Nama anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) jadi pembahasan serius di kalangan pegiat konservasi Sulawesi Utara. 20 September 2018, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.92/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/8/2018, secara resmi mendepak spesies ini dari daftar dilindungi. Padahal, burung endemik Sangihe statusnya Kritis (Critically Endangered).
Burung bernama lokal sohabe cokelat, memang bukan jenis kenamaan masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Ia masih kalah populer dari jenis endemik/khas lainnya, seperti manu niu (seriwang sangihe/Eutrichomyias rowleyi).
Dikeluarkannya anis-bentet sangihe dari jenis dilindungi dianggap sebagai keputusan tidak rasional. Sebab, daftar merah IUCN menunjukkan, populasinya diperkirakan antara 92-255 individu dan terus mengalami penurunan. Satu-satunya lokasi untuk melihat burung adalah puncak Gunung Sahendaruman. Kawasan ini juga tak lepas dari ancaman alih fungsi hutan.
Menyikapi terbitnya Permen LHK tersebut, sejumlah individu maupun lembaga konservasi di Sulawesi Utara, menggabungkan diri dalam Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI). Forum yang beranggotakan 150 organisasi/lembaga dan 44 perorangan di seluruh Indonesia. Mereka menandatangani petisi dengan harapan pemerintah mengembalikan anis-bentet sangihe ke daftar dilindungi.
“Ini karena ketidaktahuan pembuat kebijakan,” terang Samsared Barahama, Direktur Perkumpulan Sampiri, ketika dihubungi Mongabay Indonesia, Senin (22/10/2018).
Sejak 1999, pihaknya telah sosialisasi ke masyarakat akan kondisi burung ini. Samsared tak habis pikir, dalam beberapa bulan, KLHK merevisi peraturan dan mencoret anis-bentet sangihe. Bersama masyarakat, kami menjalankan program pengelolaan hutan lindung Sahendaruman berbasis kampung. Tujuannya, meminta komitmen warga melindungi hutan itu.
“Aneh, keputusan ini dikeluarkan tanpa konfirmasi pihak-pihak yang terlibat pelestarian burung. Melihat saja susah, apalagi menangkap. Tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya, karena hanya ada di puncak Gunung Sahendaruman,” jelasnya.
Baca: KLHK Galau Bikin Aturan Perlindungan Satwa, Pegiat Konservasi Burung Kecewa
Keterancaman habitat
Tidak semua yang datang ke puncak Gunung Sahendaruman, beruntung menyaksikan anis-bentet sangihe. Henri Hebimisa, fotografer hidupan liar Sangihe, mengaku melihat burung ini setelah mendaki puncak gunung tersebut lebih 10 kali. Bahkan, menghabiskan waktu seharian di puncak gunung bukan jaminan.
“Tidak cukup semalam. Berapa kali saya bersama rombongan tidak ketemu. Tidak ada kepastian. Waktu itu saya lihat 3 individu, pagi hari. Hinggap di pohon berlumut yang tidak terlalu tinggi. Suaranya keras sekali. Luar biasa senang.”
Dicoretnya status perlindungan tentunya berdampak negatif bagi kelestarian anis-bentet sangihe. Tak ada lagi larangan pemburu atau pedagang burung menjualnya. “Sangat disayangkan, alasan apa yang harus kita sampaikan ke masyarakat?” ujarnya.
Baca juga: Tiga Jenis Burung Hendak Dikeluarkan dari Daftar Satwa Dilindungi, Berikut Penjelasan KLHK
Sahendaruman adalah kawasan hutan lindung seluas 3487,82 hektar. Sebagai habitat berbagai spesies endemik, kawasan ini terancam menjadi permukiman maupun perkebunan.
Hanom Bashari, peneliti burung kawasan Wallacea yang pernah mengunjungi Gunung Sahendaruman mengatakan, salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah melibatkan masyarakat dalam agenda-agenda perlindungan hutan. Bisa berupa pembuatan peraturan desa, kesepakatan konservasi tingkat desa, atau program yang difasilitasi pemerintah daerah. Satu atau dua desa berkomitmen, desa lain akan terlibat.
“Keterancaman hutan lindung Sahendaruman cukup mengkhawatirkan, sebab ada 8 jenis burung endemik Sangihe di kawasan ini yang 4 di antaranya berstatus kritis. Ada seriwang sangihe, anis-bentet sangihe, kacamata sangihe, dan udang-merah sangihe,” jelasnya.
Menurut Hanom, perlindungan satwa liar harusnya tidak semata-mata didasari ancaman dalam bentuk perdagangan maupun perburuan. Tapi juga karena fungsi di alam atau status global yang dikategorikan kritis.
“Di Sangihe hampir semuanya kritis, karena sebarannya terbatas dan bergantung hutan primer, hutan alami. Tidak dilindunginya anis-bentet sangihe membuatnya semakin dikenal untuk diburu,” ujarnya.
Stenly Pontolawokang, fotografer hidupan liar Sangihe menjelaskan, jenis ini relatif kurang populer. Kalau bilang manu niu, orang Sangihe banyak yang tahu. Dia menduga, minimnya pubilkasi resmi membuat informasinya terbatas.
“Saya tidak tahu dasar dikeluarkannya, mungkin karena kurang terkenal. Sekarang, selain berupaya mengembalikan perlindungannya, kita juga perlu lebih giat menjaga kawasan Sahendaruman,” jelasnya.
