Sebagai orang yang lahir dan besar di Desa Dukuh, I Gede Sumiarsa merasakan perubahan di desa kelahirannya. Pada 1990-an, ketika dia masih SD, desa di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu termasuk sejuk. “Suhunya adem dan seringkali dingin,” katanya.
Ketika itu, Sumiarsa melanjutkan, air pun mudah didapat karena pohon-pohon yang masih hijau dan lebat. Burung-burung juga beterbangan mewarnai desa ini.
Lebih dari 20 tahun berselang, kondisi desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali itu sangat berubah. Pada akhir September lalu, cuaca terasa sangat terik. Sebagian besar pohon-pohon meranggas. Debu beterbangan di jalanan desa.
Desa Dukuh berada di kaki Gunung Agung, gunung berapi tertinggi di Bali yang naik statusnya ke Level III sejak September tahun lalu. Posisinya di bagian hulu, di atas Desa Tulamben, pusat wisata selam paling populer di kawasan Bali bagian timur.
Sumiarsa, yang menjadi Kepala Desa Dukuh sejak Juni 2018 mengatakan, desa mereka mulai terasa kering setelah maraknya penanaman pohon jati putih (Gmelina arborea). Warga pun beramai-ramai menanam karena adanya program pemerintah.
Namun, menurut Sumiarsa, maraknya penanaman pohon inilah yang justru membuat tanah-tanah desa mereka kering. “Penyerapan airnya sangat tinggi. Di mana ada tanaman gmelina, di sana pasti kering,” katanya.
“Pohonnya sampai mengalahkan pohon lontar yang menjadi pohon asli Desa Dukuh,” tambahnya.
baca : Mengenal Potensi dan Belajar Mitigasi Bencana di Kaki Gunung Agung. Bagaimana itu?
Kini, warga Dukuh kini mencoba untuk membuat desa mereka agar kembali sejuk, meskipun itu tidak semudah membalik telapak tangan.
Salah satu yang saat ini mereka usahakan adalah mengelola hutan desa. Warga memulainya dengan memetakan desa, termasuk hutan lindung di sekitarnya. Berada persis di kaki Gunung Agung, Desa Dukuh memiliki kawasan hutan cukup luas, sampai 680 hektar.
Melalui pemetaan yang sudah dilakukan sejak tahun lalu, warga Dukuh bisa mendapatkan secara lebih detail bagian-bagian mana saja dalam kawasan tersebut yang masuk wilayah desa mereka. Peta itu lalu mereka ajukan ke Kementerian Lingkungan dan Kehutanan sebagai dasar permohonan pengelolaan hutan lindung menjadi hutan sosial.
“Kami mengajukan ke pemerintah agar diperbolehkan mengelola hutan tersebut ke depannya,” kata Sumiarsa.
Pemetaan secara partisipatif itu difasilitasi Conservation International (CI) Indonesia Kantor Bali. Lembaga konservasi berkantor di Denpasar ini pula yang memfasilitasi warga agar bisa diizinkan mengelola hutan sosial di atas desa mereka.
Rencananya, warga akan menjadi hutan itu sebagai tempat pariwisata berbasis alam (ekowisata), budidaya bambu, serta pengelolaan pertanian berbasis hutan (agroforestri). “Selama ini sudah ada beberapa turis yang ke sana dan kami ingin nantinya lebih bisa mengelola potensi tersebut,” kata I Ketut Suryadi Wiyasa, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Anugerah Wisesa.
baca juga : Nyegara Gunung, Konsep Satu Kesatuan Hulu Hilir Di Bali
Satu Kesatuan
Adi Mahardika, Pelaksana Program Reforestasi Gunung Agung CI Indonesia menambahkan, selain pemetaan, warga juga sudah belajar tentang bambu yang ditanam di hutan lindung Desa Duku. Tak hanya tentang teknik budidaya, tetapi juga memasarkan hasil bambu jika sudah ada.
Menurut Adi, konservasi di bagian hulu ini merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya konservasi berbasis konsep nyegara gunung. Menurut kepercayaan Bali, laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan. Apa yang terjadi di gunung, akan berdampak di laut. Begitu pula sebaliknya.
Setelah sebelumnya lebih banyak fokus di laut, sejak tahun lalu CI Indonesia mulai memperluas ke wilayah hulu. Dari Desa Tulamben yang berbatasan langsung dengan laut, kini ke Desa Dukuh yang berbatasan dengan Giri Tohlangkir, sebutan warga Bali untuk Gunung Agung.
Selain mendorong pengelolaan hutan sosial, CI Indonesia juga memfasilitasi warga untuk menanam kembali pohon-pohon penahan air dan memiliki nilai tinggi, seperti cendana. Proses yang saat ini dilakukan adalah pembuatan bibit oleh salah satu kelompok tani, Legundi Lestari Indah.
Akhir September anggota kelompok ini sedang menyiapkan biji-biji pohon cendana itu ke polibag. Tempat pembibitannya seluas kira-kira 30×20 meter beratap jaring kasa di lahan miring. Tempat pembibitan itu bagian dari sistem pertanian terintegrasi di mana terdapat pula ternak kambing dan lebah madu.
menarik dibaca : Merintis Pengelolaan Ekosistem Gunung dan Laut Pasca Letusan Gunung Agung. Seperti Apa?
I Nengah Arka, Ketua Kelompok Tani Legundi Lestari Indah, mengatakan mereka menanam 6.000 bibit cendana. Sebelumnya, mantan Kepala Desa Dukuh ini pernah belajar budidaya cendana ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Cendana memang lebih mudah tumbuh di daerah kering, seperti Kupang dan Kubu ini. Kalau di sawah tidak cocok,” katanya.
Sebelumnya, Arka juga sudah pernah menanam beberapa cendana sejak 2006 meskipun tak banyak. Selain untuk reboisasi, menurut Arka, pohon cendana juga memiliki nilai sosial dan ekonomi tinggi. “Umat Hindu pasti memerlukan cendana untuk upacara, tetapi sayangnya saat ini pohon cendana makin langka,” tambahnya.
Menurut Arka, bibit cendana itu nantinya tidak hanya akan dibagi ke 28 anggota kelompok, tetapi juga pada warga lain di Desa Dukuh. “Biar makin banyak warga yang menanam agar nantinya desa kami makin hijau lagi,” ujarnya.
Bernilai Tinggi
Ketika ribuan bibit cendana baru disemai oleh Kelompok Tani Legundi Lestari Indah, sebagian warga lain di Dukuh sudah mulai memanfaatkan tanaman lain sebagai tambahan pendapatan sekaligus pelestarian lingkungan.
Seperti dilakukan pasangan suami istri I Nyoman Darma dan Luh Sasih di Dusun Bahel, Desa Dukuh. Mereka memanfaatkan tanaman jenis perdu yang oleh warga setempat disebut gebang (Agave sisalana) atau sisal.
baca : Berharap Serat Sisal untuk Kehidupan
Tanaman sejenis lidah buaya ini awalnya banyak tumbuh di Dukuh, tetapi kemudian makin langka. Padahal, warga menggunakan serat tanaman sisal ini untuk membuat helai-helai rambut disebut gambrang. Rambut ini biasa dipakai untuk barong atau ogoh-ogoh.
Namun, Luh Sasih kini tak hanya menjual dalam bentuk rambut, tetapi juga aneka kerajinan, seperti taplak meja. Akhir Agustus lalu dia belajar bersama pemandu dari Yayasan Sekar Kawung, lembaga yang fokus mendampingi perajin serat alam.
Setelah sepuluh hari belajar, Luh Sasih sudah berhasil membuat taplak meja dari bahan serat sisal. Dia tersenyum memamerkan taplak meja yang pertama kali dia bikin itu. “Senang sekali karena bisa membuat kerajinan baru,” ujarnya.
Asih berharap kemampuan membuat kerajinan baru itu nantinya akan berpengaruh pada tambahan pendapatan mereka sebagai petani. “Cuma belum tahu ini mau dijual berapa karena masih belajar,” lanjutnya.
Adi menambahkan warga memang perlu melakukan survei pasar dulu untuk tahu berapa harga yang pantas untuk menjual kerajinan-kerajinan baru yang mereka. Hal lebih penting, menurutnya, warga di Desa Dukuh makin sadar bahwa tanaman-tanaman di desa mereka seperti sisal atau gebang dan cendana bisa menghasilkan pendapatan sekaligus melestarikan lingkungan.