Setelah sempat hujan selama 20 menit, Pantai Kuta, Bali, kembali cerah pada Minggu (28/10/ 2018) pagi. Sekitar 3.000 orang yang memenuhi pantai sisi selatan, di dekat Pos Balawisata, pun kembali ke pasir putih pantai ternama tersebut.
Tiga di antara ribuan orang tersebut adalah Sultan Akina Dafa, I Wayan Indra Agus, dan Gede Panji Parwaka. Ketiga murid SDN 4 Tuban, Kuta ini ikut bersama massa yang pagi itu melngikuti aksi bersih-bersih pantai (beach clean up).
Selama sekitar satu jam, mereka mendapatkan setengah karung aneka sampah, seperti bekas botol minuman, plastik, bungkus nasi, daun, dan lain-lain. Setelah itu, mereka akan membawa sampahnya ke sekolah untuk dipilah.
Indra Agus mengatakan, dia dan teman-temannya dari sekolah di dekat Bandara Ngurah Rai Bali itu sudah lima kali ikut bersih-bersih di pantai. “Ikut bersih-bersih karena laut adalah warisan kita,” kata Indra ketika ditanya alasannya mengikuti bersih-bersih pantai hari itu.
Seperti Agus dan dua temannya, pagi itu ribuan anak SD lain juga ikut dalam aksi bersih-bersih pantai yang diadakan sebagai bagian dari Our Ocean Conference (OOC) 2018. Konferensi tentang isu kelautan ini diadakan di Nusa Dua, Bali pada Senin – Selasa, 29-30 Oktober 2018.
baca : Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?
Tidak hanya ikut membersihkan pantai, anak-anak SD itu juga berkampanye tentang kebersihan lingkungan laut. Anak-anak SDN 13 Pedungan, Denpasar Selatan juga bermain teater tentang laut. Mereka bahkan membuat lagu berjudul Our Ocean yang lebih mirip yel-yel.
“Sampah kurangi, sampah pilahkan, sampah komposkan, sampah dermakan.. Lingkungan bersih indah sehat. Terasa bahagia. Jangan biarkan sampah berserakan..”
Demikian lirik lagu tersebut.
Nyoman Sudarsana, salah satu guru, mengatakan, bersih-bersih di pantai hanya sebagai kampanye tentang perlunya anak-anak menjaga sampah. Di luar itu, sekolah juga berperan penting. Karena itu pula, pendidikan tentang pengolahan sampah di sekolah menjadi hal amat penting.
“Kalau di sekolah sudah tiap hari ada bersih-bersih. Kalau ada sampah plastik, harus dipisah. Sudah ada peraturan sekolah yang tujuannya agar sekolah harus bebas dari plastik,” ujar guru olah raga itu.
baca juga : Masuknya Sampah Indonesia Dalam Aplikasi Pencatat Sampah Dunia. Untuk Apa?
Laut sebagai Warisan
Tahun ini OOC mengambil tema Our Ocean, Our Legacy atau Laut Kita, Warisan Kita. Karena itu amat relevan melihat bagaimana anak-anak calon pewaris seperti Indra dan teman-temannya terlibat dalam aksi bersih-bersih pantai.
Namun, menurut Indra, di sekolah pun mereka melakukan hal sama. “Kalau di sekolah, kami juga tiap pagi melakukan bersih-bersih selama 15 menit sebelum sekolah. Di kantin pun sudah diajarkan agar tidak pakai plastik,” lanjutnya.
Bersih-bersih pantai kemudian lebih hanya sebatas kampanye tentang sampah karena melibatkan banyak orang. Apalagi jika melibatkan pejabat publik atau pemberi pengaruh seperti halnya di Kuta pada Minggu pagi itu.
Hadir Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen, dan sejumlah pejabat lain.
“Tentu saja bersih-bersih saja tidak cukup, tetapi di sini banyak sehingga kita bisa meningkatkan kesadaran tentang polusi sampah plastik. Kalau banyak orang ikut bersih-bersih, maka mereka akan bisa mengubah kebiasaannya dalam memakai dan memproduksi sampah plastik,” kata Dubes Denmark Rasmus Abildgaard Kristensen.
“Laut adalah kehidupan kita. Karena itu cintailah lautmu sebagaimana kita mencintaimu hidupmu,” kata Menlu Retno saat memberikan sambutan.
menarik dibaca : Darurat: Penanganan Sampah Plastik di Laut
Mengurangi Penggunaan
Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengatakan hal serupa. Menurutnya, Indonesia sudah berhasil melindungi laut dari praktik perikanan ilegal, tidak terdaftar, dan tidak terlaporkan atau illegal, unregulated, and unreported (IUU Fishing). “Sekarang, mari lindungi laut kita dari polusi, terutama sampah plastik. Mari hentikan pemakaian plastik dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Menurut Susi, jika tidak ada pengurangan penggunaan plastik, pada tahun 2030 nanti nelayan akan lebih banyak mendapatkan plastik daripada ikan. “Karena jumlah plastik lebih banyak dibandingkan ikan. Jadi laut kita harus jaga,” katanya.
Selain itu, Susi melanjutkan, sampah plastik juga terbukti telah merusak terumbu karang dan berubah menjadi mikroplastik dalam ikan. Untuk itulah dia mengajak agar kantor-kantor juga mulai melarang penggunaan plastik, seperti botol air mineral.
“Masa kita kalah dari negara-negara kecil di Afrika? Masa kita tidak bisa hidup tanpa sedotan, tanpa bungkus plastik? Jadi mulai sekarang tidak ada lagi botol plastik di kantor ya. Pakai galon, masing-masing isi dan bawa tumbler. Bisa tidak?” tanya Susi di depan para peserta.
“Bisaaaa!!!” peserta aksi bersih-bersih menyanggupi.
“Katanya laut kita, warisan kita. Masa warisan mau dikotori plastik?” lanjut Susi.
baca : Menelisik Jejak Plastik di Samudera Kini
Namun, menurut Kepala Kebijakan Oceana Jacqueline Savitz, mengurangi penggunaan plastik saja tidak cukup. Para produsen barang-barang berbungkus plastik juga harus bertanggungjawab dengan menghentikan penggunaan plastik.
“Apa yang kita inginkan sebagai solusi adalah perusahaan-perusahaan itu tidak lagi menggunakan plastik untuk membungkus produk-produk mereka. Jika mereka melakukannya, maka mereka tidak akan merusak pantai,” kata Jacqueline.
baca : Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?
Oceana adalah organisasi internasional berpusat di Amerika Serikat yang memberikan perhatian khusus pada sampah plastik di laut. Untuk mendorong penghentian penggunaan plastik itu, mereka juga telah berdialog dengan para perusahaan. Namun, menurut Jacqueline, publik juga harus terlibat mendesak perusahaan-perusahaan itu.
“Kami sudah berbicara dengan mereka. Saya rasa mereka menunggu publik untuk meminta. Terima kasih sudah membersihkan pantai, tetapi kita juga harus menuntut, stop gunakan plastik,” katanya.
Jackie, panggilannya, mengatakan bahwa pihak perusahaan lebih banyak berdalih pada konsep ekonomi memutar (cicular economy) dan daur ulang (recycle). Namun, dia mengaku tidak percaya pada konsep tersebut.
“Susah untuk membayangkan hal itu akan berjalan saat ini. Pertama, saya masih melihat setiap hari truk sampah ke laut tiap menit. Kedua, kalau Anda menggunakan sampah plastik menjadi sesuatu yang lain yang disebut down cycling, misalnya kaos, maka akan tetap berbahan plastik. Akan ada mikroplastik. Itu masih berbahaya untuk lingkungan,” tegasnya.
Karena itulah, menurut Jackie, hal terbaik untuk mengatasi masalah sampah plastik adalah berhenti membuat dan menggunakannya. Dengan begitu sampah akan berkurang, bukan terus meningkat seperti saat ini. Kita butuh kurang dan terus berkurang. “Kita bisa melakukan daur ulang, tetapi itu tidak menjawab persoalan,” lanjutnya.