Majelis hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negera (PTUN) Denpasar bakal memutuskan gugatan terhadap pengembangan PLTU Celukan Bawang di Buleleng, Bali pada Kamis (16/8/2018).
Jelang putusan, warga dan Greenpeace yang mengajukan gugatan terus berusaha meyakinkan publik. Misalnya pada Kamis (2/8/2018), mereka mengadakan dengar pendapat dengan DPRD Bali. Sebelum masuk ruangan, belasan warga aksi di depan lobi gedung menyampaikan inti gugatannya.
Wakil Ketua DPRD Bali I Nyoman Sugawa Korry adalah satu-satunya anggota dewan yang menerima. Ia mengatakan akan sidak ke lapangan untuk melihat rencana ekspansi PLTU batubara ini dan menemui warga yang terdampak.
Ketut Mangku Wijana, warga penggugat menyebut kebun kelapanya sangat terdampak karena tinggal sekitar 200 meter dari instalasi. “Sejak pertama tak dilibatkan. Pohon kelapa saya mati, buahnya kecil. Mohon dewan sidak ke lapangan. Jika tetap batubara saya tolak karena berdampak,” urainya.
I Putu Gede Astawa, ketua salah satu kelompok nelayan menambahkan hasil tangkapan pada 2012-2013 bagus, namun setelah penanaman paku bumi penghasilan menurun. “Harus jauh menangkap ikan. Setelah PLTU berdiri, penghasilan drastis turun,” ceritanya sambil minta DPRD mencabut izin pengembangan instalasi ini.
Sugawa Korry mengaku sudah cukup mendapat penjelasan dari warga dan akan diteruskan ke komisi yang membidangi energi.
baca : Mengganggu Kesehatan, Limbah PLTU Celukan Bawang Bali Menuai Protes
Amdal
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) kerap jadi materi gugatan dalam kasus-kasus lingkungan. Demikian juga regulasi soal tata ruang.
Hal ini juga nampak dalam sidang gugatan masyarakat dan Greenpeace Indonesia terhadap Surat Keputusan Gubernur Bali No.660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang 2×330 MW di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar, Kamis (19/07/2018).
Tim pengacara kedua tergugat di antaranya Ketut Ngastawa, Simon Nahak, dan Hotman Paris Hutapea. Sementara pengacara penggugat adalah tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali dan Gendo Law Office yang diwakili I Wayan “Gendo” Suardana dan Adi Sumiarta.
Dalam persidangan, tergugat Gubernur Bali menghadirkan saksi ahli salah seorang tim penyusun Amdal PLTU Celukan Bawang, yaitu Made Sudiana Mahendra, peneliti Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana. Penggugat awalnya keberatan dengan saksi ahli ini karena bagian dari tim komisi Amdal, bagian dari alat bukti gugatan. Namun dikabulkan hakim asalkan tidak menjelaskan soal fakta-fakta atau menilai Amdal yang dia susun. Hanya terkait keahliannya sebagai ahli Amdal.
Sudiana menjelaskan semua Amdal 50 PLTU yang menggunakan batu bara lolos karena sesuai 10 kriteria tata laksana penilaian dan pemeriksaan dokumen lingkungan hidup dan Komisi Amdal berdasar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No8/2013. Masalahnya apakah selanjutnya RKL-RPL sesuai aturan yang ada.
Menurutnya, pembangkit listrik dari batu bara teroritis lebih ramah lingkungan “Sepanjang teknologi meminimalkan emisi yang dihasilkan dari proses itu dan tak melampui baku matu parameter lingkungan hidup,” jawabnya normatif.
baca juga : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali
Dia melihat PLTA tidak cocok di Bali karena potensi debit sungai yang kecil, sedangkan energy baru terbarukan seperti angin dan matahari belum siap. “Sesuai kebijakan nasional walau Bali tak memiliki batu bara, mesti menerima,” jelasnya.
Pengacara penggugat, Wayan Suardana atau Gendo mempertanyakan saksi yang menyatakan Bali krisis listrik. Saksi menjawab dari PPLH Unud, membaca dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan membimbing mahasiswa.
Saksi tidak mengatui ketika ditanya Gendo bahwa PLN menyebut Bali surplus listrik. Gendo menyebut dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang berlaku sampai 2026 tidak ada perluasan PLTU batu bara di Bali.
Mengenai sosialisasi pembangunan PLTU kepada masyarakat , Hotman Paris menjawab, “rakyat sudah pindah, sudah terima uang.” Dia meyakini bahwa jika warga sudah terima ganti rugi otomatis sudah dapat sosialisasi.
Sudiana juga menjelaskan penggunaan data kualitas udara di kerangka acuan Amdal data sekunder ditentukan oleh tim ahli.
baca : Limbah PLTU Celukan Bawang Membahayakan Manusia dan Lumba-lumba
Mengenai mekanisme penilaian Amdal, Sudiana menjelaskan Amdal PLTU harus mempertimbangkan Perda dan semua aturan dari tingkat nasional dan daerah. Kerangka acuan Amdal yang dibuat pemrakarsa diajukan ke tim penilai Amdal. Bila metodologi sesuai Peraturan MenLH, akan disetujui dan diterbitkan surat keputusan kerangka acuan Amdal.
Setelah itu dibuat Amdal dan dokumen rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RPL-RKL). Jika memenuhi 10 kriteria baru rekomendasi ke pemerintah untuk diterbitkan SK Kelayakan Lingkungan dan diikuti Izin Lingkungan.
Sepuluh criteria itu antara lain prakiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak dari aspek biogeofisik kimia, sosial, ekonomi, budaya, tata ruang, dan kesehatan masyarakat pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi usaha dan/atau kegiatan.
Dampak penting juga dievaluasi menyeluruh sehingga diketahui perimbangan yang bersifat positif dan negatif. Lainnya, rencana usaha dan/atau kegiatan tidak akan mempengaruhi dan/atau mengganggu entitas ekologis seperti spesies kunci, memiliki nilai penting secara ekologis, ekonomi dan ilmiah.
Sudiana menjelaskan dalam SOP Amdal diperkirakan besarnya dampak dan dirumuskan emisi zat pencemaran udara. “Tak hanya emisi juga semua komponen lingkungan,” jawabnya.
Tata ruang laut
Dalam sidang sebelumnya, dihadirkan sejumlah ahli, seperti ahli tata ruang. Agung Wardana, dosen Universitas Gadjah Mada bidang hukum lingkungan, yang menyatakan pembangunan PLTU harus memperhatikan ruang laut. Menurutnya UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) merupakan lex specialis dari UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang.
Untuk melakukan pengelolaan pesisir, maka pemerintah daerah wajib menyusun Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecial (RZWP3K) yang akan menjadi pedoman bagi pemanfaatan wilayah pesisir dan ruang laut.
Amdal yang dibuat oleh pemrakarsa menurutnya berdasarkan pada Perda RTRW Bali dan Buleleng (lex generalis) bukan pada Perda RZWP3K (lex specialis) dengan alasan Perda RZWP3K belum ada. Hal ini tidak sejalan dengan logika perencanaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di mana perencanaannya harus dibuat terlebih dahulu baru pemanfaatannya akan dilihat apakah sesuai dengan tujuan perencanaan atau tidak.