Anda masih ingat gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut kepada Gubernur Sumatera Utara terkait pemberian izin lingkungan PT. North Sumatera Hydro Energy? Perusahaan ini merupakan pemegang proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di kawasan Ekosistem Batang Toru.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dengan Ketua Majelis Jimmy Claus Pardede, telah menggelar sidang lanjutan gugatan tersebut, Senin (5/11/2018). Dalam sidang ini, Walhi menghadirkan tiga saksi fakta yaitu peneliti dan surveyor keanekaragaman hayati Batang Toru.
Arfah Nasution, sarjana di Universitas Sumatera Utara (USU) dan S2 di IPB, yang melakukan penelitian orangutan di Ekosistem Batang Toru dalam persidangan mengatakan, dari hasil penelitiannya ditemukan 0,6 individu sarang orangutan tapanuli per kilometer. Kepadatan ini berada di area proyek PT. NSHE yang mulai menebang kayu dan membuka jalan di kawasan Ekosistem Batang Toru.
“Kondisi ini menunjukkan, populasi orangutan di sana cukup banyak,” jelasnya.
Arfah menjelaskan, dari hasil penelitian ini direkomendasikan agar mengubah status areal penggunaan lain (APL) yang ada menjadi hutan lindung. Alasannya, populasi orangutan tapanuli yang hanya ada di Batang Toru cukup padat. Hutannya harus dijaga. Kehilangan habitat, fragmentasi, konversi lahan, populasi yang rendah dan perburuan adalah ancaman utama kehidupan orangutan tapanuli saat ini.
“Hutan yang tidak berstatus lindung bertentangan dengan usaha konservasi orangutan. Spesies ini memerlukan blok-blok hutan yang luas untuk menjelajah, mencari makan, dan bereproduksi.”
Baca: Walhi Gugat Gubernur Sumatera Utara Terkait Izin Lingkungan PLTA Batang Toru
Menurut Arfah, perlu dibuat hutan penyangga dan koridor demi kelangsungan hidup orangutan tapanuli di Batang Toru. Hutan Sitandiang, Hutaimbaru, Hopong, dan Bulu Mario adalah lokasi potensial sebagai koridor dan hutan penyangga. Kepadatan dan distribusi orangutan sangat dipengaruhi kondisi hutan, tingkat ancaman, dan ketersediaan tumbuhan berbuah.
Berdasarkan penelitiannya, sarang ditemukan lebih sedikit di daerah yang terganggu (Hutaimbaru dan Bulu Mario), ketimbang daerah aman (Sitandiang dan Hopong). Nilai kepadatannya berturut-turut adalah 0.2 ind/km2, 0.1 ind/km2, 0.7 ind/km2, dan 0.4 ind/km2.
Jarak penemuan sarang dengan permukiman, jalan, dan kebun pun sangat mempengaruhi kepadatan orangutan di lokasi penelitian. Semakin dekat jaraknya akan semakin rendah.
“Hutan Hutaimbaru dan Bulu Mario, merupakan lokasi dengan tingkat ancaman tinggi karena berbatasan langsung dengan perkebunan masyarakat. Kepadatan orangutan, berkorelasi positif dengan kepadatan tumbuhan berbuah,” jelasnya.
Baca juga: Berada di Lokasi Patahan Rawan Gempa: Menakar Keamanan Bendungan PLTA Batang Toru
Hutan luar biasa
Rezi Rahmi Amolia, dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, surveyor tumbuhan di kawasan Ekosistem Batang Toru yang dihadirkan sebagai saksi fakta mengatakan, selama survei ia menemukan berbagai jenis tumbuhan luar biasa. Ada bunga bangkai, rafflesia juga meranti dan pohon terancam punah lainnya yang berada di areal proyek PLTA.
“Jika dilihat dari peta yang ada, tumbuhan unik termasuk pohon jenis meranti tersebut ada di area proyek yang ditangani PT. NSHE, ” jelasnya.
Berdasarkan survei, sebanyak 502 spesies pohon dari 58 keluarga pohon diidentifikasi di empat lokasi. Untuk wilayah koridor, ada 48 keluarga pohon dan 231 spesies pohon terdeteksi. Wilayah utara, ditemukan 41 keluarga pohon dan 231 spesies. Wilayah tengah, terdidentifikasi 34 famili pohon dan 139 spesies. Sementara di selatan ada 31 keluarga pohon dan 143 spesies.
Menurut sarjana biologi ini, jika tumbuhan yang dibutuhkan orangutan tapanuli hilang tentunya akan berdampak pada kehidupan satwa tersebut. “Rekomendasi yang kami berikan adalah dengan tingginya keanekaragaman hayati di Batang Toru, sudah selayaknya hutan ini dijaga demi kehidupan kita semua di Bumi,” tandasnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menggugat Gubernur Sumatera Utara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan terkait pemberian izin lingkungan untuk PT. NSHE. Walhi menilai, pembukaan kawasan hutan Batang Toru untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dikerjakan PT. NSHE, akan merusak habitat orangutan tapanuli (Pongo Tapanuliensis) dan mengancam lingkungan keseluruhan.
Menurut Walhi Sumut, meski kawasan hutan untuk PLTA berada di areal penggunaan lain (APL), namun lokasinya merupakan habitat satwa. Terlebih, berdampak pada keterancaman orangutan tapanuli yang jumlahnya hanya 800 individu, yang hanya ada di hutan Batang Toru, tempat proyek dijalankan.
Gugatan Walhi ini didukung sebanyak 36 pengacara yang resah terjadinya kerusakan lingkungan terhadap proyek tersebut.
“Ini gugatan lingkungan. Kami harap majelis hakim yang menangani ini adalah hakim bersertifikasi lingkungan,” jelas Joice Novelin Ranapida Hutagaol, Ketua PBHI Sumut, saat mendaftarkan gugatan ke PTUN Medan, bersama pengacara dari Bakumsu, LBH Medan, dan pengacara perorangan, Rabu (08/8/2018) lalu.
Foto utama: Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting