Seruan untuk menghentikan proyek reklamasi di Pantai Lohu, Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus disuarakan Koalisi Selamatkan Pesisir Indonesia (KSPI) Timur. Koalisi yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada isu lingkungan itu, mendesak Pemerintah Kabupaten Lembata untuk segera menghentikan proyek itu, karena terbukti melanggar hukum.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang ikut bergabung dalam KSPI Timur, membeberkan fakta bahwa proyek tersebut murni merupakan proyek pribadi dari Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur. Pernyataan itu didukung oleh Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Dolulolong yang menyebutkan hal yang sama tentang kepemilikan proyek tersebut.
“Kita menemukan fakta bahwa proyek reklamasi pantai Balauring dilelang oleh Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perhubungan Kabupaten Lembata,” ucap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati pekan lalu di Jakarta.
Menurut dia, dari temuan yang dikumpulkan KSPI Timur, proyek tersebut tidak termasuk dalam dalam peraturan daerah Kabupaten Lembata No.10/2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2018. Selain dalam Perda yang ditetapkan pada 15 Desember 2017 itu, proyek itu juga tidak ditemukan dalam Peraturan Bupati Lembata No.41/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati Lembata No.51/2017.
“Itu tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2018 pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perhubungan Kabupaten Lembata. Namun, walau tidak masuk anggaran 2018, yang melelang adalah Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lembata,” jelas dia.
baca : Masyarakat NTT Melawan Proyek Reklamasi di Lembata. Ada Apa?
Susan mengatakan, sebelum tidak dicantumkan dalam APBD 2018, Pemerintah Kabupaten Lembata sudah menetapkan proyek reklamasi tersebut berupa pembangunan talud pengamanan pantai dengan nilai anggaran Rp1,72 miliar dan lokasinya tersebar di sembilan kecamatan. Akan tetapi, walau resmi tidak tercantum, Dinas Pekerjaan Umum Kab Lembata tetap melelang proyek tersebut.
Atas pelanggaran yang ditemukan itu, Masyarakat Adat Dolulolong kemudian melaksanakan gugatan proyek ke Pengadilan Negeri Lembata. Namun, gugatan tersebut, oleh Pengadilan kemudian dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) alias ditolak. Penolakan itu diberikan kepada gugatan konvensi yaitu gugatan asal para penggugat dan gugatan rekonvensi, yaitu gugatan balik tergugat.
Ketua Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Dolulolong Akhmad Bumi menjelaskan, tergugat, dalam hal ini yaitu Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur sudah mengajukan ekspeksi terkait legal standing masyarakat adat Dolulolong yang tidak pernah dimiliki. Kemudian, dia juga mengajukan eksepsi terkait eror in persona.
“Mengenai eksepsi legal standing oleh tergugat, Majelis Hakim menyatakan tidak beralasan secara hukum dan harus dinyatakan ditolak. Sedangkan mengenai eksepsi tentang eror in persona dikabulkan Hakim,” ujarnya.
Akhmad menyebutkan, pihaknya menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Provinsi NTT, karena majelis hakim di PN Lembatan dinilai sudah mengabaikan bukti yang sudah jelas ada. Adapun, bukti yang dimaksud, adalah:
- Salinan atas asli Perda No.10/2017 tentang APBD, Dinas Pekerjaan Umum. Bukti ini menjelaskan tidak ditemukan program, kegiatan, belanja untuk Paket Pekerjaan Reklamasi Pantai Balauring senilai Rp1.595.100.000;
- Bukti berupa copy atas asli Perbup No.41/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati No.52/2017 tentang Penjabaran APBD, Dinas Pekerjaan Umum. Bukti ini tidak ditemukan program, kegiatan, belanja untuk Paket Pekerjaan Reklamasi Pantai Balauring seharga Rp1.595.100.000.
