WatchDoc, rumah produksi film-film dokumenter, meluncurkan film terbaru mereka Made in Siberut pada Sabtu (01/07/2018) lalu di kanal YouTube. Film berdurasi sekitar 45 menit ini merekam upaya warga lokal mempertahankan pangan dan obat-obatan tradisional di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Meskipun demikian, sebelum peluncuran secara resmi di kanal YouTube tersebut, dokumenter ke-11 dari rangkaian Ekspedisi Indonesia Biru itu telah disebarluaskan secara terbatas. Setidaknya sudah ada 90 komunitas menyelenggarakan acara nonton bareng film Made in Siberut pada kurun waktu 10-31 Agustus 2018.
Nonton bersama itu digelar mulai dari Pematang Siantar, Sumatera Utara hingga Manokwari, Papua Barat. Komunitas Ini Timpal Kopi di Bali, misalnya, menggelar nobar ini pada Minggu (12/08/2018) lalu di Denpasar. Sutradara film ini, Dandhy Laksono, hadir pada nobar bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia tersebut.
Made in Siberut, merekam wajah politik pangan di Indonesia. Kasus di Pulau Siberut hanya salah satu contohnya. Film yang direkam pada Desember 2015 ini menceritakan elegi kedaulatan pangan di Siberut.
baca : Nasib Siberut Utara Kala Hutan di Hulu Terus Tergerus
Sebelum politik pangan masuk ke Siberut, sebagaimana agama-agama baru dipaksakan terhadap penghuninya, warga lokal sudah hidup bergantung alam secara turun temurun. Made in Siberut menceritakan dua fungsi utama bahan-bahan dari alam tersebut: pangan dan obat-obatan.
Seorang nenek bersama cucunya, yang sayangnya tidak disebutkan namanya seperti halnya semua narasumber dalam dokumenter ini, membuka film. Mereka mengumpulkan umbi keladi dan pisang, bahan pangan pokok di Siberut selain sagu.
Sekeranjang keladi yang diambil di pagi hari itu, menurut si nenek, cukup untuk kebutuhan pangan selama sehari bagi enam anggota keluarganya. “Tak perlu nasi lagi. Ini sudah cukup untuk satu hari,” kata si nenek dalam bahasa lokal yang diterjemahkan pemandu.
Seperti umumnya peramu, si nenek itu menganggap tujuan utama mereka bercocok tanam adalah memenuhi kebutuhan sendiri. Bukan menjadi bagian dari rantai panjang komersialisasi produk pertanian. Mereka hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan sendiri. Bukan untuk dijual.
baca juga : Betapa Hutan Begitu Penting bagi Orang Mentawai (Bagian 1)
Dari si nenek dengan cucunya, cerita beralih ke dua sekerei –para pengobat tradisional di Mentawai– dengan penampilan khasnya. Nyaris tanpa celana dengan tubuh banyak tato. Dua kakek ini mengambil daun-daun di jalur sungai lalu dipakai sebagai obat.
“Saya sudah pernah ke Jakarta membawa obat ini untuk orang sakit di sana,” ujar salah satu sekerei.
Pengobatan sampai Jakarta itu hanya sekali. Sehari-hari, mereka memberikan pengobatan di rumah. Mereka menggunakan bahan-bahan yang sepenuhnya diambil dari hutan. Bukan obat-obatan kimia, apalagi sampai impor.
Namun, seiring laju modernisasi, jumlah sekerei itu makin berkurang. Di Desa Madobak, Siberut Selatan, tempat di mana mereka tinggal, hanya tersisa sekitar 20 sekerei. Paling muda berumur 40an tahun. “Kami ini mungkin yang terakhir,” kata salah satu dari mereka.
Ada korelasi antara keterjangkauan pada dunia luar dengan kian hilangnya pangan dan pengobatan tradisional ini. Mereka yang masih bertahan sebagian besar tinggal di pedalaman. Adapun mereka yang tinggal di pesisir, dengan akses ke dunia luar lebih gampang, makin tergantung pada pasokan dari luar.
menarik dibaca : Kala Hutan Mentawai Terus Jadi Incaran Pemodal (Bagian 2)
Ketergantungan Pangan
Kian hilangnya sekerei, tak bisa dilepaskan karena derasnya globalisasi hingga pulau ini. Begitu pula dengan makin tak digunakannya pangan tradisional, seperti keladi dan sagu.
Made in Siberut merekam bagaimana pemaksaan kebijakan pangan, terutama peralihan dari pangan lokal ke beras, justru membuat kedaulatan pangan terancam. Padi yang dipaksa ditanam di lahan gambut justru sia-sia. Padi banyak yang kosong karena dimakan hama.
