Kita seharusnya belajar dari berbagai bencana yang saat ini terjadi. Sebagai negara yang dikelilingi oleh ring of fire, Indonesia memiliki potensi gerakan lempeng bumi yang tinggi. Dalam tahun ini, kita baru saja lepas dari bencana gempa yang melanda Sumbawa dan Lombok, peristiwa gempa dan tsunami pun terjadi di Sulawesi Tengah.
Dengan faktor resiko yang tinggi, maka penting untuk menghitung dengan cermat faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada keberhasilan sebuah proyek raksasa. Jika luput memperhitungkan, maka potensi bencana pun akan menunggu.
Mari kita belajar dari ambisi negara Laos, -sebuah negara yang dilintasi oleh Sungai Mekong, negara ini amat berambisi menjadi Battery of Asia dengan cara membangun proyek bendungan raksasa yang berakhir dengan malapetaka bagi rakyatnya. Alih-alih dapat beroperasi di tahun 2019 dan mengekspor 90 persen listriknya ke Thailand, yang terjadi proyek PLTA ini jebol pada Juli 2018 lalu, disebabkan faktor kesalahan desain yang tidak memperhitungkan unsur kekuatan alam.
Contoh lain datang dari Tiongkok. Sepuluh tahun lalu, PLTA Zipingpu jebol hingga menewaskan sekitar 80.000 warga sipil. Jauh sebelumnya, – tahun 2000, para ahli gempa telah memperingatkan pemerintah Tiongkok bahwa proyek tidak boleh dibangun mengingat kedekatannya dengan garis patahan utama.
Peringatan ini diabaikan. Pemerintah berdalih para ahli telah memeriksa bendungan itu, dan telah dinyatakan aman. Padahal, bendungan dibangun di wilayah yang paling rawan gempa di negara itu, yaitu Provinsi Sichuan dan Yunna di Tiongkok barat daya. Bencana pun terjadi.
Berkaca dari bencana pembangunan bendungan Laos dan Tiongkok, pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Indonesia pun acap dipenuhi kontroversi. Salah satunya adalah rencana pembangunan PLTA Batangtoru yang berkapasitas 510 MW. Proyek ini didanai oleh Bank of China dan merupakan bagian dari inisiatif sabuk dan jalan (belt and road initiative) yang didorong oleh Pemerintah Tiongkok.
Baca juga: Lampu Hijau Proyek Listrik Terbarukan di Tengah Tekanan pada Rupiah
Adapun inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat konektivitas dan infrastruktur antar negara, yang sejak peluncurannya di tahun 2013, inisiatif ini telah menarik minat pembangunan di berbagai belahan negara. Di balik berbagai kritik, proyek pembangunan pelabuhan, pembangkit listrik, jalan raya dan kereta berkecepatan tinggi pun terus berlangsung, meski berpotensi dampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi.
Hal ini pun berlaku untuk proyek PLTA Batang Toru, -bendungan yang digadang-gadang bakal meningkatkan investasi di Pulau Sumatera. Padahal, karena letaknya yang berada di garis sesar gempa, lokasi bendungan ini amat riskan bencana. Di luar gempa, lokasi proyek dan wilayah hilirnya pun sudah jadi langganan banjir.
Tidak jauh berbeda dengan kasus Laos dan Tiongkok, PLTA Batangtoru sendiri sudah banyak dikritik para pemerhati lingkungan. Para ilmuwan dunia juga turut menyurati Presiden Joko Widodo karena menganggap rencana ini sebagai proyek yang mengancam kehidupan.
PLTA Batang Toru: PLTA di Lokasi Rawan Gempa
Dokumen Amdal rencana PLTA Batangtoru (2014) menjelaskan bahwa luas genangan bendungan diperkirakan akan mencapai 67,7 hektar dengan tampungan air efektif sebanyak 3,89 juta m3 (satu m3 air tawar = berat 1 ton). Disebut desainnya akan menggunakan teknologi hidro yang ramah lingkungan terkini, yang tidak perlu mengairi area yang luas (less land Hydro Electric Power Plant).
Lokasi bendungan ini akan berada di sungai Batang Toru, Kecamatan Sipirok yang termasuk dalam beberapa desa seperti Desa Bulu Payung dan Aek Batang Paya (sumber: dokumen Amdal halaman 1-46).
Sejatinya lokasi ini terkenal sebagai rawan gerakan tanah. Indikatornya jalan raya Aek Latong yang berada di dekat lokasi ini tidak pernah rata dan bagus, karena terus-menerus terjadi gerakan tanah. Dari riwayat kegempaan di Sumatera pun, sudah jelas lokasi pembangunan PLTA Batangtoru sangat rawan akan bencana gempa
Dari peta yang dirilis BNPB dapat terlihat bahwa lokasi Pembangunan PLTA berada disekitar sesar Toru dan Angkola yang pernah tercatat mengalami gempa dengan kekuatan/magnitudo 7.4 dan 7.6..
Sejumlah patahan (fault) yang rawan di sepanjang patahan Sumatera pada jalur itu, antara lain patahan Bulupayung, Bulumario, Batangpaya, Bulan-bulan, Rebean, Aek Sitandiang dan Namenek, plus patahan-patahan mikro lainnya yang bersifat kandungan material travertine atau secara ilustrasi semacam kumpulan kelereng atau guli yang rawan pergeseran cepat atas tekanan beban di atasnya.
