Pemerintah sedang menyusun regulasi pembangkit listrik tenaga surya atap. Regulasi ini penting demi percepatan pencapaian tingkat pemanfaatan energi terbarukan dalam pemenuhan energi nasional. “Jadi salah satu pilihan penghematan energi konsumen pelanggan PLN,” kata Harris, Direktur Aneka Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam diskusi, baru-baru ini di Jakarta.
KESDM mencatat, potensi energi surya di Indonesia 207,8 gigawatt peak (gwp). Saat ini baru terpakai 94 megawatt peak (mwp). Sesuai komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, tertuang dalam UU No 16 tahun 2016, Indonesia hendak menurunkan emisi 29% pada 2030. PLTS dapat jatah 6,5 gwp.
Pemerintah, katanya, telah mengeluarkan beberapa regulasi pengembangan energi surya. Ada Permen ESDM No 12, 50 dan 36 tahun 2017 dan Permen ESDM No 5/2018. KESDM juga punya Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap dan nota kesepahaman dengan Real Estate Indonesia (REI).
“Sekarang pemerintah menyusun lagi regulasi PLTS atap,” kata Harris.
Apa saja yang diatur dalam regulasi ini? Dalam draf hasil rapat bulan lalu, dinyatakan, PLTS atap hanya dapat dilakukan pelanggan PLN dengan sistem modul surya, inverter, sambungan listrik pelanggan dan meteran ekspor impor. Istilah ekspor dan impor diambil dari sudut pandang PLN.
Bagi yang bukan pelanggan PLN akan diatur dengan aturan khusus. Pertimbangan utama dari poin ini, kata Harris, dampak yang akan diterima PLN. Produksi PLTS atap rumah akan mengurangi penggunaan listrik PLN dan berujung mengurangi pendapatan perusahaan negara ini. Dengan kata lain, PLTS atap akan mengurangi tagihan konsumen setiap bulan.
Pemerintah berkomitmen membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt. Evaluasi program ini tahun lalu menemukan permintaan pelanggan baru PLN menurun, tak sesuai perkiraan.
Dalam rancangan regulasi nanti, katanya, untuk penggunaan rumah tangga, lembaga pemerintah dan bisnis seperti mal, hotel, kantor, dan lembaga sosial seperti rumah ibadah. Industri tak termasuk.
“Kalau industri, karena kapasitas besar-besar impact terhadap demand balance besar sekali,” katanya.
Hal penting dalam penggunaan sistem PLTS atap yakni keamanan dan keandalan operasi. Kemungkinan, pemasangan sistem PLTS atap pelanggan dibatasi maksimum 90% dari daya tersambung.
Bagaimana sistemnya? Ada dua kemungkinan. Jumlah energi listrik diekspor diperhitungkan menggunakan nilai kWh tercatat pada kWh ekspor. Jumlah energi listrik yang diimpor diperhitungkan dengan gunakan nilai kWh tercatat pada kWh impor.
Setiap akhir periode tagihan bulanan berjalan, nilai kredit rupiah energi listrik diekspor, akan diaplikasikan secara kredit kepada pelanggan.
Jika ekspor lebih besar dari biaya tagihan listrik pelanggan, selisih lebih akan dikreditkan sebagai pengurang tagihan bulan berikutnya. Selisih kredit ini dapat terakumulasi hingga periode tagihan listrik bulan Desember setiap tahun.
Kalau kredit terakumulasi masih tersisa setelah perhitungan pada periode tagihan Desember, akan diatur ulang jadi nol dan perhitungan kredit akan mulai kembali pada tagihan Januari tahun berikutnya.
Opsi kedua, akumulasi kredit pada akhir tahun tetap diperhitungkan untuk tahun berikutnya.
Untuk ketentuan transaksi energi listrik, katanya, juga ada beberapa opsi. Pertama, transaksi kredit energi listrik dihitung berdasarkan rasio offset kwh (kilowatt hour) ekspor dibanding kWh impor dengan ketentuan, jika daya hingga 30 kW, nilai tenaga listrik per kwh setara (satu banding satu).
Untuk lebih dari 30 kw sampai kurang dari satu mw, nilai tenaga listrik per kwh dari pelanggan, setara 95% dari nilai tenaga listrik per KWh ke pelanggan.
Untuk daya lebih dari satu mw nilai tenaga listrik per kWh dari pelanggan setara 90% dari nilai tenaga listrik per kWh ke pelanggan.
Kedua, transaksi kredit energi listrik dihitung berdasarkan rasio offset kWh ekspor dibanding kWh impor satu banding 1,5. Sati kWh energi yang dikirim PLN ke pelanggan setara 1,5 kWh energi diterima PLN dari pelanggan.
Ketiga, harga transaksi energi ekspor dan impor dihitung berdasarkan biaya pokok produksi (BPP) nasional dan tarif dasar listrik (TDL) berlaku. Di mana satu kWh energi yang dikirim PLN ke pelanggan tarif dasar listrik berlaku dan satu kWh diterima PLN dari pelanggan senilai BPP.
Keempat, transaksi kredit energi listrik dihitung berdasarkan rasio offset kWh ekspor dibanding kWh impor 1:3. Dimana satu kWh energi dikirim PLN ke pelanggan setara tiga kWh energi diterima PLN.
“Opsi-opsi ini masih dibicarakan,” kata Harris.
Pelanggan PLN yang berminat memasang sistem ini, katanya, harus mengajukan dokumen permohonan pemasangan kepada PLN dengan melengkapi persyaratan administrasi dan teknis seperti ID pelanggan, besaran daya dan spesifikasi teknis peralatan yang akan dipasang,.
Dokumen permohonan diunggah pelanggan melalui website aplikasi. PLN mengevauasi dan verifikasi permohonan paling lama 15 hari kerja sejak permohonan diterima.
Berdasarkan hasil evaluasi dan verifikasi, PLN menyetujui atau menolak permohonan pemasangan sistem. Pelanggan ditolak jika tak memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.
Pemasangan PLTS atap hanya boleh oleh badan usaha yang telah memiliki sertifikat badan usaha ketenagalistrikan dan izin usaha jasa penunjang tenaga listrik. Tenaga teknik yang memasang pun wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan.
Selain pemasangan, badan usaha wajib menguji sistem PLTS atap dan memberikan garansi selama satu tahun. Badan usaha wajib bikin laporan pemasangan kepada PLN. Setelah itu, PLN menyediakan dan memasang meteran ekspor impor dengan standar nasional Indonesia atau standar teknis PLN yang berlaku.
Biaya pengadaan dan pemasangan meteran ekspor impor energi listrik ditanggung pelanggan dan PLN wajib melapor perkembangan pengguna pembangkit listrik ini pada Menteri ESDM setiap enam bulan sekali.
“Regulasi ini sangat perlu untuk membuat Indonesia dikenal sebagai negara pengguna PLTS terbesar. Fungsinya, hemat tagihan listrik ke PLN, hingga lebih ringan dan uang bisa untuk yang lain,” kata Harris.
Yohanes Bambang Sumaryo, Ketua Pengguna Pembangkit Listrik Surya Atap (PPLSA) menilai, regulasi ini akan jadi langkah kedaulatan masyarakat memilih sumber energi.
“PLTS atap ini satu-satunya pembangkit yang bisa dipasang di rumah masing-masing, bisa dikuasai masyarakat, tak bergantung bank.”
Kebutuhan utama listrik masyarakat, katanya, yakni, transportasi dan memasak bisa terpenuhi dengan PLTS atap, bahkan oleh rumah tipe 21 pun.
PLTS atap, katanya, menghemat penggunaan batubara sekitar empat ton untuk setiap empat kWh listrik dari PLTS atap.
“Jadi sangat bagus untuk lingkungan. Empat ton batubara harus dibakar tetap ada di bumi,” katanya.
Poin-poin penguatan
Menanggapi rancangan regulasi ini, Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Service Reform menilai, pemerintah seharusnya lebih menghargai inisiatif yang tumbuh di masyarakat dalam menggunakan listrik surya atap sebagai sumber energi bersih, mandiri tanpa dukungan dana pemerintah.
Dia menilai, draf yang kelak jadi peraturan menteri (permen) dinilai belum mencerminkan semangat percepatan pencapaian target bauran energi terbarukan empat gigawatt tahun 2025.
Setidaknya, ada empat hal dari rancangan permen ini yang perlu perbaikan. Pertama, kapasitas listrik surya tak perlu dibatasi. Batasan bisa pada inverter dalam transfer daya dengan PLN.
“Dengan inverter pelanggan PLN bisa memproduksi listrik surya lebih besar dan menentukan apakah akan dijual ke PLN atau digunakan sendiri.”
Kedua, mengenai nilai transaksi listrik. Aturan selama ini mengacu pada Peraturan Direksi PT PLN No.0733.K/DIR/2013, menggunakan net metering dengan tarif sebanding, satu banding satu.
Dengan aturan ini, katanya, pelanggan mendapatkan harga adil karena tarif dijual ke jaringan PLN sama dengan tarif dibeli dari jaringan PLN. Dalam draf justru formula TDL dan BPP nasional yang bikin tarif listrik surya atap jadi lebih rendah.
Tarif rendah, kata Fabby, bikin harga keekonomian listrik surya jadi tak menarik. Selisih nilai harga yang diterima pelanggan jadi lebih rendah, hingga masa pengembalian investasi lebih panjang.
Ketiga, soal izin persetujuan dari PLN untuk pelanggan seharusnya memudahkan mereka memasang PLTS atap, tanpa perlu terhadang dengan berbagai perizinan lain.
“Pelanggan cukup diminta melaporkan kepada PLN bukan untuk meminta persetujuan izin. Serta ada ketentuan yang jelas berapa lama pelanggan dapat kWh meter EXIM,” katanya.
Keempat, tentang sertifikat laik operasi (SLO) disamakan dengan pembangkit listrik lebih besar.
Listrik surya atap, katanya,jenis pembangkit listrik tak bergerak, tak menimbulkan bunyi, tak mengeluarkan emisi dan tegangan rendah.
“Tak layak jika menyamakan instalasi listrik surya atap dengan jenis pembangkit listrik besar. Untuk mengatur itu pemerintah seharusnya bisa gunakan ketentuan kelaikan dalam Permen ESDM No 27/2017 Pasal 20, sebagai instalasi listrik dengan tegangan rendah.”
PLN, kata Fabby, seharusnya tak perlu merasa terancam. Kalau target 1.000 megawatt PLTS atap terpenuhi, hanya menggantikan 0,5% dari total produksi listrik PLN selama satu tahun.
Fabby menyarankan, alih-alih merasa terancam, PLN sebaiknya segera beradaptasi dan mulai serius menekuni bisnis energi terbarukan.
Kalau PLN ikut mengembangkan listrik tenaga surya, akan mendorong kompetisi sehat untuk harga energi. Jadi, harga listrik dari energi surya bisa makin turun dan terjangkau.
Di sejumlah negara, katanya, karena pasar energi terbarukan, terutama energi surya makin terbuka luas, harga listrik ini makin kompetitif terhadap harga listrik batubara.
Laporan IRENA tahun lalu menyebutkan, potensi energi surya Indonesia mencapai 3,1 gigawatt per tahun, satu gw listrik surya atap dan 2,1 gw untuk PLTS di atas tanah.
Dibanding negara lain di Asia Tenggara, penggunaan listrik surya di Indonesia, masih sangat rendah yakni kurang 100 megawatt. Angka ini, katanya, jauh tertinggal dari negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina, sudah berkisar 875-2.700 megawatt. Bahkan Singapura, kini sudah 130 megawatt.
Keterangan foto utama: Panel surya atap. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia