Hutan nan lebat, dengan warga yang hidup dalam keterbatasan infrastruktur bakal terancam kala tambang jadi menguras batubara dari perut bumi Kenegerian Pangkalan Kapas, Riau.
Ujung jalan menghadap sungai, Desa Gema, seorang penjual lontong melayani pembeli yang hendak sarapan. Pedagang kaki lima menanti pembeli di teras kedai. Laki-laki paruh baya memenuhi bangku warung. Gorengan, kopi dan teh jadi sajian. Perempuan pemilik warung menggoreng pisang dan bakwan.
Paling ujung jalan, penjual ikan dan ayam potong menanti pembeli sembari ngobrol dengan beberapa laki-laki. Suasana pagi itu makin ramai karena orang lalu-lalang dan turun-naik ke sungai. Ia merupakan pelabuhan warga.
Dari sini, orang-orang pakai sampan robin—mesin berikut kemudi menyatu—untuk menempuh desa lain sepanjang sungai. Pelabuhan ini akan ramai bila musim pasar atau tiap Kamis.
Tak ada sampan yang hendak ke Desa Pangkalan Kapas, pagi itu. Begitu juga sebaliknya. Kata orang-orang di warung, tak ada sampan khusus ke sana kecuali sewa. “Orang sana juga jarang datang ke sini karena jauh. Mereka sudah banyak yang pindah,” kata seorang laki-laki sekaligus menawar bantuan.
Tarif sewa sampan Rp700.000 jarak tempuh sekitar empat jam. Pangkalan Kapas adalah, desa paling ujung bila hendak menempuh lewat jalur sungai setelah melewati Desa Tanjung Belit, Muaro Bio, Kota Lama, Dua Sepakat dan Ludai. Di Muaro Bio dan Ludai, ada satu cabang anak sungai lagi yang dapat menghantarkan ke beberapa desa lain. Secara administrasi desa-desa ini masuk Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Lama tempuh ke Pangkalan Kapas, sedikit lama karena melawan arus. Sungai jernih, suasana sejuk dan banyak bebatuan. Kiri kanan ditutupi tebing dengan pohon-pohon besar menjulang. Hutan begitu lebat. Pemandangan juga berhias perbukitan. Hawa sejuk terasa sedikit bikin kantuk.
Makin dekat ke tempat tujuan, makin deras arus, makin banyak batuan yang dilalui dan makin dangkal sungainya.
Perlu kecermatan dan keahlian bagi pengemudi memilih jalur kalau tak ingin kandas kena batu. Pengemudi harus mengangkat dan menurunkan beberapa kali kemudi dari dalam air untuk memperlambat laju sampan sambil mengurangi kecepatan mesin.
Belum lagi, di sela-sela itu harus menimba air. Untuk pekerjaan ini, dua tangannya tak sebentar pun diam.
Beruntung, di haluan ada seorang yang sigap dengan sebatang galah menahan sampan supaya tak menabrak tebing ataupun batu besar. Orang ini juga kadang memberi arah dengan kode tangan. Begitu kerjasama mereka sampai tiba di Pangkalan Kapas. Setelah ini, sungai benar-benar tak dapat dilalui karena tertutup bebatuan.
Pangkalan Kapas, adalah kampung tua yang dulu sebuah kenegerian. Kini, ia terbagi empat desa, yakni, Lubuk Bigau, Kebun Tinggi, Tanjung Permai termasuk Pangkalan Kapas. Sebagian warga Pangkalan Kapas, beranjak pindah ke Kampung Dalam, salah satu dusun di desa itu. Tinggal 11 rumah masih berpenghuni. Mereka pindah karena akses dan insfrastruktur belum tersedia.
Ketika menginjakkan kaki di desa ini, suasana begitu sepi. Hanya ada tujuh anak, dua perempuan dan dua laki-laki berkerumun menghampiri.
Hanya ada satu sekolah dasar dengan enam siswa. Sebagian harus keluar dari desa untuk menempuh pendidikan lanjut.