“Tidak semua tanah cocok untuk tanaman padi. Percuma lahan gambut dibabat karena tidak ada juga fungsinya. Masyarakat juga tidak menikmati hasilnya,” kata salah satu petani.
Benediktus Saliong, petani lain, mengatakan mereka tertarik menanam padi karena program itu dilaksanakan pemerintah selain karena memang senang bertani. Mereka mengolah lahan dengan sistem pinjam kelola. Bibitnya mereka peroleh dari bantuan pemerintah. Namun, budidaya pertama itu hanya menghasilkan panen tak lebih dari enam karung masing-masing berisi sekitar 25 kg.
“Bisa dikatakan gagal. Bahkan ada juga yang sama sekali tidak menghasilkan,” lanjutnya.
Di saat hasil panen tidak terlalu bagus, petani juga mulai mendapatkan pasokan pangan dari luar berupa beras. Persoalan lain kemudian muncul, mereka harus punya uang untuk membeli beras sebagai jenis makanan baru. Harga beras pada umumnya dianggap terlalu mahal. Mereka pun harus membeli beras murah dari Badan Urusan Logistik (Bulog).
“Kalau ada uang kami beli beras. Kalau tidak ada (uang) ya bisa makan sagu atau ubi,” Paulus, petani lain, menambahkan.
baca juga : Kala Wilayah Kelola Warga Mentawai Makin Menyempit
Tantangan lain mempertahankan pangan lokal berupa sagu dan ubi di Siberut adalah ribetnya proses pengolahan. Made in Siberut, yang melakukan dokumentasi dengan model menempel (embedded), merekam dengan intim bagaimana salah satu keluarga mengolah ubi-ubian jadi makanan pokoknya.
Juga diperlihatkan pengolahan sagu menjadi tepung. Proses mengolah makanan dari sagu terlihat lebih ruwet dibandingkan mengolah padi. Padahal harganya lebih rendah, Rp1.500/kg, dibanding harga beras di Jawa yang bisa Rp9.500/kg.
Inilah yang kemudian dipertanyakan. “Kenapa kita kejar beras untuk makan sementara kita punya sendiri bahan untuk kita makan?” kata salah satu narasumber.
Korban Politik Pangan
Made in Siberut, serupa karya-karya Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta lain dalam Ekspedisi Indonesia Biru, berusaha menangkap narasi-narasi perjuangan di akar rumput. Sebelumnya dua jurnalis ini juga sudah membuat film-film documenter bertema serupa, seperti Samin vs Semen, Kala Benoa, The Mahuzes, dan Asimetris. Semua film itu direkam selama ekspedisi setahun mereka pada Januari – Desember 2015.
Dandhy mengatakan Made in Siberut merupakan seri terakhir dari seluruh dokumenter yang mereka buat selama ekspedisi Indonesia Biru. Karena itu pula, dia mengaku, fokus dan energi saat membuat dokumenter ini tinggal sisa-sisa. “Hanya 40 persen yang saya rencanakan. Sisanya spontanitas,” katanya.
baca juga : Cerita Seputar Proyek Listrik Energi Bambu di Mentawai
Meskipun demikian, menurut Dandhy, dokumenter itu tetap relevan sebagai bukti pahitnya politik pertanian dan pangan di Indonesia. Siberut hanya salah satu contohnya. “Ketika kepercayaan lokal diganti agama baru, tidak ada lagi ikatan mereka dengan budaya dan ritual. Mereka pun terlepas dari hutan dan alam,” katanya.
Setelah berhasil mengubah keyakinan orang lokal ke agama-agama resmi yang diakui negara, pemerintah lalu berusaha pula mengubah pola pertanian mereka. Sawah diimplan ke tradisi para peramu dan pemburu. Pemerintah memaksakan tradisi agraris yang tidak ada dalam kebudayaan mereka. Tidak seperti di Jawa dan Bali yang tradisi bersawahnya sudah ribuan tahun.
“Semua usaha untuk membuat pangan instan itu gagal. Ongkosnya mahal sekali,” ujarnya.
Dandhy menambahkan, Made in Siberut bisa menjadi contoh bagaimana masyarakat adat selalu menjadi korban kebijakan negara dalam politik pangan maupun pembangunan. Kebijakan Presiden Joko Widodo dalam membangun infrastruktur, termasuk untuk pengembangan pariwisata, misalnya, terbukti mengorban masyarakat adat.
Penembakan petani di Sumba, Nusa Tenggara Timur dan penggusuran warga di Kulonprogo, Yogyakarta hanya sedikit di antara banyak contoh lainnya. “Karena mereka yang berada di garis depan, bukan masyarakat urban atau sub-urban,” lanjutnya.
Made in Siberut, seperti karya-karya WatchDoc lainnya, mungkin bisa menjadi pengingat. Betapa kejamnya kebijakan yang dipaksakan atas nama pembangunan.