Masyarakat Pesisir
Atas fakta yang sudah ditemukan, Koordinator Forum Masyarakat Adat Pesisir Indonesia Bona Beding mendesak agar proyek reklamasi di Pantai Lohu segera dihentikan. Desakan itu muncul, karena proyek tersebut bukan saja melanggar hukum, tapi juga merugikan masyarakat pesisir di Desa Balauring. Dia menyebut, proyek melanggar hukum yang tertulis dalam Undang-Undang No.1/2014 tentang Perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Di antara pasal yang sudah dilanggar oleh proyek itu, menurut Bona, adalah Pasal 21 Ayat 1 yang menyatakan, “Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.”
Bona menambahkan, keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Lembata, khususnya di Kecamatan Omesuri merupakan fakta yang sangat nyata dan tak boleh dinafikkan oleh Bupati. Mereka adalah pemilik kawasan ulayat wilayah perairan di Desa Balauring dan sudah ada sebelum Indonesia berdiri.
“Tetapi, setelah ada reklamasi, nelayan kehilangan tangkapan hingga 60 kilogram setiap kali menangkap ikan. Itu menyulitkan masyarakat nelayan,” tuturnya.
Sementara, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Khalisah Khalid menyampaikan pandangan kritisnya dari sisi ekologis. Menurut dia, proyek reklamasi telah merusak bukit-bukit di Kecamatan Omesuri dan saat ini sebanyak 300 ribu meter kubik pasir telah ditambang dari sana dan dijadikan bahan urukan reklamasi.
Khalisah mengatakan, jika penambangan tidak segera dihentikan, itu akan menimbulkan bencana longsor dan jelas itu membahayakan jiwa masyarakat setempat. Untuk itu, dia mendesak agar proyek reklamasi tersebut segera dihentikan secepat mungkin.
Selain pelanggaran hukum, Susan Herawati dari KIARA menyatakan, kehadiran proyek reklamasi menyebabkan 175 keluarga nelayan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan ikan. Hal itu mengakibatkan mereka semakin kesulitan untuk bisa hidup. Dia menggambarkan, masing-masing keluarga bisa mendapatkan tangkapan sedikitnya 100 kilogram ikan.
Susan menyebutkan, apa yang terjadi di Lembata tersebut menambah daftar panjang proyek reklamasi yang ada di Indonesia. Pada 2016, KIARA mencatat 16 proyek reklamasi pantai di seluruh Indonesia dan bertambah menjadi 37 pada 2017. Jika ditambah dengan reklamasi Lembata, maka total proyek reklamasi pantai di Indonesia menjadi 38 wilayah.
“Ini jadi ironi negara bahari di tengah Poros Martim,” tandasnya.
Menurut Susan, reklamasi menjadi ancaman serius bagi masa depan pesisir dan laut Indonesia, negeri yang dianugerahi lebih dari 17 ribu pulau. Sejak lama, membangun kehidupan masyarakat pesisir berdaulat beserta wilayah perairannya yang bersih dan sehat, adalah menjadi impian semua warga pesisir. Namun, pada kenyataannya justru pembangunan di kawasan pesisir menjadi hancur karena kehadiran proyek reklamasi.
“Akibat proyek itu, kehidupan masyarakat beserta alam pesisir dan laut di Indonesia ikut rusak karena proyek reklamasi yang dilakukan dengan gencar dan masif oleh pengusaha yang mengatasnamakan pribadi ataupun golongan,” tuturnya.
Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur di kesempatan terpisah menegaskan komitmennya untuk melanjutkan proyek reklamasi di Omesuri. Alasan dia melanjutkan, karena proyek tersebut sudah dilakukan kajian mendalam sebelumnya. Pada 2013, bahkan pemerintah desa dan tokoh masyarakat Desa Balauring mengajukan permohonan untuk pembangunan di lokasi tersebut.
“Usul itu disampaikan secara tertulis, karena pantai Balauring mengalami abrasi yang parah. Kondisi itu mencemaskan masyarakat setempat,” klaimnya.