Akses Pangkalan Kapas, ke desa tetangga hanya dapat dilewati jalan setapak dalam hutan. Warga mulai pakai sepeda motor. Perlu kehati-hatian ketika berkendaraan, mesti turun-naik bukit dan jurang persis di bahu jalan. Beberapa ratus meter jalan sudah ada semen. Sebagian masih berlumpur dan becek.
Beberapa kali saya dan Imus, laki-laki 40-an tahun yang menghantarkan ke Kampung Dalam, harus turun dan mendorong motor. Sekali, hampir jatuh ke jurang karena pada saat menanjak kendaraan tiba-tiba berhenti.
Motor standing, saya terpental ke belakang, Imus berbalik arah dengan tetap memegang stang motor lalu melempar ke samping seperti tak mau ambil risiko.
Raut wajah Imus seketika tampak keheranan memandang motor sambil bertolak pinggang. Perjalanan tetap lanjut meski sempat mesin motor susah hidup. “Kalau motor ini rusak kadang saya tinggalkan saja di sini,” kata Imus.
Perjalanan ke Kampung Dalam, sekitar dua jam. Selama itu, tak tampak bengkel bahkan pondok atau tempat singgah bila letih berkendara. Imus mengajak berhenti di bawah pohon untuk membasahi tenggorokan dan habiskan sebatang rokok.
“Kalau kita tinggalkan motor, kita cari orang yang pandai betulkan lalu bawa ke sini,” katanya.
“Kebanyakan orang perbaiki kendaraan sendiri. Alat beli di Payakumbuh. Kalau rusak bagian dalam baru bawa ke bengkel,” kata Mito, pemuda Kampung Dalam, tengah perbaiki cakram motor. Itu malam pertama saya di Kampung Dalam.
Sehari-hari masyarakat Kenegerian Pangkalan Kapas, bertani karet. Mereka juga punya kebun durian, berladang, menanam gambir dan banyak petai.
Durian, jarang dijual ke luar karena kesulitan akses jalan. Alhasil, hanya konsumsi pribadi. Gambir, baru mulai tanam kembali setelah beberapa tahun belakangan harga pasar sempat murah. Karet, mereka jual ke penampung Rp5.000 per kilogram dan Rp7.000 yang masih basah.
Sebagian warga masih membawa karet digandeng di belakang sampan untuk jual ke Gema. Amris, Ninik Mamak Kampung Dalam, mengatakan, perjalanan itu menghabiskan waktu sehari semalam.
Terancam tambang
Kenegerian Pangkalan Kapas, bagian dari Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (BRBB), terbentang dari Kampar hingga Kuantan Singingi. Ia ditetapkan berdasarkan SK Gubernur Riau pada 21 Juni 1982 seluas 136.000 hektar.
Dalam sebuah jurnal lingkungan yang disusun akademisi program studi ilmu lingkungan Universitas Riau, Indra Suandy dan Aras Mulyadi, bersama dua akademisi program studi ilmu lingkungan Universitas Indonesia, Setyo S. Moersidik dan Emirhadi Suganda, menyebutkan, BRBB memiliki tipe hujan dataran rendah, keragaman hayati tinggi dan menyimpan satwa langka terancam punah.
Jurnal berjudul degradasi lingkungan di kawasan penyangga BRBB itu, menulis berbagai macam spesies pohon yang mendominasi tegakan hutan, yakni mempening (Guercus lucida), petatal (Shorea parvifolia), kelat (Eugenia sp), kedondong (Santiria oblongiflora BL), kulim (Scorodocarpus borneensis), terap (Barringtonia lanceolata) dan bintangur (Callophylum grandiflorum).
Ia juga menyimpan berbagai jenis satwa dilindungi, seperti harimau Sumatera, harimau dahan, tapir, rusa, kukang, siamang, babi hutan, simpai, lutung dada putih, marang, napu dan beruang madu.
Kini kawasan terancam tambang batubara. Berdasarkan laporan survei tinjau tim eksplorasi geologi PT Buana Tambang Jaya—perusahaan yang akan mengeksplorasi batubara di wilayah itu—terdapat singkapan batubara di tengah-tengah Desa Kebun Tinggi. Hasil temuan itu dibuat Maret 2011.
Endapan batubara memiliki beberapa karakter. Pada kode tertentu, batubara berwarna hitam kecoklatan sedikit dull, gores cokelat, pecahan angular-conchoidal dan mudah diremas. Pada kode lain dalam laporan itu menyebutkan, batubara berwarna hitam, terang, goresan hitam, pecahan angular- conchoidal, getas.
Arah sebaran singkapan batubara umumnya dari baratlaut ke tenggara dengan kemiringan 21-30 derajat dalam ketebalan 1,8 sampai lebih tiga meter. Sebagian singkapan batubara bahkan tak tampak yang mengindikasikan ketebalan masih menerus.
Informasi dari warga, tinjauan itu jauh hari dan berulangkali dilakukan perusahaan. Sekitar awal reformasi, seorang menyebut nama Tobing, datang bersama empat rekan ke Kebun Tinggi. Dalam musyawarah bersama tokoh masyarakat, ninik mamak dan perangkat desa pada waktu itu, Tobing mengaku utusan pemerintah dari Jawa Barat, beritahu ada kandungan batubara dalam bumi Kenegerian Pangkalan Kapas.
“Kata mereka, sudah diketahui dalam buku zaman Belanda. Entah buku apa itu, tak ada ditunjukkan pada kami,” kata M. Yusuf, Datuk Maung, ninik mamak yang ikut musyawarah.
Datuk Maung tinggal di Kebun Tinggi, namun sehari-hari berkebun di Lubuk Bigau dan sekarang mendirikan tempat istirahat di situ.
Tobing minta izin survei dengan mengebor beberapa titik dari Kebun Tinggi sampai Lubuk Bigau. Hasilnya, mereka bawa untuk diteliti dan janji masyarakat akan mendapatkan informasi lagi.
Datuk Maung bilang, pasca itu Tobing tak pernah datang. “Tugas kami sampai di sini saja. Nanti orang perusahaan yang datang lagi,” kata Datuk Maung, mengenang pesan Tobing.
Sekitar 2011, datang lagi beberapa rombongan. Seorang mengaku bernama Hutomo, mewakili perusahaan. Mereka kembali mengebor di beberapa titik sekitar enam bulan lamanya. Beberapa orang utusan masyarakat ikutserta dalam survei atas permintaan ninik mamak. Mereka mendirikan tenda selama dalam hutan.
Arika, pemuda Lubuk Bigau, salah satu yang diperintahkan ninik mamak ikutserta. Saat itu usi masih 20-an. Selama enam bulan dalam hutan dia dan warga lain tak mengerti apa yang dikerjakan tim survei. “Kami menengok saja. Bertanya pun kami tak ngerti dengan penjelasan orang itu.”
Sebelumnya, kedatangan rombongan perusahaan bersama pemerintah setempat pernah ditolak masyarakat karena tanpa pemberitahuan. Mereka diajak musyawarah dan diminta beberapa hal oleh ninik mamak bila tetap ingin melakukan kegiatan.
Tiap lubang yang dibor harus ganti Rp500.000, satu batang karet kena imbas pengeboran harus ganti Rp500.000. Tambahannya, perusahaan diminta membangun akses jalan yang menghubungkan desa sampai perbatasan Sumatera Barat, Payakumbuh, tepatnya.
Ganti rugi hasil pengeboran tanah tak pernah dibayar sama sekali, kecuali permintaan bangun jalan namun tak sampai batas desa yang diminta. Untuk menuntaskan pekerjaan itu, perusahaan memberi Rp250 juta lewat rekening Kepala Desa Lubuk Bigau.
Rinas, Kepala Desa Lubuk Bigau, tak berada di tempat saat Mongabay, hendak mengklarifikasi hal ini. Istrinya bilang, Rinas sedang ke luar kota. Tak ada signal di desa itu untuk komunikasi pakai ponsel.
Saya menghubungi Rinas, dua pekan lalu. Yang jawab telepon justru abangnya. Rinas sedang menyaksikan wisuda anaknya. Laki-laki itu janji akan beritahu Rinas untuk menghubugi kembali.
Hingga sore, panggilan tak kunjung masuk. Saya inisiatif menghubungi kembali sekitar pukul 17.38, sampai lima kali panggilan. Tak ada jawaban. Beberapa menit kemudian, Rinas menghubungi kembali. Setelah perkenalkan diri dan maksud menghubungi, Rinas minta waktu karena sedang nyetir mobil.
Dia janji kirim pesan setiba di rumah. Sampai malam, tak juga ada pesan darinya.
Keesokannya, pukul 12.07, saya hubungi kembali. Sekali panggilan saja Rinas langsung jawab. Lagi-lagi dia minta lain waktu. Kali ini alasan tak enak badan.
Saya menghubungi Rinas lagi. Beberapa detik menunggu, Rinas langsung menjawab. Setelah bertegur sapa dan menanyakan keadaannya, Rinas mengatakan kondisinya sudah membaik. Saat diminta waktu wawancara, komunikasi langsung terputus.
Saya hubungi lagi. Dia menjawab, signal di sana tidak bagus. Suara dalam sambungan telepon itu tiba-tiba tak terdengar. Percakapan terputus lagi. Saya hubungi lagi.
“Iya. Halo. Tak dengar suaranya,” kata Rinas.
“Iya, pak. Saya dengar suara bapak.”
Berulangkali Rinas bilang, tak dengar suara saya. Sebaliknya, saya justru mendengar jelas suaranya. Sampai akhirnya dia memutuskan telepon itu.
Perusahaan juga sulit dihubungi. Dalam lembaran pendapat hukum yang disusun Alhamran Ariawan, juga mencantumkan nomor telepon PT Buana Tambang Jata, berikut alamat perusahaan di Sunter, Jakarta Utara. Nomor tertera tak dapat dihubungi dan operator minta periksa kembali nomor tujuan itu.
Bagi sebagian masyarakat penolak, pembukaan akses itu hanya memudahkan perusahaan ketika beroperasi nanti.
Nahasnya, uang tak digunakan sesuai peruntukan. Beberapa warga minta bagi sama rata ketiga desa lain. Gejolak ini bagi Rosyidin, pensiunan guru juga Ketua Ninik Mamak kala itu tak dapat berbuat banyak.
Alhasil, uang itu dibagikan ke tiap keluarga, untuk kegiatan pemuda, ibu-ibu PKK desa dan memperbaiki rumah ibadah.
Sejak itu, masyarakat ada yang menerima dan menolak rencana penambangan batubara di wilayah mereka. Rosyidin menyebut, situasi itu yang buat dia mengundurkan diri dari ketua ninik mamak. “Saya bisa saja menolak, tapi masyarakat yang punya lahan bersedia jual lahan, kita bisa buat apa?” katanya.
Datuk Maung yang awalnya juga menolak terpaksa ikut suara yang lebih banyak menerima. Katanya, sudah sering musyawarah dan hasilnya menolak tetapi justru setelah itu tiba-tiba ada keputusan yang terima.
“Setelah musyawarah, ada musyawarah tertutup lagi. Diminta tandatangan beberapa yang ikut musyawarah itu. Orang perusahaan banyak duit. Mereka biaya semua makan dan minum tiap musyawarah. Kita yang capek ikut musyawarah. Lain malam, lain siang keputusannya,” kata Datuk Maung.
Lagi pula, katanya, masyarakat terlanjur menikmati duit perusahaan dan merasakan pembangunan jalan sekitar satu jam bisa ke Payakumbuh. Warga jual hasil tanaman dan belanja barang-barang kebutuhan di kota, provinsi tetangga itu.
***
Satu petang, beberapa ibu rumah tangga berkumpul di Balai Pertemuan Dusun Kampung Dalam. Hari itu, mereka menyita sedikit waktu bermain voli—olahraga rutin masyarakat jelang terbenam matahari—untuk mendengar sosialisasi dampak operasi tambang bagi masyarakat.
Beragam tanggapan muncul. Ada yang merasa tak peduli karena tak akan mengganggu lahan mereka. Ada yang pesimis karena tak akan sanggup melawan perusahaan bila peralatan mereka beroperasi. Ada yang pasrah karena tahu warga bahkan tokoh masyarakat sudah menerima sejumlah uang dari perusahaan.
“Lahan masyarakat Pangkalan Kapas kabarnya tak akan kena tambang. Kalau masyarakat Kebun Tinggi dan Lubuk Bigau, mau jual lahan ke perusahaan. Kita tak punya hak nolak dan larang mereka,” kata Dahlia, perempuan desa setempat.
“Masalahnya piti (uang) perusahaan tu udah diambil dan dibagi-bagi. Kita tak dapat bersikeras kalau mereka setuju,” sahut Linda Fitriyanti, warga lain.
Penolakan justru keluar dari mulut perempuan yang sudah berusia lanjut. Anisma, nenek yang paling aktif dalam musyawarah saat itu, mengatakantak tidak ingin wilayahnya diusik orang lain.
“Kami ini entah berapa lama lagi hidup. Apa yang tinggal itulah yang akan kami kasih untuk dinikmati anak cucu kami,” katanya, disambut setuju beberapa yang sebaya dengannya.
Sekitar dua jam silang pendapat antara mereka, akhirnya semua sepakat menolak. Bersama-sama, mereka menulis kalimat penolakan di kertas karton. Salah satunya, meminta Presiden Joko Widodo membangun infrastruktur terutama jalan dengan tak menggadaikan alam mereka dengan perusahaan tambang.
Mereka juga tak ingin hidup di alam yang tercemar baik sungai maupun udara. Sebelum masing-masing meninggalkan tempat musyawarah, mereka berseru supaya penolakan serupa juga diikuti masyarakat desa tetangga termasuk ninik mamaknya.
Kawasan penyangga
Fandi Rahman, Deputi Direktur Walhi Riau, mengatakan, kawasan yang akan dieksplorasi PT Tambang Buana Jaya merupakan zona penyangga BRBB yang jadi sumber penyedia air. Kerusakan lingkungan akan timbul berdampak pada budaya manusia yang hidup di sepanjang pinggiran sungai.
“Limbah tambang pasti akan dibuang ke sungai,” katanya.
Pemerintah, katanya, harus mengubah kebijakan tambang dan mengutamakan energi berkeadilan bagi masyarakat. Melihat kondisi masyarakat di Kenegerian Pangkalan Kapas, pemerintah seharusnya menyediakan fasiltas umum dan sosial menunjang kehidupan mereka. “Bukan mengalihkan kekayaan masyarakat untuk industri ekstraktif.”
Amris menawarkan, saya kembali ke Pekanbaru lewat Buluh Kasok, Kecamatan Harau, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, berbatasan langsung dengan Desa Tanjung Permai. Rute ini untuk melihat pelebaran jalan yang dikerjakan beberapa bulan sebelumnya.
Cerita dari masyarakat, pelebaran jalan itu dibuat perusahaan yang diawasi langsung tentara.
Masyarakat sering melewati jalan untuk belanja berbagai keperluan ke Payakumbuh, jarak tempuh sekitar 1,5 jam, sedikit lebih mulus kecuali saat hujan. Licin dan cukup berbahaya saat menanjak apalagi ketika turun karena sangat curam. “Kabarnya, orang perusahaan akan melewati jalan itu untuk masuk ke sini,” kata Amris.
Keterangan foto utama: Pembukaan jalan dari Buluh Kasok Sumbar ke Pangkalan Kapas. Bagaimana nasib lingkungan, hutan dan warga sekitar dalam beberapa tahun mendatang kala tambang jadi masuk? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia