Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menunjukkan, total populasi gajah sumatera di provinsi paling barat Indonesia ini mencapai 539 individu. Persebarannya ada di 15 kabupaten/kota.
Namun, konflik antara manusia dengan gajah sering tidak dapat dihindari dikarenakan habitat mamalia besar ini terus dirusak. “Sekitar 85 persen gajah sumatera di Aceh hidup di luar wilayah konservasi. Ada di hutan produksi dan di areal penggunaan lain,” terang Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo pada seminar Lingkungan “Aktualisasi Peran Generasi Muda dalam Penyelamatan Gajah Sumatera.” Acara ini diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers DETaK Unsiversitas Syiah Kuala (Unsyiah), 6 November 2018.
Sapto menyebutkan, manusia dan gajah sama-sama membutuhkan lahan datar. Akibat berebut, terjadilah konflik. Hingga saat ini, pertikaian gajah dengan manusia tidak pernah usai.
“Masyarakat menanam tanaman yang disukai gajah seperti sawit, pinang, kelapa, padi, jagung dan lainnya di wilayah perlintasan gajah. Ini sama saja membuka restoran.”
Baca: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

BKSDA Aceh mencatat, pada 2016 terjadi 46 konflik dan di 2017 meningkat 103 konflik. Januari – Juli 2018, terjadi 47 konflik. “Dari 2016-2017, diperkirakan 24 individu gajah mati, karena dibunuh atau akibat penyakit. Sementara, hingga akhir Oktober 2018, gajah yang mati sudah tujuh individu.”
Sapto mengatakan, konflik gajah dengan manusia tidak akan berakhir jika habitat gajah tetap dirusak untuk berbagai kepentingan, termasuk perkebunan. Salah satu cara mengatasi konflik adalah dengan menanam tanaman yang tidak disukai gajah.
Cara lainnya, memanfaatkan ruang yang benar-benar memperhatikan kebutuhan hidup gajah. Gajah juga punya hak hidup seperti manusia. Masyarakat dan semua pihak jangan lagi menganggap gajah sebagai musuh atau hama.
“Masalah umum adalah pemberitaan yang tidak berpihak pada gajah, seolah satwa ini selalu salah. Manusia yang punya akal harusnya bijak, bukan gajah yang harus mengubah pola hidupnya,” ungkapnya.
Baca: Perseteruan Manusia dengan Gajah Sudah Saatnya Dihentikan

Saat ini, sambung Sapto, BKSDA Aceh dengan sejumlah pihak, termasuk lembaga mitra, berupaya meminimalisir konflik gajah dengan masyarakat. Upaya yang telah dilakukan adalah membangun barrier atau parit, serta memantau jalur dan habitat gajah menggunakan GPS yang dipasang pada gajah liar.
“Dengan begitu, kami tahu daerah yang dilalui gajah sekaligus habitatnya,” terangnya.
Baca juga: Pembunuh Gajah Bunta Ditangkap, Dua Masih Buron

Jangan salahkan gajah
Azhar perwakilan World Wild Fund for Nature (WWF) Indonesia di Aceh mengatakan, selama ini permasalahan konflik gajah dengan manusia hanya menitikberatkan satu pihak. Gajah yang selalu disalahkan. Seolah, gajah itu hama beserta perspektif negatif lainnya yang disematkan.
“Gajah digambarkan sebagai satwa perusak dan suka menyerang. Sementara, fakta lain yang harusnya kita ketahui bersama adalah manusia dan gajah berebut lahan. Bahkan, manusia telah merebut jalur perlintasan gajah, diubah menjadi kebun. Gajah, tentunya tidak mengerti jika tidak boleh lewat lagi,” jelasnya.

Azhar menerangkan, satu individu gajah membutuhkan ruang 800 hektar sebagai garis edarnya setahun. “Manusia yang harus berinovasi, bukan gajah. Manusia punya pikiran, sementara gajah punya insting 10 kali lebih kuat ketimbang manusia dalam merespon. Untuk itu, kita harus bijak berbagi ruang, untuk saling menghargai.”

Irham Hudaya Yunardi dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menjelaskan, deforestasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak pada tingginya konflik gajah dengan manusia. Meskipun data 2018 menunjukkan deforestasi menurun, namun fragmentasi dan degradasi lahan begitu mempengaruhi terjadinya konflik dan kematian gajah.
“Data deforestasi di KEL tiga tahun terakhir adalah 2014-2015 (13.690 ha), 2015-2016 (8.982 ha), dan 2016-2017 (7.066 ha). Hutan yang terus dirambah mengakibatkan ruang jelajah gajah kian sempit,” papar Irham dalam seminar yang didukung Mongabay Indonesia.
Foto utama: Gajah sumatera di CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia