Sungai Musi adalah sungai campuran yang mengalir dari Bukit Barisan hingga ke Selat Bangka sepanjang 750 kilometer. Sungai Musi membelah Palembang, yang secara administratif menjadikan kota ini menjadi Palembang Ulu dan Palembang Ilir.
Di masa Kerajaan Sriwijaya, dari abad ke-7 hingga 12, Sungai Musi merupakan jalur transportasi utama pemerintahan Sriwijaya untuk menjayakan peradaban maritim Asia Tenggara ke dunia. Pada masa Kerajaan Palembang maupun kolonialisme, dari abad pertengahan hingga ke-20, Sungai Musi tetap menjadi jalur utama aktivitas ekonomi, budaya, dan politik.
Nama Musi belum diketahui sejarah jelasnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari kbbi.web.id, Musi merupakan kata belum sempurna dari Mungsi. Artinya, tumbuhan yang buahnya dapat dijadikan obat sakit perut, seperti kembung atau mulas yang dicampur jinten, jemuju dan lainnya.
Jika melacak nama “Sungai Musi” di dunia maya, akan ditemukan Sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan, dan India. Di India, Sungai Musi atau Musinuru merupakan anak Sungai Krishna di Dataran Tinggi Deccan. Sebuah kota berada di tepi Sungai Musi, Hyderabad.
Tidak diketahui, sungai yang mana lebih dulu menggunakan kata Musi. Apakah yang melintas di Palembang atau di Hyderabad. Palembang berdiri sejak abad ke-7 dan Hyderabad didirikan pada 1591. Sungai Musi diyakini sebagai sarana transportasi masyarakat Megalitikum Pasemah Bukit Barisan ke pesisir timur Sumatera sejak ribuan tahun sebelum Masehi.
Pada masa Pemerintah Indonesia, Sungai Musi dimaknai dengan Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Sebuah jembatan terpanjang dan termegah di Asia Tenggara pada masanya. Dibangun tahun 1962 dan mulai selesai tahun 1965. Masyarakat Palembang masih menyebut Jembatan Ampera dengan “proyek” yang artinya sebuah pembangunan masih berlangsung.
Tak heran, jika di Palembang Ilir, sekitar 100 meter dari jembatan sudah dibebaskan lahan untuk fasilitas umum. Ada taman dan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Sementara di Palembang Ulu, hanya puluhan meter dari jembatan, telah berdiri pertokoan.
Dikutip dari Wikipedia, Soekarno atau Bung Karno saat menyetujui pembangunan jembatan ini, mengajukan satu syarat. Pada masing-masing kaki jembatan, di 7 Ulu dan 16 Ilir harus dibangun boulevard atau taman terbuka.
Gagasan untuk membangun jembatan yang menghubungkan Palembang Ilir dan Palembang Ulu, sudah muncul sejak pemerintahan Belanda awal abad ke-20. Tahun 1924, ketika Wali Kota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, ide ini mencuat kembali. Tapi, keinginan tersebut belum terwujud hingga Belanda meninggalkan Indonesia, khususnya Palembang.
Tahun 1956, gagasan ini kembali dimunculkan DPRD Peralihan Kota Palembang. Setahun berikutnya, dibentuk tim pembangunan, yang kemudian melobi Presiden Soekarno. Tahun 1961, kontrak dibuat dan setahun kemudian dilakukan pembangunan. Tim terdiri dari Gubernur Sumsel H.A Bastari, Penguasa Perang Komando Daerah Meliter IV/Sriwijaya Harun Sohar, serta Wali Kota Palembang M. Ali Amin, serta Indra Caya.
Di era sekarang, Pemerintah Jokowi-JK, dan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, Sungai Musi dimaknai dengan hadirnya Lintas Rel Terpadu (LRT). Jalur ini berdampingan dengan Jembatan Ampera. LRT menghubungkan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II ke kompleks olahraga Jakabaring.
Penggunaan LRT dimulai 1 Agustus 2018 yang berfungsi penuh sebagai sarana transportasi para atlet dan official negara-negara peserta Asian Games ke-18 di Palembang. Jarak tempuhnya 30 menit yang berhenti di 13 stasiun sepanjang 24,5 kilometer.
Bagaimana wajah kehidupan bahari di Sungai Musi di sekitar Jembatan Ampera dan jalur LRT hari ini? Beginilah gambaran aktivitas warga Palembang pada pagi, sore dan malam hari yang dipotret Jumat-Sabtu (5-6/10/2018).
Nopri Ismi, Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan. Penulis mengikuti pelatihan jurnalistik Mongabay Indonesia di Palembang pada 2017 dan 2018