Sekilas serangga seperti halnya lebah dipandang sebelah mata, padahal kehadirannya begitu penting dalam ekosistem. Bahkan, lebah liar mampu meningkatkan produksi pertanian khususnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
Mengapa demikian? “Serangga penyerbuk merupakan salah satu layanan jasa ekosistem yang penting bagi manusia dan lingkungan. Sebanyak 35% di antaranya merupakan penyedia sumber pangan dunia. Bahkan, 80% tanaman pertanian penyerbukannya bergantung pada serangga penyerbuk tersebut,”ungkap Profesor Imam Widhiono saat pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah,Jumat (26/10/2018).
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Imam sejak tahun 2009 silam menyebutkan, hasil pertanian di lereng Gunung Slamet bagian timur, tepatnya di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jateng, meningkat cukup signifikan.
“Kehadiran serangga penyerbuk mampu meningkatkan hasil pertanian terkhusus lebah liar. Sebagai contoh, untuk tanaman stroberi, ada peningkatan antara 16%-20%, tergantung dengan spesies serangga penyerbuknya. Sedangkan untuk buncis ada peningkatan antara 19%-33%. Sementara untuk tomat ada peningkatan antara 19%-27%,”jelasnya.
baca : Anomali Cuaca Picu Serangan Hama
Serangga penyerbuk, lanjutnya, terdiri atas sejumlah ordo di antaranya adalah Diptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Namun, dari ketiga ordo tersebut, peran yang sangat penting untuk reproduksi seksual berbagai jenis tanaman adalah Ordo Hymenoptera khususnya lebah.
“Lebah dianggap lebih efisien dalam membantu penyerbukan tanaman pertanian. Sebab, mampu meningkatkan stabilitas, kualitas dan jumlah layanan penyerbukan sepanjang waktu jika dibandingkan dengan serangga lainnya,”katanya.
Dikatakan Prof Imam, lebah terbagi menjadi dua kelompok yakni lebah sosial atau berkoloni serta lebah solitaire atau penyendiri. Ternyata, setiap kelompok memiliki peran tersendiri dalam proses penyerbukan. Anterkelompok saling melengkapi karena adanya pola adaptasi dan penyesuaian antara bentuk, warna bunga, ketersediaan pollen dan fenologi pembungaan.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh Prof Imam, serangga penyerbuk memiliki peran penting dalam peningkatan produksi dan kualitas produk pertanian. Namun demikiam, keberadaan dan peran serangga penyerbuk di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian.
“Padahal di berbagai negara sudah sangat intensif melakukan konservasi serangga penyerbuk, terutama setelah terjadinya CCD atau colony colaps disorder atau kematian koloni Apis mellifera (lebah madu) sebagai penyerbuk utama pada tanaman pertanian di Kanada, AS dan Eropa,”ujarnya.
baca juga : Perubahan Iklim, Lebah Madu Hengkang dari Sentarum
Penurunan jumlah koloni lebah madu, kata Imam, menyadarkan para entomolog untuk lebih menaruh perhatian besar bagi lebar liar, karena lebih mampu bertahan terhadap gejolak lingkungan.
“Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keragaman dan kelimpahan lebah liar, terutama keberadaan sumber pakan. Selain itu, pemanasan global juga berpengaruh. Dari hasil penelitian yang kami lakukan, pada saat suhu 14 derajat Celcius di pagi hari dan 20 derajat Celcius di siang hari, kemudian pada sore hari turun lagi berdampak pada kematian koloni lebah madu,”katanya.
Dari berbagai riset yang dilakukan Prof Imam, selama 9 tahun mulai 2009-2018, maka untuk melestarikan dan memanfaatkan serangga penyerbuk, maka dilakukan dengan rekayasa ekosistem.
“Pendekatan rekayasa ekosistem tersebut baru mulai dikembangkan pada tahun 1990-an. Rekayasa dikenal dengan “Agri-Enviromental Scheme”. Tujuannya adalah meningkatkan keragaman hayati ekosistem pertanian khususnya serangga penyerbuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman pertanian,”jelasnya.
Tetapi, lanjut Prof Imam, metode seperti ini belum dikembangkan dan cenderung kurang sesuai karena keterbatasan lahan petani. “Karena itu, saya mencoba menyusun model rekayasa ekosistem yang sesuai dengam petani di Indonesia. Konsep dasarnya adalah membuat ekosistem lanskap pertanian yang sesuai dengan serangga penyerbuk. Karena bentang lahan, maka tidak hanya pada lahan pertanian tetapi menyangkut kawasan pertanian seperti batasan lahan, tepian jalan, batasan hutan, pekarangan dan hutan rakyat,” katanya.
menarik dibaca : Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet
Dia mengatakan di lereng Gunung Slamet wilayah timur, misalnya, ditemukan 37 spesies tumbuhan liar berbunga dan 24 di antaranya dikunjungi serangga penyerbuk. Ada empat jenis yang menjadi incaran lebih dari satu serangga.
“Kemudian keempat jenis tanaman liar itu ditanam di sekitar areal tanaman pokok seperti kacang panjang, buncis, tomat, cabai dan stroberi. Dari penambahan 15% empat spesies tumbuhan liar tersebut, mampu meningkatkan keragaman dan jumlah serangga penyerbuk.”
Tak hanya itu, hutan pinus mampu mendukung keragaman dan populasi serangga penyerbuk bagi tanaman tomat, cabai dan storberi. Habitat lainnya yang penting adalah hutan rakyat. Jadi, banyaknya tumbuhan liar berbunga berbanding lurus dengan keragaman jenis serangga penyerbuk.
“Di sinilah peran penting petani dan dinas pertanian. Sebab, rekayasa ekosistem iti tidak akan berhasil kalau hanya dilakukan sendiri. Sehingga dibutuhkan kesadaran bersama. Di sisi lain, saya melihat kalau petani mengganggap kalau seluruh serangga adalah hama sehingga penggunaan insektisida dilakukan secara intensif. Padahal tidak demikian,” ujar Prof Imam.
Model rekayasa ekosistem yang dilaksanakan saat sekaranga adalah dengan membiarkan batasan lahan dan tepian jalan untuk ditumbuhi tumbuhan liar berbunga. Selain itu, bisa menyediakan lahan untuk tumbuhan liar berbunga dengan tidak melakukan penyemprotan herbisida di luar areal pertanian. “Layanan jasa ekosistem penyerbukan serangga merupakan kunci keberhasilan produksi dan mutu buah pada tanaman pertanian,” tandasnya.