Kalau kita berbicara tentang kopi di Indonesia, mungkin tidak akan ada habisnya. Ini karena kopi di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dan sangat dekat dengan identitas masyarakat, kesukuan dan budaya di Indonesia. Tercatat bahwa Indonesia saat ini adalah penghasil kopi terbesar no.4 di dunia, setelah Brasil, Kolombia, dan Vietnam.
Indonesia diuntungkan karena letak geografisnya yang sangat cocok difungsikan sebagai lahan perkebunan kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi.
Sejarah kopi Indonesia dimulai pada 1696 ketika Belanda membawa kopi dari Malabar, India, ke Jawa. Mereka membudidayakan tanaman kopi tersebut di Kedawung, sebuah perkebunan yang terletak dekat Batavia. Namun upaya ini gagal kerena tanaman tersebut rusak oleh gempa bumi dan banjir.
baca : Kopi Gunung Puntang, Potensinya Sungguh Menjanjikan
Pada 1706 sampel kopi yang dihasilkan dari tanaman di Jawa dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik. Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Belanda pun memperluas areal budidaya kopi ke Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Adalah Java Preanger, jenis kopi yang ditanam di tanah priangan pada waktu itu, yang begitu terkenal di Eropa sehingga orang-orang Eropa menyebutnya bukan secangkir kopi, melainkan Secangkir Jawa (a cup of java). Sampai pertengahan abad ke-19 kopi Java Preanger adalah yang terbaik di dunia.
Dan salah satu daerah yang pada waktu itu ditanami kopi Java Preanger adalah Ciwidey. Di Ciwidey sendiri, tradisi kopi terpelihara selama ratusan tahun. menurut Cucu Samsudin, salah satu petani dan legenda kopi di desa Mekarwangi, seputaran Ciwidey.
baca juga : Foto: Kopi Arabika, Mutiara dari Tanah Gayo yang Mendunia
“Kopi di desa ini, setelah era penjajahan berakhir, tidak ditanam secara khusus, hanya ditanam beberapa saja, di setiap kebun atau di halaman rumah warga, karena memang tidak ada petani yang mengkhususkan untuk menanam kopi,” katanya.
Baru pada 1998, Sugiri menanam kopi dalam bentuk perkebunan kembali, dengan tujuan yang lebih komersil, dengan luas areal 3 ha, dan Samsudin menyusul di tahun 2002.
“Tanaman kopi ini, meningkatkan taraf hidup masyarakat di desa Mekarwangi, demikian pula dengan tingkat pendidikannya. Ini karena kopi mempunyai karakter yang cukup unik. Jika di dalam bertani sayur mayur yang dahulu menjadi andalan desa ini berlaku hukum ekonomi, yaitu jika hasil tanam berlimpah, maka harga akan anjlok, maka di kopi, hukum ekonomi seakan tidak berlaku. Semakin banyak hasil kopi, maka semakin tinggi pula harga kopi. Bahkan kopi bisa 12 kali panen dalam setahun di luar panen raya. Dan di desa Mekarwangi, selama kurun waktu 16 tahun ini, sudah 80 % petani , beralih ke tanaman kopi,“ lanjut Samsudin.
menarik dibaca : Ternyata, Ada Tanaman Kopi juga di Lahan Gambut
Memang saat ini, bukanlah kopi Java Preanger lagi yang dominan ditanam di seantero dataran tinggi Bandung, terutama di seputaran Ciwidey, Bandung Barat. Karena meski juara dari segi rasa, tetapi kopi Java Preanger rentan terhadap penyakit karat daun. Dan di desa Mekarwangi sendiri, jenis red typical Arabica adalah jenis yang dominan ditanam oleh para petani.
Saat ini, meminum kopi bukan lagi hanya dinikmati oleh para penggemar kopi, melainkan sudah berkembang sangat pesat. Kopi sudah menjadi gaya hidup. Dahulu para penikmat kopi identik dengan orang-orang dewasa ataupun yang sudah berumur. Saat ini, kedai-kedai kopi banyak dipenuhi penikmat kopi usia remaja. Seringkali kopi hanya sebagai alasan untuk berkumpul atau nongkrong saja, dan bukan untuk menikmati rasanya.
baca juga : Kopi Konservasi dari Gunung Sindoro Sumbing
Menurut Gusjaeni Wawan, salah satu pengusaha kopi, trend berkembangnya kopi di Indonesia terutama di kalangan anak muda ini mulai semakin dirasakan 3 tahun belakangan. Semakin booming setelah Presiden jokowi banyak membuat vlog dirinya sedang menikmati kopi.
Kepada Mongabay-Indonesia, Wawan menjelaskan mengapa kopi seakan tidak terikat hukum ekonomi ketika sedang panen, karena para pengusaha atau distributor kopi besar, telah diikat oleh kontrak-kontrak tertentu dengan brand-brand kopi yang sudah mendunia, yang berkaitan dengan kuota kopi yang harus dipenuhi. Jadi ketika ada panen kopi, para distributor itu berebut untuk membeli kopinya. Dan ini sebabnya harga kopi selalu terjaga, sekalipun ketersediaan kopi melimpah.
baca : Kopi Konservasi dari Jangkat, Seperti Apa?
Gaya hidup menikmati kopi ini sekarang tidak hanya bisa dinikmati oleh anak-anak muda di perkotaan, di desa penghasil kopi nya pun juga tertular. Di Ciwidey sendiri, banyak tumbuh kedai ataupun kafe kopi yang dijadikan tempat nongkrong para anak mudanya.
Bahkan tidak hanya di kedai atau kafe kopi, beberapa anak muda desa, mempunyai peralatan menggiling kopi sendiri, walaupun masih dalam level yang sederhana. Seakan untuk mereka tiada hari tanpa menikmati secangkir kopi, mungkin adalah kalimat yang pantas untuk menggambarkan desa Mekarwangi. Dan kini, mereka pun sudah punya brand kopi sendiri, yaitu kopi Malaya.