Setelah hampir empat bulan menunggu, Mahkamah Agung, akhirnya membatalkan sebagian Perda Nomor 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, atas gugatan uji materi Walhi Riau dan LBH Pekanbaru.
Walhi Riau dan LBH Pekanbaru diberi kuasa tiga perwakilan masyarakat adat Batu Sanggan Kampar dan Talang Mamak Indragiri Hulu, mengajukan permohonan 20 Februari 2018. Mereka keberatan dengan Pasal 1 angka 11 dan 13, Pasal 10 ayat 1, Pasal 11, Pasal 16 ayat 1, Pasal 19 dan Pasal 20 ayat 2 dalam perda ini.
“Prosesnya sudah kita mulai sejak 2015. Karena kondisi asap dan beberapa kendala lain, permohonan baru dapat kita ajukan awal tahun ini,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi Nasional.
Menurut mereka, Pasal 1 angka 11 dan 13 tak menjelaskan perbedaan tanah ulayat dan tanah adat hingga muncul tafsir beragam. Juga ada pertentangan antara Pasal 1 angka 10 dengan Pasal 10 ayat 1 mengenai hak ulayat dan obyek tanah ulayat. Intinya, yang dimaksud obyek tanah ulayat, segala benda di atasnya tak termasuk tambang berat di dalam bumi.
Pasal itu, tak menjelaskan jenis-jenis tambang berat. Padahal, UU Mineral dan Batubara 2009 tak mengenal tambang berat termasuk UU Minyak dan Gas Bumi 2001. Jadi, Pasal 10 ayat 1 dianggap tak memiliki rujukan jelas.
“Pasal 10 cenderung mengutamakan kepentingan investasi tambang di atas tanah masyarakat adat bila dapat izin dari pemerintah,” kata Aditia Bagus Santoso, Direktur LBH Pekanbaru. UU Minyak dan Gas Bumi jelas melarang kegiatan itu.
Pasal 10, katanya, juga bertentangan dengan UU Pokok Agraria karena mengecualikan apa yang terkandung dalam bumi. Padahal, UU Nomor 5/1960 itu menjelaskan, selain permukaan bumi juga tubuh bumi di bawahnya serta di bawah air.
Menurut Boy, Pasal 10 berpotensi menghilangkan kekayaan dalam tanah ulayat.
Kemudian, Pasal 11 ayat 4, tentang pengembalian tanah ulayat oleh pemakai atau pengelola pada pemilik tanah ulayat bila perjanjian kerjasama berakhir. Pasal ini, katanya, bertentangan sendiri dengan ayat sebelumnya, sama sekali tak menjelaskan siapa pemakai atau pengelola.
Pasal 16 ayat 1, menjelaskan pemindahan kepemilikan hak tanah ulayat untuk kepentingan nasional dan pembangunan daerah. Namun, katanya, tak ada penjelasan mengenai dua alasan itu.
Padahal, dalam Pasal 2 ayat 4, menyatakan, kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan masyarakat adat, bukan kepentingan nasional.
Pasal 16 ayat 1, juga dianggap bertentangan dengan UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Juga turunannya Perpres Nomor 71/2012. Kalimat untuk kepentingan nasional dan pembangunan di daerah, tak ada dalam dua aturan lebih tinggi itu.
Ada lagi yang dinilai membingungkan Walhi Riau dan LBH Pekanbaru, mengenai sanksi pidana Pasal 19 ayat 1, merujuk Pasal 11.
Padahal, pasal rujukan itu menjelaskan tata cara pemanfaatan tanah ulayat bukan pemberian sanksi. Di dalamnya banyak mengandung unsur pelaku dan berbagai macam perbuatan.
Secara keseluruhan, Walhi dan LBH Pekanbaru nilai Perda No 10/2015 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, tak punya kekuatan hukum dan tak berlaku umum.
Supandi, Ketua Majelis Hakim bersama dua anggota, Is Sudaryono dan Irfan Fachruddin yang memeriksa permohonan, mengeluarkan putusan akhir Mei lalu. Mereka hanya membatalkan Pasal 10 ayat 1 dan dan Pasal 16 ayat 1.
Kedua pasal itu bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, yakni, UU Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Mineral dan Batubara, UU Minyak dan Gas Bumi dan UU Pokok Agraria.
Walhi Riau dan LBH Pekanbaru apresiasi putusan majelis hakim. Meski tak semua pasal tetapi putusan dianggap bisa menyelamatkan tanah ulayat demi kepentingan masyarat adat.
Supriadi, perwakilan masyarakat adat Talang Mamak, juga pemohon, juga senang. “Dengan batalnya beberapa pasal, pemerintah tak semena-mena lagi menerbitkan izin tambang. Selama ini tak pernah ada musyawarah atau melibatkan pemangku adat saat perusahaan tambang itu beroperasi,” katanya.
Masyarakat adat Talang Mamak, sedang mendorong pemerintah Indragiri Hulu menerbitkan aturan pengakuan masyarakat hukum adat. Para pemuda aktif bikin kegiatan mengenal sejarah masyarakat adat Talang Mamak dan mengunjungi tempat-tempat keramat.
“Untuk mengenal jati diri dan sejarah,” katanya.
Bagi Himyul Wahyudi, perwakilan masyarakat adat Batu Sanggan juga pemohon uji materil, pembatalan beberapa pasal belum menjamin perlindungan bagi masyarakat adat sebelum RUU masyarakat adat sah. Ada atau tidaknya pasal itu, katanya, tetap memberi ruang pada korporasi sawit dan tambang mengeruk kekayaan di tanah ulayat.
Kondisi ini, katanya, sudah tampak di wilayah adat beberapa kenegerian Kampar. Tumpang tindih kepemilikan lahan antara masyarakat dan korporasi kerap menimbulkan konflik bahkan pemerintah ikut mengklaim wilayah adat itu.
Yudi mendorong, Pemerintah Riau segera membuat perda tentang pengakuan masyarakat adat. Perda 10/2015 dirasa belum menjawab keinginan masyarakat adat.
Lagi pula, katanya, perda itu dibuat sama sekali tak melibatkan masyarakat adat termasuk organisasi sipil yang konsen isu itu.
“Perda pengakuan masyarakat adat dapat menjamin dan memberi ruang mandiri bagi mereka mengatur wilayah adat.”
Keterangan foto utama: Kehidupan warga adat Talang Mamak di Riau. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia