencari kesalahan dari pelaku usaha perikanan, melainkan bagaimana membangun rasa saling percaya dan gotong royong antar pemangku kepentingan,” paparnya.
Dalam pandangan Halim, apa yang dilakukan KKP dalam kurun waktu empat tahun ini, tidak saja mencederai perlakuan yang adil terhadap semua pelaku usaha, tetapi juga semakin menegaskan bahwa kementerian tersebut sudah tidak sanggup mengurus sektor perikanan dan kelautan yang ditandai dengan ketidakmampuan menggerakkan ekonomi perikanan.
“Betapa tidak, itu sudah terjadi sejak Oktober 2014 dan hingga sekarang masih seperti itu saja,” tegasnya.
baca juga : Susi Sidak Pelabuhan Benoa, Temukan 56 Kapal Kabur Selama Moratorium. Kok Bisa?
Berulang
Melihat tidak ada perkembangan yang berarti, Abdul Halim pesimis program Anev akan membuahkan hasil positif dan bisa menggerakkan perekonomian nasional dari sektor perikanan dan kelautan. Sikap pesimis itu, membuat dia tak berani menilai akan ada perbaikan di sisa waktu periode kepemimpinan Susi yang sedang berakhir pada 2019 mendatang.
“Tidak ada kepastian di sisa waktu sekarang. Tidak ada harapan untuk menuntaskan Anev kapal eks asing. Bagaimana mau mengurus kapal domestik,” ucap dia dengan nada ragu.
Menurut Halim, walau KKP berniat untuk menuntaskan Anev dengan berbagai sanksi tegas, tetapi dia tetap meragukan itu akan terjadi. Dia menilai, jika program kembali dilanjutkan, yang terjadi justru akan terjadi pengulangan program dengan membidik obyek yang sama. Sementara, evaluasi dari program juga dipastikan tetap tidak ada seperti sekarang.
Akan tetapi, Halim kemudian menambahkan, jika KKP memutuskan akan menyelesaikan program Anev, maka sebaiknya fokusnya tidak hanya untuk mengejar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) saja. Akan tetapi, harus ada fokus lain yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan kapal-kapal eks asing dan sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perikanan.
“Anev dilakukan untuk menutupi ketidakbecusan pengelolaan program dan anggaran di KKP. Itu berimbas pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama lima tahun di sektor perikanan dan kelautan, karena hanya mampu memerangi pencurian ikan dan menerbitkan sejumlah aturan pelarangan tanpa memberikan kepastian hukum,” papar dia.
menarik dibaca : Menteri Susi: 400 Kapal Kabur Masuk Daftar Interpol
Dengan tegas, Halim menyebut bahwa program Anev tidak mampu memberi kepastian berusaha di sektor perikanan bagi masyarakat dan pelaku usaha perikanan. Jika sudah demikian, dia menilai sudah tidak layak jika program Anev digelar kembali.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, anggapan dari segelintir orang yang menilai bahwa program Anev untuk kapal eks asing hanyalah tindakan diskriminatif, jelas merupakan anggapan yang salah. Menurut dia, walau kapal eks asing menjadi prioritas, tetapi kapal lain, termasuk kapal domestik dalam negeri juga tetap menjadi target evaluasi yang dilakukan KKP.
“Tindakan diskriminatif dan tidak punya dasar hukum? Itu tidak benar juga. Evaluasi juga sudah ada, walau belum memadai untuk kapal domestik,” jelas dia.
Menurut Susan, sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Tidak Ramah Lingkungan, saat itu KKP langsung merespon dengan memeriksa kapal-kapal domestik berukuran besar. Dari hasil pemeriksaan itu, diketahui kalau kapal-kapal domestik banyak yang memalsukan ukuran dari ukuran sebenarnya.
“Jadi kalau buat hitungan, untuk upaya KKP mengurus kapal di Indonesia dan eks impor, dari 10, skor KKP baru 6. KKP fokus mengurus untuk kapal-kapal nakal kemarin yang markdown dan kapal-kapal yang ditenggelamkan karena terbukti mencuri,” jelas dia.
baca juga : Pemberantasan Kejahatan Perikanan Berlanjut, 12 Perusahaan Disanksi KKP
Tata Kelola
Susan mengungkapkan, selama empat tahun Susi Pudjiastuti memimpin sektor kelautan dan perikanan, banyak nelayan yang merindukan kepemimpinan dia untuk bisa menjangkau ke banyak hal. Dalam penilaian nelayan, Susi dalam empat tahun terakhir terlalu fokus pada penenggelaman kapal dan melupakan pengelolaan yang lain.
Susan mencontohkan, dalam tata kelola perizinan kapal perikanan yang ada di Indonesia, hingga saat ini kondisinya masih berantakan dan membuat bingung masyarakat beserta para pelaku usaha di bidang perikanan. Tata kelola tersebut, padahal menjadi salah satu hal yang dirindukan oleh masyarakat dan nelayan selama empat tahun terakhir.
“Sebenarnya nelayan ini rindu hal yang lebih konkrit dan bisa dilakukan KKP, bukan sekedar menenggelamkan kapal. Tiga tahun masa jabat ibu Susi, tentu di sisa masa jabatannya ada harapan besar toh,” tutur dia.
Dengan kinerja yang banyak minor, Susan pesimis KKP bisa memperbaiki segala persoalan dalam sisa waktu kepemimpinan Susi hingga 2019. Dia melihat, akan butuh perjuangan sangat keras agar persoalan yang sedang terjadi sekarang bisa diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya oleh KKP.
Susan mengungkapkan, yang bisa dilakukan oleh KKP di sisa waktu yang ada sebenarnya adalah memperbaiki tata kelola perizinan kapal. Dari temuan KIARA, dia mencontohkan, di Sumatera Utara ada ratusan izin kapal yang tidak jelas dikeluarkan. Kapal-kapal tersebut, diberikan izin melaut dengan status kapal jaring apung.
“Tetapi, kalau dicek di daerahnya, nelayan tradisional bisa jamin tidak ada itu jaring apung. Jadi, itu kapal-kapal siapa dan dari mana?” tanya dia.
baca : 3.136 Kapal Aktif Siap Manfaatkan Kelebihan Pasokan Ikan Tuna
Selain tata kelola, Susan menyebut, KKP wajib merampungkan evaluasi pada pelaku usaha perikanan yang nakal. Evaluasi itu, termasuk dengan memberikan sanksi kepada mereka yang sudah merugikan Negara dengan kebohongan ukuran (mark down) kapal dari sebenarnya.
Berikutnya, kata Susan, di sisa waktu yang tersisa, KKP wajib melakukan evaluasi atas program bantuan kapal yang selama ini dijalankan. Program bantuan tersebut, menurut dia, hingga saat ini masih belum terhubung dengan kebutuhan masyarakat, khususnya nelayan yang menjadi penghuni kawasan pesisir.
Hasil Anev
KKP mengeluarkan hasil Anev terakhir terhadap kapal penangkap ikan termasuk kapal eks asing pada 16 Juni 2016. Hasilnya 1.132 kapal eks asing yang ikut dalam proses anev terkait kebijakan moratorium kapal eks asing atau kapal yang pembuatannya dilakukan di luar negeri.
Sebanyak 363 dari 1.132 kapal eks asing yang dilarang beroperasi sejak moratorium eks kapal asing diberlakukan pada 2014, mendapat kesempatan untuk dioperasikan lagi. Namun, (KKP) mensyaratkan, ke-363 kapal tersebut harus melakukan penghapusan kepemilikan dari daftar kapal Indonesia.
KKP memberi kesempatan tersebut, menurut Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja saat itu, di Jakarta, Jumat (17/6/2016), tidak lain karena kapal-kapal tersebut dinyatakan tidak masuk dalam daftar hitam berdasarkan hasil analisis dan evaluas (Anev) yang dilakukan tim KKP seperti yang tertuang dalam surat tertanggal 16 Juni 2016.
“Melalui surat tersebut, kami ingin menyampaikan kepada pelaku usaha yang tidak masuk ke dalam daftar hitam agar segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapal perikanan eks asing yang dimiliki,” ungkap dia.
baca : Lolos Verifikasi Anev, 363 Kapal Eks Asing Harus Hapus Kepemilikan
Kegiatan anev ini, kata Sjarief, menghasilkan data tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perikanan tangkap maupun bidang terkait lainnya seperti kepabeanan, karantina, ketenagakerjaan dan lainnya.
“Pelaku usaha dengan tingkat kepatuhan baik masih dapat ditoleransi, tidak masuk dalam kelompok daftar hitam,” ujar dia.
Selain 363 kapal eks asing yang dinyatakan masuk dalam daftar putih dan bisa kembali beroperasi dengan syarat khusus, Sjarief Widjaja mengungkapkan, pihaknya juga menetapkan kapal eks asing yang masuk dalam daftar hitam (blacklist).
“Untuk pengusaha yang kapalnya masuk dalam blacklist, menurut dia, akan menjalani proses hukum dan/atau pemeriksaan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.