Sejumlah tokoh yang bertindak selaku Amicus Curiae (Friends of the Court) menyerahkan surat pendapat ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh terkait perkara banding antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT. Kallista Alam. Surat telah diserahkan pada 3 Oktober 2018.
Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan merupakan dokumen berbentuk opini atau pendapat hukum yang dipersiapkan pihak yang peduli kasus tersebut. Sejumlah tokoh yang bergabung itu adalah Emil Salim, Yusny Saby, Ahmad Humam Hamid, Syahrizal Abbas, Mahidin, Mawardi Ismail, Suraiya Kamaruzzaman, Syarifah Rahmatillah, Farwiza Farhan, Nasir Nurdin, dan Teuku Muhammad Zulfikar.
Farwiza Fahwan, Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), pada 6 Oktober 2018 menjelaskan, perkara ini merupakan kasus pembakaran seribu hektar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. PT. Kallista Alam telah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung pada Putusan Mahkamah Agung 651 K/pdt/2015 dengan vonis membayar ganti rugi materiil sebesar Rp114,3 miliar dan memulihkan lingkungan hidup sekitar Rp251,7 miliar.
Anehnya, sebut Farwiza, putusan MA tersebut tidak pernah dieksekusi. Sebaliknya, PT. Kallista Alam menggugat KLHK dengan perkara No.16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, yang pada April 2018 lalu Pengadilan Negeri Meulaboh membebaskan perusahaan ini dari hukuman.
“PT. Kallista Alam bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk akal,” ujarnya.
“Kami berharap, pendapat, informasi, dan masukan yang kami sampaikan melalui Amicus Curiae menjadi pertimbangan majelis hakim demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat Aceh,” tambah Mawardi Ismail, dosen hukum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
KLHK telah mengajukan banding atas perkara tersebut ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Namun, hingga saat ini belum ada kabar putusannya.
Baca: Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan?
Putusan aneh
Dalam Amicus Curiae, tokoh masyarakat Aceh dan mantan pejabat pemerintah pusat menyampaikan, mereka bukan pihak yang terlibat dalam perkara PT. Kalista Alam menggugat KLHK, dan lembaga Pemerintah Aceh lainnya.
Mereka hanya memberikan pendapat kepada pengadilan karena pokok perkara yang disidangkan menyangkut kepentingan publik lebih luas. Yaitu, pelestarian lingkungan dan perlindungan hutan untuk generasi akan datang.
“Berdasarkan Putusan PN Meulaboh No.12/Pdt.G/2012/Pn.Mbo, dikuatkan Putusan PT. Banda Aceh No.50/Pdt/2014/PT.Bna, dikuatkan lagi Putusan MA No.1 Pk/Pdt/2017, ditambah Putusan MA No.1 PK/Pdt/2017, 18 April 2017, sebetulnya PT. Kallista Alam hanya tinggal menjalankan eksekusi berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap tersebut,” urai para tokoh dalam surat yang dikirim ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh itu.
Pihak KLHK, selaku penggugat, sudah mengajukan permohonan eksekusi ke PN Meulaboh, 3 November 2016 dengan Surat No.S-103/PSLH/Gkm.1/11/2016, dan selanjutnya pada 8 Februari 2017 dengan Surat No.S-24/PSLH/PSLMP/GKM.1/02/2017.
Namun, Kepala Pengadilan Negeri Meulaboh tidak mengabulkan dan menunda eksekusi tersebut. Sebaliknya, permohonan perlindungan hukum yang diajukan PT. Kallista Alam, dengan Surat Permohonan No. 5973/DK-P/VI/2017 tanggal 13 Juni 2017, dikabulkan dengan segera oleh Kepala Pengadilan Negeri Meulaboh melalui Penetapan No.1/Pen/Pdt/Eks/2017/Pn.Mbo.
“Dapatkah tergugat mengajukan perlindungan hukum kepada Pengadilan Negeri dari putusan yang seharusnya dilaksanakan tergugat itu sendiri? Apalagi, tergugat sudah menggunakan semua upaya hukum, termasuk peninjauan kembali (PK). Fakta ini yang membuat kami terhenyak,” jelas surat tersebut.
Baca juga: Kasus PT. Kallista Alam: Mantan Hakim Tinggi Sebut Tidak Ada Gugatan Setelah Putusan Tetap
Alasan yang diajukan PT. Kalista Alam adalah, putusan yang diminta eksekusinya mengandung . error in objekcto terkait titik kordinat lahan terbakar, dan error in persona terkait orang yang bertanggung jawab. Alasan ini yang mendasari pertimbangan penetapan oleh PN Meulaboh. “Sulit menghindari conflict of interest di sini. Putusan PN Meulaboh jelas mengadili putusan sebelumnya yang lebih tinggi, yaitu Mahkamah Agung.”
Kenapa bisa, pengadilan tingkat pertama membatalkan seluruh amar yang sudah diputuskan pengadilan tingkat akhir? Dapatkah suatu perkara yang sudah diputuskan, diadili kembali oleh pengadilan negeri yang sama? Tidakkah ini menimbulkan situasi ketidakpastian hukum? “Adalah tugas pengadilan tingkat banding meluruskan kasus ini, mengembalikan hukum ke jalur yang benar,” jelas surat tersebut.