Pada Kamis (16/8), Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar menjatuhkan putusan terkait sengketa antara warga bersama Greenpeace yang menggugat Gubernur Bali Made Mangku Pastika terkait izin lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang Tahap II.
Mongabay mengikuti gugatan tersebut sejak diajukan pertama kali pada Januari 2018 dan persidangan selama lima bulan sejak Maret hingga putusan. Tak hanya di dalam ruang sidang, Mongabay juga melakukan liputan lapangan terkait bagaimana dampak PLTU Celukan Bawang yang sudah beroperasi sejak 2015 tersebut.
Laporan ini mengungkap bagaimana sengketa PLTU Celukan Bawang Tahap II ketika pembangkit yang sudah ada juga menimbulkan berbagai dampak bagi warga desa di bagian utara Bali tersebut.
***
“Hidup PLTU! Hidup Bang Hotman!” Teriakan bersahutan menggema di ruang sidang PTUN Denpasar, Kamis (16/8/2018) pekan lalu. Sekitar 20 orang di dalam ruang sidang pengadilan, sebagian besar laki-laki, berteriak sambil mengepalkan tangan ke atas. Mereka juga bersorak dan bertepuk tangan.
Pagi itu, Ketua Majelis Hakim yang juga Ketua PTUN Denpasar AK Setiyono membacakan putusan terhadap perkara No.2/G/LH/2018/PTUN.DPS terkait izin pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II sebesar 2×330 MW.
Dalam amar putusannya, majelis hakim dengan anggota Himawan Krisbiyantoro dan Anita Linda Sugiarto memutuskan tiga hal. Pertama, Dalam Penundaan, Majelis Hakim menolak permohonan penundaan pelaksanaan obyek sengketa yang diajukan Para Penggugat. Kedua, Dalam Eksepsi, Majels Hakim juga menerima eksepsi Tergugat II Intervensi bahwa para penggugat tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan gugatan.
Ketiga, Dalam Pokok Sengketa yang berisi dua poin. Satu, menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima. “Dua, menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp354.500,” Setiyono membacakan putusan di depan sekitar seratus pengunjung yang memenuhi kursi sidang.
baca : Warga dan Greenpeace Gugat Gubernur Bali terkait Izin Lingkungan. Kenapa?
Putusan itu disambut berbeda oleh masing-masing pihak, baik Para Penggugat maupun Tergugat, terutama Tergugat II Intervensi yaitu PLTU Celukan Bawang. Puluhan warga pendukung PLTU Celukan Bawang menyambutnya dengan tepuk tangan kemenangan.
Di depan ruang sidang dan di luar gedung PTUN Denpasar, ratusan warga yang mendukung gugatan menyambutnya dengan teriakan dan nyanyian, “Tolak, tolak, tolak PLTU.. Tolak PLTU sekarang juga..”
Salah satu peserta aksi maju ke depan peserta aksi menolak PLTU itu. “Harap tenang, kawan-kawan. Sebagai orang yang percaya pada proses hukum, kita akan tetap menghormati putusan hakim. Kita memutuskan banding untuk memperjuangkan keadilan!” teriaknya di depan massa yang sebagian besar mengenakan ikat kepala putih dengan tulisan merah “Tolak PLTU” itu.
Seusai sidang, massa yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Tolak PLTU meneruskan aksi di depan gedung PTUN Denpasar. Sementara itu massa yang mendukung PLTU keluar dari ruang sidang. Puluhan polisi, sebagian di antaranya bersenjata lengkap, membatasi kedua massa berbeda tuntutan ini.
Hingga aksi selesai sekitar pukul 12 WITA, suasana tetap terkendali meskipun massa pendukung dan penolak PLTU Celukan Bawang sempat bersitegang. Menjelang makan siang kedua massa, termasuk para penggugat dan tergugat, meninggalkan gedung PTUN Denpasar di Renon, kawasan pusat pemerintahan Provinsi Bali itu.
baca juga : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali
Empat Alasan
Sidang gugatan di PTUN Denpasar berjalan delapan bulan lamanya. Sebelumnya, pada 24 Januari 2018, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Bali mendaftarkan gugatan mewakili tiga warga Celukan Bawang dan Perkumpulan Masyarakat Indonesia Pecinta Lingkungan dan Perdamaian atau Greenpeace. Tiga warga itu adalah I Ketut Mangku Wijana, Baidi Suparlan, dan I Putu Gede Astawa. Bersama Greenpeace, mereka menggugat Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.
Warga dan Greenpeace menggugat Gubernur Bali yang telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali Nomor 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali tertanggal 28 April 2017. Mereka menggugat agar Gubernur Bali membatalkan SK Izin Lingkungan pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II itu.
Direktur LBH Bali Dewa Putu Adnyana mengatakan gugatan itu setidaknya karena empat alasan. Pertama, rencana pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II tidak melibatkan masyarakat dalam perencanaan. Ada empat desa yang kemungkinan terdampak pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II di pesisir utara Bali ini yaitu Celukan Bawang, Pengulon, Tinga-Tinga, dan Tukad Sumaga. Namun, menurut Dewa, warga tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan sama sekali.
Kedua, lokasi pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II tidak termasuk dalam zona rencana pembangunan wilayah Bali. “SK Izin Lokasi bertentangan dengan Undang-Undang No.1/2014 tentang Perubahan Undang Undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil karena objek gugatan tidak didasarkan pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K),” kata Dewa.
Ketiga, pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II yang berbahan bakar batu bara dianggap tidak sesuai dengan UU No.6/1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), terlebih kesepakatan Indonesia dalam Konferensi Parapihak (COP) 21 di Paris, Desember 2015 untuk mengurangi perubahan iklim.
“Padahal emisi batu bara terbukti paling potensial menyebabkan perubahan iklim,” tambah Didit Haryo Wicaksono, Pengampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
“Terakhir, SK Gubernur Bali itu juga tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik,” kata Dewa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.27/2012 tentang Izin Lingkungan dan Permen LH No.17/2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan.
baca juga : Hakim Diminta Pertimbangkan Dampak Perubahan Iklim Akibat Pembangkit Batubara
Masuknya Perusahaan
Meskipun gugatan itu untuk Gubernur Bali, tetapi pihak perusahaan PT PLTU Celukan Bawang kemudian mengajukan diri sebagai Tergugat Intervensi sejak hari pertama sidang pada 6 Maret 2018. Permohonan tersebut diterima sehingga pengacara Hotman Paris Hutapea pun hadir mewakili PT PLTU Celukan Bawang dalam sidang-sidang itu bersama tim penasehat hukum Gubernur Bali yaitu I Ketut Ngastawa dan rekan.
Adapun dari pihak penggugat juga kemudian hadir kantor pengacara I Wayan Gendo Suardana dan rekan selain tim LBH Bali sejak awal persidangan.
Selama lima bulan proses sidang, baik Para Penggugat maupun Tergugat dan Tergugat Intervensi menghadirkan saksi-saksinya. Ada nelayan dan petani di Celukan Bawang yang terdampak PLTU Celukan Bawang. Ada juga ahli AMDAL maupun ahli batu bara.
Hasilnya, majelis hakim PTUN Denpasar pun memutuskan perkara itu dengan menolak gugatan warga dan Greenpeace.
Pengacara PLTU Celukan Bawang Hotman Paris Hutapea mengatakan keputusan majelis hakim sudah benar. Menurutnya, mempersoalkan dampak pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II ibarat lapangan bola di Senayan bisa menimbulkan ikan di Ancol berkurang. “Sama persis dengan proyek PLTU. Jawabannya tentu tidak, karena ini proyek PLTU belum ada kegiatan,” kata Hotman.
Hingga saat ini pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II memang belum dilaksanakan. PLTU yang sudah beroperasi saat ini sudah ada sejak 2015 dan tidak mendapat gugatan hukum warga. PLTU yang akan dibangun ini masih berada di kawasan sama. Jaraknya kurang dari 1 km dari yang saat ini sudah beroperasi.
baca juga : Cerita Mereka yang Hidup di Sekitar Tambang Batubara dan PLTU
Tanggapan berbeda datang dari I Wayan Suardana, tim pengacara Para Penggugat. Menurut Gendo, panggilan akrabnya, pertimbangan hakim agak menyedihkan dengan menyatakan warga tidak mengalami kerugian sehingga tidak punya legitimasi untuk menggugat. Apalagi, pertimbangan itu diambil berdasarkan keterangan dari saksi-saksi Tergugat Intervensi yang dihadirkan perusahaan.
“Apalagi keterangan itu datang dari saksi Kepala Desa Celukan Bawang yang memanipulasi tanda tangan sosialisasi dari tidak ada menjadi ada. Di sisi lain keterangan saksi-saksi kami tidak pernah digunakan sebagai pertimbangan hukum,” katanya.
Ketut Mangku Wijana, salah satu penggugat, juga mengatakan agak kecewa dengan keputusan ini karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Dia berharap sebelumnya agar hakim melakukan sidang ke lapangan untuk melihat apa fakta sesungguhnya yang ada di PLTU tetapi tidak dilakukan. “Jadinya tidak sesuai antara keputusan dengan kenyataan,” ujarnya.
Meskipun demikian dia tetap menerima keputusan hakim. “Namun, kami akan tetap banding untuk mencari keadilan seadil-adilnya,” Mangku menegaskan.