Kawasan Tapanuli Selatan sendiri sudah masuk dalam kawasan rawan bencana gempa. Tim dari Kementerian ESDM pada Juli 2017 menyebut posisi Kabupaten Tapsel dan Kota Padang Sidempuan sebagian besar berada dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB). Artinya, kawasan ini berpotensi tinggi terlanda gempa bumi karena letaknya yang berada di atas patahan bumi yang rawan gempa tektonik akibat pergeseran patahan lempeng.
Apabila dilakukan analisis kernel pada persebaran dan intensitas gempa di daratan Sumatera ini, terdapat peta “kepadatan” kejadian gempa dengan dua pusat lokasi gempa tertinggi. Satu lokasi berada di Aceh bagian utara dan satu lagi Tapanuli, -lokasi bendungan akan dibangun.
Jalur patahan di Tapanuli sendiri meliputi segmen Renun, Toru dan Angkola. Sementara pembangunan PLTA Batangtoru tidak jauh dari segmen Toru-Angkola.
Sebagai bukti empiris, pada tahun 2011 telah terjadi kejadian Gempa Ganda Tapanuli yang bersumber dari Segmen Toru dalam sistem besar patahan besar Sumatera. Area di sekitar episentrum terguncang keras hingga skala 7 MMI. Kota Sibolga terguncang 5 MMI sementara Padangsidempuan dan Pematangsiantar bergetar pada skala 4 MMI. Bahkan, Kota Medan yang berjarak 200 km dari episentrum pun mengalami getaran 3 MMI, atau batas terbawah getaran yang bisa dirasakan manusia.
Merujuk Jonatan Tarigan, pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Utara, dia pernah menyebutkan bahwa kejadian gempa bumi di jalur patahan di berbagai tempat di dunia memiliki variasi waktu perulangan atau siklus. Siklus pendek 20-30 tahun sekali, siklus menengah 50 tahun sekali dan siklus panjang antara 60-80 tahun.
Dari catatan sejarah kegempaan di patahan Angkola, diketahui telah tiga kali terjadi gempa bumi merusak pada tahun 1873, 1892 dan 1934. Dengan lebih dari 80 tahun dari kejadian gempa terakhir maka telah terjadi penimbunan energi. Artinya secara siklus patahan Angkola telah masuk pada jadwal geologis perulangan gempa bumi kembali.
PLTA dan Patahan Gempa
Sebenarnya hubungan tentang bendungan dan gempa sudah menjadi perhatian banyak pihak. Penelitian terbaru mengatakan bahwa bendungan yang dibangun di dekat patahan gempa dapat memicu terjadinya gempa. Gupta (2002), menyebut hingga hari ini lebih dari 90 tempat di muka bumi telah teridentifikasi gempa bumi yang terpicu oleh pendirian bendungan.
Logika sederhananya seperti seperti menaruh pemberat di atas fondasi yang rapuh. Seperti dalam rencana Bendungan Batang Toru yang akan menampung air seberat 3,89 juta ton (dan sebaliknya melepaskan jutaan kubik air secara kontinyu terus-menerus yang mendorong terjadinya dinamika fluida) dalam area sempit sekitar 67,7 hektar, maka kita sedang menyiapkan sendiri “bom waktu” yang siap tersulut pada suatu ketika.
Resiko bencana ini akan bertambah besar, karena didukung fenomena patahan lempeng yang berada persis di bawah lokasi area pembangunan proyek. Pertanyaannya, apakah semua faktor resiko kebencanaan ini telah dihitung dengan matang dan cermat?
Berkebalikan dengan Tiongkok dan Indonesia yang marak membangun banyak mega proyek PLTA, Amerika Serikat malah mulai menghentikan hampir 1.100 PLTA selama 100 tahun terkahir ini. Pemerintah AS menganggap PLTA akan berdampak pada ekosistem sungai, termasuk ikan dan biota sungai yang tergantung padanya.
Jika pemerintah betul-betul memikirkan nasib masyarakat Sumut, maka membangun beberapa PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) adalah jawabannya. Banyak sungai-sungai kecil di Sumatera Utara yang dapat dimanfaatkan. Seperti PLTMH Aek Raisan yang berkapasitas 10 MW.
Di Kabupaten Tapanuli Utara juga banyak dicanangkan untuk pembangunan PLTMH seperti PLTMH Hulu Batang Toru, Situmandi, Batang Toru 2, Parmonangan Hulu, dan Situmandi Hulu. Banyaknya PLTMH berskala kecil ini pun jika digabung akan menghasilkan energi yang besar yang sesuai untuk masyarakat. Dengan PLTMH, masyarakat pun dapat dilibatkan dan diberdayakan dalam pembangunannya.
Jangan sampai terulang cerita Battery of Asia PLTA Laos dan PLTA Zipingpu di Tiongkok. Di balik ambisi yang tinggi, ternyata pengabaian pada peringatan para ahli dan ilmuwan berujung pada malapetaka.
Belajar dari bencana yang ada, para pengambil keputusan, pemerintah daerah, dan masyarakat Tapanuli Selatan harusnya belajar dari kearifan nenek moyang Tapanuli, seperti disebut: “Natarpaingot, Piongoton” yang artinya “Siapa tidak mendengar nasihat, akan dapat akibat.”
* Hamid Ar Rum Harahap, penulis adalah pengurus di Youth for Climate Change Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan opini penulis.