Oktavianus Lumasuge, warga Sangihe yang pernah mengikuti survei burung, membenarkan bahwa riset dan publikasi mengenai jenis ini minim. Walau pada 1995-1999 ada riset, namun tidak spesifik mengkaji anis-bentet sangihe.
Sohabe cokelat baru diketahui dalam survei action sampiri, setelah tim peneliti menunjukkan fotonya ke masyarakat, untuk membedakannya dengan sohabe kuning (Ixos avinis).
“Habitatnya terancam dan tidak ada regulasi jelas melindunginya. Kondisi ini menyulitkan mengajak masyarakat untuk bergabung dalam kegiatan konservasi,” tuturnya.
Tanggapan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 20 September 2018, telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.92/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/8/2018 tentang pencabutan status lima jenis burung dari daftar satwa dilindungi. Peraturan ini merupakan perubahan atas Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Lima jenis burung yang dikeluarkan adalah cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), jalak suren (Gracupica jalla), kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis).
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indra Exploitasia mengatakan, pencabutan peraturan menteri didasari pada prinsip konservasi, yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Pencabutan status lima burung menjadi tidak dilindungi, berlandaskan data di penangkaran atau ex situ yang populasinya cukup banyak.
“Data tidak selalu harus ada atau yang tersedia di alam. Data juga bisa berasal dari ex situ. Ini yang menjadi dasar kebijakan kami untuk (burung) menjadi tidak dilindungi. Ternyata, di wilayah ex situ populasinya sangat banyak,” terang Indra pada kegiatan Pengembalian Satwa Liar Hasil Penyelundupan di Balai Besar KSDA Jawa Timur, Jumat (12/10/2018), di Surabaya.
Indra menambahkan, berdasarkan prinsip konservasi, siapa saja dapat memanfaatkan keberadaan burung-burung di alam, baik yang dilindungi maupun yang tidak. “Jadi, masyarakat boleh melakukan penangkaran. Nah, ini yang saya katakan tadi, ex situ bisa mendukung in situ. Kegiatan di penangkaran memiliki kewajiban mengembalikan ke alam. Sebagai fresh blood atau darah segar yang mendukung pelestarian di in situ,” imbuhnya.
Meski lima burung itu tidak dilindungi, Indra menegaskan akan tetap melakukan penindakan terhadap aktivitas penangkapan di alam, terlebih yang dilindungi. “Dilindungi maupun tidak, itu menjadi concern kita semua. Tidak hanya KLHK, dari pihak manapun juga, tangkapan dari alam tanpa dokumen harus kita awasi,” terangnya.
Sebelumnya, Rosek Nursahid yang merupakan salah satu penggagas Forum Konservasi Burung Indonesia (FKBI), menyayangkan dikeluarkannya lima jenis burung tersebut tanpa kajian ilmiah. “Harusnya, pencabutan atau penurunan status melalui tahapan ilmiah. Ada rekomendasi LIPI kemudian dikaji. Ini dalam waktu tiga bulan, LIPI juga tidak merekomendasikan, tiba-tiba dibatalkan,” katanya.
Terkait acuan data ex situ yang digunakan, menurut Rosek, pertimbangan perlindungan satwa maupun tumbuhan harus berdasarkan populasi di alam. Bukan di penangkaran atau ex situ.
“Dalam UU Nomor 5 tahun 1990, ada tiga kriteria suatu satwa bisa dilindungi, endemik di suatu daerah, sebarannya terbatas, dan populasi menurun tajam. Tidak ada penjelasan populasi di penangkaran tinggi menjadi alasan tidak dilindungi,” ujarnya.
Rosek menambahkan, pernyataan KLHK yang akan melakukan kontrol ketat di alam, baik untuk satwa dilindungi maupun tidak, sudah menjadi hal wajar. Namun, pada praktiknya, sulit dijalankan para pemangku kebijakan. “Siapa yang bisa mengontrol penangkapan burung di alam jenis A misalnya, sudah memenuhi atau melebihi kuota? Tidak ada yang bisa menjawab,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Burung Indonesia, Dian Agista, mengungkapkan terbitnya Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 menimbulkan gejolak di kalangan penyelenggara lomba burung berkicau. Mulai dari penyedia pakan dan kandang burung, peternak/penangkar burung, pemilik, pehobi, hingga peserta lomba, gusar.
Tuntutan mereka agar KLHK mencabut atau merevisi aturan tersebut dengan mengeluarkan tiga jenis burung berkicau yaitu kucica hutan, cucak rawa, dan jalak suren, terakomodasi dengan terbitnya Peraturan Menteri No. P.92/2018 pada 20 September 2018. “Namun nyatanya, dalam peraturan itu dikeluarkan juga anis-bentet kecil dan anis-bentet sangihe.”
Aturan ini, sejatinya tidak spesifik hanya mengatur perlindungan burung. Tetapi atas dasar kajian ilmiah yang jelas, melindungi berbagai jenis satwa dan tumbuhan. “Atas terbitnya peraturan tersebut, bukan tidak mungkin tekanan berdatangan untuk mengeluarkan jenis satwa dan tumbuhan lain dari daftar dilindingi. Ini ancaman bagi keragaman hayati Indonesia,” tandasnya.