Saat memasuki Desa Lubuk Kembang, Kecamatan Curup Utara, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, akhir Mei lalu, hamparan perkebunan kopi menyambut. Dataran tinggi berhawa sejuk ini penuh ribuan batang kopi berjejer rapi di sela-sela rumah panggung warga. Buah kopi mulai memerah.
Di halaman rumah penduduk biji kopi terhampar sudah terkelupas dari kulit dijemur. Setelah kering, dijual kepada pengepul. Baru sebagian kecil panen, puncaknya biasa pertengahan agustus.
Rejang Lebong, salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Bengkulu. Sebagian besar warga hidup dari bertanam kopi jenis robusta. Produksi daerah ini sebagian besar tersalur ke Lampung dan Jawa.
Data Dinas Pertanian Bengkulu, luas kebun kopi robusta 24.100-an hektar dan arabika 555 hektar. Seperti dikutip dari Harianrakyatbengkulu.com, per tahun, produksi robusta sekitar 18.300 ton dan arabika 164 ton. Produksi dalam satu hektar pertahun, sekitar 500-700 kilogram.
Belakangan, ratusan petani kopi yang menggantungkan hidup di sektor ini tengah risau. Lahan mereka bercocok tanam akan jadi hutan produksi terbatas (HPT). Ia ditandai pengukuran oleh petugas kehutanan pada 2016.
Sunarta, Kepala Dusun (Kadus) I Desa Lubuk Kembang, menceritakan, kejadian berawal dari undangan empat kepala desa dari dua kecamatan oleh Bupati Rejang Lebong. Mereka diundang pelatihan kapasitas perangkat desa. Kadus I dan Kadus III Lubuk kembang, mengikuti pelatihan di Desa Sukarami.
“Di sana kami bertemu Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XX Bandar Lampung, kami diminta bantuan mencari patok batas zaman Belanda,” katanya saat menghadiri adat tolak bala terkait penetapan patok di Dusun I Lubuk Kembang.
Sebelum ada pemberian tanda batas itu, katanya, secara mandiri masyarakat memproses pembuatan sertifikat lahan yang mereka garap.
“Sudah ada 36 keluarga memiliki sertifikat hak milik (SHM). Sertifikat itu dikeluarkan pemerintah sejak 1985, sisanya hanya surat jual beli, hibah dan hak waris,” katanya.
Ada 117 warga dngan dengan lahan ditandai sebagai kawasan HPT. Mereka kaget karena selama ini menggarap lahan itu sebagai kebun, tak ada hutan, baik ketika digarap orangtua terdahulu maupun kala baru dibeli.
“Lahan sampai atas itu sudah kopi semua, tak ada hutan. Sebagian lagi sudah jadi pemukiman dan ada masjid. Tak ada hutan sama sekali disini,” kata Nurtoyo, petani kopi yang membeli lahan pada 1987.
Lahan mereka tanami kopi itu kemudian diklaim sebagai kawasan hutan produksi terbatas seluas 125,8 hektar.
Menurut Tantomi, Pelaksana Tugas Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Bukit Balai Rejang, kawasan itu semula Hutan Lindung Bukit Basa.
“Penataan batas ada penolakan dari warga, tetapi akan tetap ada penetapan batas berdasarkan peta penunjukan dari menteri, kendati lahan sudah banyak dikuasai masyarakat,” katanya saat bersama Gugus Tugas Reforma Agraria dipimpin Sekretaris Daerah Rejang Lebong, RA Denni.
Kawasan masuk HPT itu tak masuk dalam peta indikatif tanah obyek reforma agraria (tora). Kalau jadi obyek tora, perlu ada revisi penunjukan objek.
Masyarakat Lubuk Kembang, lebih memilih program tora daripada perhutanan sosial untuk 125,8 hektar lahan yang selama ini mereka kuasai.
“Tanah di Lubuk Kembang hak kita karena telah turun-temurun dari nenek moyang. Dari dulu sudah kebun. Kami tak memilih perhutanan sosial, karena lahan kami bukan hutan,” kata Nazaruddin, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lubuk Kembang.
Masalah di Rejang Lebong, katanya, ada tarik menarik antara ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejak 2016, Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan di bawah naungan KLHK telah mengidentifikasi sejumlah tanah di Lubuk Kembang dan desa sekitar untuk jadi HPT.
Masyarakat Lubuk Kembang dan sekitar didukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menentang HPT karena tidak ingin tanah dimiliki pemerintah. Mereka tak mau perhutanan sosial.
‘Tanah ini hak kami karena BPN telah mengeluarkan sertifikat kepada beberapa masyarakat setelah mengurus selama dua tahun,” kata Nazaruddin.
Lahan bisa dilepas buat warga
Agus Priambudi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bengkulu mengatakan, konflik lahan di Lubuk Kembang jadi kasus berbeda. Status lahan sebagai HPT, masih penunjukan, belum surat penetapan. Kondisi ini, katanya, memungkinkan ada pelepasan, sesuai Pasal 3 Perpres 88 soal penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan. “Yang akan dilepas 125 hektar,” kata Priambudi.
Dia bilang, status lahan HPT masih penunjukan, tim inventarisasi dan verifikasi ingin mengetahui batas-batas lahan dan penggarapnya. Langkah ini, katanya, lebih cepat ketimbang harus menunggu skema RTRW provinsi.
Lahan-lahan yang telah dikuasai masyarakat itu, katanya, memang diusulkan Bupati Rejang Lebong kepada Gubernur untuk masuk RTRW provinsi. Bersama usulan-usulan dari bupati se-Bengkulu, gubernur akan mengusulkan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk verifikasi.
“Dalam pertemuan sebelumnya, bupati telah menegaskan lahan itu akan diserahkan kepada masyarakat.”
Eks HGU
Hariyanto, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Rejang Lebong menyebutkan, ada daftar isian pelaksana anggaran (dipa) 2018 sebanyak 3.500 sertifikat jatah kabupaten ini. Jumlah ini, katanya, hanya obyek redistribusi.
Lahan prioritas redistribusi adalah milik PT Bumi Mega Sentosa (BMS), hak guna usaha sudah dicabut seluas 6.925 hektar di dua kecamatan, yakni, Kota Padang dan Padang Ulak Tanding. Ada delapan desa di dalamnya. Sekitar 1.000 hektar sudah jadi lahan transmigrasi.
Pemerintah daerah akan mengambil lahan 1.000 hektar untuk rencana perkantoran kabupaten baru hasil pemekaran wilayah.
“Bupati akan membagi dua hektar untuk setiap keluarga, tetapi di lapangan ada yang sudah menguasai lebih dua hektar bahkan sampai 10 hektar. Kita perlu pendekatan kepada mereka yang menguasai lahan lebih dari dua hektar ini,” kata Hariyanto.
Jondrik, Camat Kota Padang mengatakan, lahan eks HGU BMS juga ada di wilayahnya. Ada warga menguasai lahan sampai 10 hektar. “Yang bersangkutan pasti bilang rugi dan tidak mau dibagi, tapi tanah ini harus dibagi-bagi.”
Dia bilang, sudah ada 321 keluarga dinilai berhak mendapatkan jatah lahan redistribusi. Dia menunggu data dari dua desa lagi yang belum selesai.
Nani Elvira, Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Rejang Lebong mengatakan, pendataan belum selesai. Masih ada kecamatan belum menyerahkan laporan. “Kami masih menunggu laporan dari camat mengenai data warga yang menguasai lahan lebih dua hektar,” katanya.
Pemilik lahan lebih dua hektar, kata Hariyanto, akan diundang khusus bupati untuk membahas lahan itu.
Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya dan Ekologi Strategis Kantor Staf Presiden mengatakan, reforma agraria dan perhutanan sosial jadi prioritas kerja dari Presiden Joko Widodo, guna mengakui lahan masyarakat maupun wilayah adat.
Sejak 2014, Jokowi berkomitmen, meredistribusi tanah dan memberikan hak kepemilikan maupun hak kelola lahan bagi rakyat. Salah bagian reforma agraria, katanya, memberikan sertifikat hak milik (SHM) kepada masyarakat yang belum memiliki hingga diakui secara hukum.
Sebelum memberikan SHM, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)akan mengidentifikasi wilayah. Selain memetakan, pemerintah juga mengidentifikasi pemilik tanah itu. Identifkasi menyangkut nama, alamat, usia dan nomor kontak.
“Mereka yang telah menguasai lahan 10 hektar, misal, karena hak redistribusi hanya dua hektar per-keluarga, ada delapan hektar lahan harus dikembalikan ke negara. Lahan lebih itu perlu diberi konpensasi jika yang delapan hektar sudah ada tanaman produktif,” kata Usep
Selain redistribusi lahan, reforma agraria juga bisa melalui legalisasi lahan. Legalisasi lahan, katanya, memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Sedangkan redistribusi lahan, membagi kepada warga yang belum memiliki.
Sumber redistribusi lahan, katanya, bisa lahan eks-HGU, atau tanah terlantar mencakup lahan HGU tidak digarap.
Keterangan foto utama: Warga Dusun I Lubuk Kembang sebagian besar menggantungkan hidup dari kopi. Masyarakat disana tengah risau karena lahan tempat mereka tinggal dan berkebun diklaim sebagai kawasan hutan produksi terbatas seluas 125,8 hektar. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia