Seandainya hutan mangrove itu tidak dirusak, tentu tidak begini nasib kami. “Harapan dan impian kami tumbuh di sini,” ucap Sonhaji, warga Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Lelaki 35 tahun ini kerap menundukkan kepala ketika membicarakan kampung halamannya. Tak ada senyum di wajahnya. Tatapan matanya kosong ke arah pantai, sore itu.
Ada alasan kuat mengapa ia begitu memperhatikan pesisir, tempatnya menggantungkan asa. Dia dan warga desa pernah berbangga hati dengan julukan Kampung Beting sebagai Kampung Dollar, 20 tahun silam. “Ketika penghasilan tambak bisa mencapai 10 juta dalam waktu seminggu,” ucap Sonhaji yang memiliki tambak seluas dua hektar.
Tahun 1998 adalah awal kemunduran, seiring badai krisis moneter datang. Pada periode ini, wilayah Muara Gembong mengalami alih fungsi. Kemerosotan ekonomi menandai terjadinya kerusakan pesisir.
“Hutan mangrove dibabat untuk perluasan tambak baru. Namun, karena tidak terkendali tambak-tambak itu tidak bertahan lama. Banyak yang dibiarkan terbangkalai,” ujarnya.
Baca: Hutan Mangrove Muara Gembong Rusak Parah, 3 Desa Hilang

Seiring waktu, kerusakan lingkungan membuat warga Kampung Beting mulai akrab bencana, terutama banjir dan abrasi. Hampir sepanjang tahun, rumah-rumah di Kampung Beting terendam banjir rob akibat air pasang Laut Jawa. Belum lagi ketika musim penghujan, masalah bisa bertambah.
Muara Gembong yang berada di ujung utara Kabupaten Bekasi merupakan tempat terakhir aliran Sungai Citarum berlabuh. Sungai sepanjang 300 kilometer ini tak jarang meluap. “Banjir dari Citarum selalu membawa sampah dan limbah kimia yang baunya menyengat,” imbuh Sonhaji.
Sementara itu, laju abrasi di Desa Pantai Bahagia jadi masalah serius. “Awalnya, jarak rumah kami jauh dari bibir pantai, sekitar lima kilometer. Sekarang, hanya sekitar satu kilometer,” terangnya.
Baca: Mangrove yang Tak Lagi Melindungi Masyarakat Pesisir Karawang

Ghofur (52) menuturkan hal yang sama. Dia pernah mencicipi manisnya hidup di kampung ini sekalipun bukan penduduk asli Muara Gembong. 15 tahun lalu, dia meninggalkan Kabupaten Indramayu untuk mengadu nasib sebagai petambak udang. “Keinginan saya memiliki tambak tercapai. Luasnya sekitar satu hektar. Namun, hanya bertahan beberapa tahun, sebelum gulung tikar akibat abrasi dan tercemarnya air Citarum,” imbuhnya, awal November.

Rusaknya lingkungan, membuat sebagian warga meninggalkan kampung, meski tidak sedikit yang bertahan. Sumiati (59), misalnya, yang memilih menetap. Sekalipun kesulitan ekonomi, nenek tiga cucu ini tetap berusaha memperbaiki rumahnya yang mulai amblas akibat lumpur. “Belum lagi banjir dari luapan sungai, bisa merendam hingga berhari,” ucapnya.
Sudah 15 tahun, Sumiati hidup merana. Beban hidup mesti ditanggung lebih berat. Dia harus mengeluarkan uang sekitar Rp70.000 per bulan hanya untuk membeli air isi ulang. “Padahal, dulu tak perlu repot untuk memenuhi kebutuhan air bersih,” ujarnya.
Baca juga: 7 Fakta Penting Mangrove yang Harus Anda Ketahui

Berbuat
Kerusakan lingkungan yang terjadi membuat Sonhaji tak mau berdiam diri. Dia ingin mengembalikan mangrove yang hilang. Tahun 2013, pria lulusan sekolah menengah pertama ini mendirikan Aliansi Pemuda Bahagia Tangguh (Alipbata), sebagai respon mengatasi dampak buruk kehancuran yang terjadi.
Meski keterbatasan dana dan pengetahuan jadi hambatan, kegiatan positif ini tetap berjalan. Bahkan, pemerintah daerah setempat memberi dukungan. Dibawah binaan Kelompok Sadar Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bekasi, Alipbata mendapat dukungan.

Secara konsisten, Alipbata yang digawangi para pemuda kampung melakukan perbaikan lingkungan. Lima tahun berjalan, sekitar 200 ribu batang mangrove telah ditanam di kampungnya. “Kami mendapat dukungan dana dan pelatihan. Sekarang, kampung kami perlahan mulai dipromosikan sebagai wisata edukasi mangrove,” tuturnya.
Sonhaji sadar, manfaat ekosistem pesisir tak sekadar lestarinya mangrove tapi juga mengelolanya semisal, wisata untuk peningkatan ekonomi lokal atau bagaimana mangrove menahan abrasi. “Namun, sesungguhnya langkah ini dilakukan karena kami butuh daratan. Jadi segala gerakan yang dilakukan memang bertujuan untuk keberlanjutan hidup kami,” jelasnya.

Di luar penanaman mangrove, Alipbata juga punya misi menyediakan fasilitas sanitasi bagi warga sekitar. Langkah penting yang harus dipenuhi agar kondisi lingkungan sehat tercipta. “Indonesia pada 2012 telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 73 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang memandatkan pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional (KKMN). Semoga, langkah tersebut ada manfaatnya untuk kami,” ujarnya.

Ahmad Qurtubi, tokoh masyarakat di Muara Gembong, berharap penanaman mangrove yang telah dilakukan membangun kemandirian masyarakat untuk menjaga ekosistem lingkungan. “Mangrove tidak hanya penahan laju abrasi tetapi juga tempat hidupnya burung dan satwa liar lainnya. Termasuk juga, masa depan kehidupan kami,” tandasnya.

Berdasarkan data Perum Perhutani, pengelola kawasan ini, mangrove alami di Muara Gembong yang seluas 10.481,15 hektar rusak parah. Sebagian besar kawasan ini, 93,5 persen, yang tidak begitu dipengaruhi pasang surut, telah dirambah masyarakat untuk dijadikan tambak dan lahan pertanian.
Kawasan hutan mangrove Muara Gembong merupakan rangkaian ekosistem mangrove di pesisir utara Teluk Jakarta, dari Tanjung Pasir di Tangerang, Banten, hingga ke Ujung Karawang. Kepadatan penduduk dan desakan ekonomi mengakibatkan mangrove Muara Gembong hancur yang didasari alasan berbagai kepentingan.