Empat tahun Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, banyak suka dan duka yang telah dilalui sektor kelautan dan perikanan. Berbagai keberhasilan sudah dilewati Indonesia selama periode tersebut. Namun, tak sedikit juga kegagalan yang harus diterima oleh Indonesia pada sektor tersebut. Hal tersebut, mencakup kinerja secara keseluruhan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Penilaian itu, salah satunya diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim. Menurut dia, laporan kinerja empat tahun yang dibuat KKP dan dipublikasikan di hadapan Presiden RI Joko Widodo, Selasa (23/10/2018), tidak mencerminkan kinerja keseluruhan dari kementerian tersebut.
“Justru, banyak kegagalan yang diperlihatkan dari laporan itu,” ucapnya kepada Mongabay, Selasa (23/10/2018).
Di antara kegagalan yang dimaksud, menurut Halim, adalah kinerja ekspor perikanan yang tidak mencerminkan adanya kenaikan kesejahteraan kepada masyarakat perikanan skala kecil. Padahal, stakeholder tersebut adalah notabene menjadi aktor utama rantai dagang produk perikanan di Indonesia.
Kegagalan berikutnya, adalah kinerja ekspor perikanan yang berimbas buruk terhadap kelangsungan sumber daya perikanan, seperti rajungan. Kondisi itu bisa terjadi, diakibatkan minusnya praktek pemanfaatan sumber daya rajungan dan spesies lainnya mulai dari hulu ke hilir. Jika terus dibiarkan, Halim meyakini, kondisinya akan terus memburuk.
Kritikan berikut yang disebutkan Halim, adalah pembiayaan usaha perikanan yang berdasarkan tahun buku 2016 belum diarahkan untuk membiayai usaha perikanan berkelanjutan. Akan tetapi, dari hasil kajian yang dilakukan dirinya, pembiayaan dikucurkan hanya sekedar untuk mengejar target pendistribusian dana.
baca : Benarkah Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia Ungguli Negara Pesaing?
Kinerja Lamban
Menurut Halim, lambannya kinerja KKP dalam menjalankan mandat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, menjadi cerminan bahwa perlindungan dan pemberdayaan nelayan belum menjadi prioritas utama KKP.
“Indikasinya, tidak ada kenaikan jumlah jiwa nelayan dan usaha perikanannya yang terlindungi. Hal ini juga dialami oleh pembudidaya ikan dan terlebih lagi oleh petambak garam,” jelasnya.
Selain kegagalan di atas, Halim menyebutkan, KKP juga gagal total dalam memastikan target swasembada garam konsumsi dan/atau garam industri. Hal itu berdasarkan fakta, bahwa garam impor merajalela dan KKP terlihat lepas tangan.
“Banyak regulasi yang kedodoran di level implementasi, seperti Permen HAM (hak asasi manusia) pada usaha perikanan, dan lain-lain,” tegasnya.
baca juga : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?
Terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati juga menyoroti banyaknya kegagalan yang harus dihadapi KKP pada empat tahun kepemimpinan Susi Pudjiastuti. Salah satunya, adalah arah kebijakan KKP yang masih fokus untuk mendorong produksi dan industrialisasi perikanan. Sementara, disaat yang sama, nelayan belum dinaikkan kesejahteraannya dengan cepat.
“Yang selalu jadi target KKP, bagaimana nelaya digenjot untuk menyajikan pangan di meja makan, tanpa dipikirkan tentang kesejahteraan mereka,” ucapnya kepada Mongabay.
Sama halnya dengan Halim, Susan juga mengkritisi kebijakan KKP dalam menjalankan amat UU 7/2016 dan dinilai masih belum maksimal. Dia kemudian mencontohkan, per September 2018, asuransi untuk nelayan baru diberikan untuk 5.000 orang dari total kuota 500.000 orang. Itu berarti, masih ada 495.000 nelayan yang belum mendapatkan asuransi dan tidak jelas status mereka.
Permasalahan serius lain yang dinilai belum diselesaikan oleh KKP, menurut Susan, adalah perampasan ruang dan kriminalisasi kepada nelayan. Dia menyebut, saat ada kasus atau konflik yang terjadi di laut, KKP selalu lepas tangan dan berdalih bahwa itu bukan kewenangan mereka. Padahal, menurutnya, nelayan adalah bagian dari KKP dan mereka ikut mendorong produksi perikanan nasional.
Berkaitan dengan bantuan kapal, Susan mengkritik bahwa itu tidak ada dalam laporan kinerja empat tahunan KKP. Padahal, dia menyebut bahwa program tersebut bermasalah hingga sekarang, dari mulai sejak pengadaan yang berantakan hingga proses distribusi yang tidak tepat sasaran.
baca : Penyaluran Asuransi Nelayan Berjalan Lambat, Kenapa Bisa Terjadi?
Berbeda dengan Halim dan Susan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memberi pandangan berbeda tentang kinerja empat tahun KKP. Menurutnya, KKP telah bekerja baik dengan keberhasilan dan pencapaian yang menonjol pada pembangunan kelautan dan perikanan.
Dia menyebutkan, keberhasilan itu salah satunya adalah peningkatan stok ikan nasional secara signifikan, berkurangnya praktik penangkapan ikan secara ilegal, meningkatnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan meningkatnya tingkat konsumsi ikan.
“Namun demikian, secara programatik, ada beberapa hal penting yang perlu diberikan catatan kritis,” ujarnya kepada Mongabay.
baca : Ekspor Pangan Laut Berjaya, Tak Berarti Kesejahteraan Nelayan Kaya
Capaian Rendah
Beberapa catatan yang harus dikritisi itu, kata Abdi, adalah produk domestik bruto (PDB) Perikanan yang tidak pernah mencapai target. Kata dia, walaupun tumbuh dan melebihi pertumbuhan PDB nasional, PDB perikanan justru tumbuh paling tinggi hanya pada 2015 yaitu 7,89 persen. Setelah itu, pertumbuhan PDB tidak pernah mencapai 7 persen, tapi pada kisaran 5,15-5.95 persen.
Padahal, dalam rencana strategis, KKP menargetkan pertumbuhan PDB perikanan masing-masing 8 persen, 9,50 persen dan 11 persen pada 2016, 2017 dan 2018. Artinya, penetapan target PDB dalam setiap tahunnya tidak memperhatikan capaian tahun sebelumnya dan juga proyeksi pertumbuhan ekonomi perikanan berdasarkan kondisi internal dan eksternal.
Abdi menjelaskan, rendahnya serapan kredit perikanan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan Perikanan (LMPUKP). Dalam laporan kinerja, tidak mengelaborasi secara mendalam tentang status dan capaian sektor pembiayaan usaha perikanan.
Menurut catatan DFW, realisasi pertumbuhan kredit KUR untuk bidang perikanan dalam 4 tahun ini masih sangat rendah dan belum menembus angka 2 persen dari alokasi KUR yang terus bertambah dari Rp100 trilun pada 2016, dan tahun ini menjadi Rp110 triliun. Dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018, alokasi KUR meningkatl lagi menjadi Rp120 triliun.
baca : Lembaga Keuangan Mikro, Harapan Baru Nelayan untuk Bertahan Hidup
Catatan berikutnya, kata Abdi, adalah belum adanya pengelolaan pulau kecil yang mandiri di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo. Dalam kurung waktu empat tahun, pemerintahan belum memberikan sentuhan program yang terintegrasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Dari jumlah 16.056 pulau kecil yang telah didepositkan ke PBB pada Juli 2017, pemerintah belum menyusun cetak biru pengelolaan pulau kecil yang mandiri.
Program Sentra Kelautan dan Perikanan (SKPT) yang berbasis di pulau-pulau kecil terluar dengan tujuan meningkatkan ekonomi pinggiran dengan melakukan ekspor langsung, menurut Abdi masih belum dapat diwujudkan karena kendala infrastruktur, regulasi ekspor dan pembiayaan. Yang terjadi, perhatian pemerintah pada pembangunan pulau-pulau kecil terluar, dalam 2 tahun ini justru menurun.
“Ini bisa dilihat dari ketiadaan anggaran dan program khusus pulau kecil terluar dan ketiadaan tim koordinasi lintas kementerian,” tegas dia.
baca : Mengapa Komitmen Pemerintah untuk Membangun SKPT di Pulau Terluar Terus Turun?
Permasalahan lain yang juga menjadi sorotan DFW, kata Abdi, adalah sertifikasi hak atas tanah nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil. Dalam kurun waktu 2015-2017, Pemerintah hanya mampu menerbitkan 52.411 sertifikat hektare atas tanah bagi nelayan dan usaha penangkapan ikan. Tahun ini, bahkan baru tahap identfikasi untuk 15.000 sertifikat.
Bagi Abdi, angka tersebut sangat r
endah karena jumlah nelayan dan pembudidaya saat ini sudah mencapai 2,2 juta. Padahal, dia menyebut bahwa program sertifikat tanah menjadi program andalan Presiden Jokowi yang pada 2017 berhasil direalisasikan hingga 5 juta sertifikat tanah rakyat. Kepemilikan sertifikat tanah ini, diyakini bisa membantu nelayan untuk mendapatkan modal usaha pada pihak bank.
Hal lain yang juga menjadi perhatian DFW, menurut Abdi, masih banyak pelaku usaha perikanan tidak transparan dalam menyampaikan laporan hasil tangkap atau produksi ikan. Laporan itu, terutama diberikan pada saat membuat perpanjangan izin. Jika itu dibiarkan, dia meyakini bahwa negara akan mengalami kerugian besar dari sektor pajak.
***
Keterangan foto utama : Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia