Otniel Gotowahe, terlihat lelah. Dia duduk di bawah pohon sukun tak jauh dari tumpukan kelapa yang telah dibelah. Nories Otniel, anaknya, sibuk mencongkel daging kelapa. Sesekali dia menatap ke Jalan Bere-bere-Daruba, mobil pribadi maupun truk tampak melintas.
Baca juga: Potret Desa Sumber Pangan di Pulau Morotai
Otniel beristrahat sejenak. Dia sudah bekerja sejak pukul 07.00 hingga 12.30. Hampir enam jam sudah enam karung plastik daging kelapa dia congkel dan naik ke atas para-para (tempat pengasapan daging kelapa-red).
Usai belah, Nories lanjut mencongkel kelapa. Di sana ada sekitar 1,5 ton kelapa. Pekerjaan ini mereka lakukan sendiri, mengolah kelapa jadi kopra.
Proses membelah dan mencongkel isi kelapa itu sudah dua hari. Saat saya menyambangi mereka Oktober lalu, Otniel tak banyak bicara. Dia hanya tersenyum sambil menanyakan dari mana dan apa tujuan saya datang. Setelah tahu saya sedang berencana menulis cerita dari Morotai, lelaki beranak empat ini langsung mengeluhkan banyak hal. Dari kondisi ekonomi susah, harga kopra jatuh, hingga marak penjualan lahan oleh warga.
“Memang torang khusus petani kelapa ini sengsara luar biasa,” katanya.
Hidup serba susah, katanya, bikin warga mudah melepas lahan. Saat ini marak warga menjual lahan terutama di bibir pantai berpasir putih sepanjang Morotai Timur hingga Morotai Utara.
Kebetulan saja lahan kelapa Otniel berada di tepi pantai berpasir putih dengan pemandangan menawan. Tempat pengasapan sekaligus rumah kebun di pantai dengan pemandangan indah dan menarik.
Baca juga: KKP Bakal Bangun Dua Pusat Riset Kelautan
Otniel yang duduk di samping Esterlita. Dia menceritakan, kondisi ekonomi petani kelapa di Morotai, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Harg akopra anjlok. “Meski kita memiliki dusun kelapa tetapi untuk memenuhi kebutuhan hidup saja sangat susah.”
Kini, harga Kopra per kilogram kisaran hanya Rp2.000-Rp2.600. Warga tak bisa berharap banyak dari hasil kopra. Untuk memanen kelapa, biaya produksi sudah kelabakan. Sewa manjat kelapa petani sudah sangat kesulitan.
Dari sekali panen kelapa, petani hanya bisa membeli satu atau dua karung beras untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara panen kelapa setiap empat bulan. Dengan begitu, keperluan warga tak bisa tertutupi dari kopra.
Kesulitan hidup petani itu ditebus praktis dengan menjual lahan di tepi pantai kepada investor. “Kami dengar ada program pemerintah yang masuk di Morotai, tetapi tidak tahu apa namanya. Katanya akan mengembangkan pariwisata di Morotai.”
“Program ini dampaknya sangat terasa. Warga Morotai ketika mendengar itu langsung berlomba-lomba menjual tanah mereka.” Morotai, masuk rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Otniel tak tau namanya, hanya tahu bahwa di sana akan ada ‘program pemerintah.’
Lahan-lahan warga banyak dijual ke orang lokal maupun asing dengan harga murah. Ada orang dari Inggris, Rusia dan Jerman. “Ada lahan tak jauh dari kebun kami, panjang hampir 70 meter, pantai berpasir putih dan laut tosquao, dijual Rp70 juta kepada warga Rusia,” kata Otniel. Warga asing yang membeli lahan di Morotai ini ada punya istri warga Indonesia. Kalau pemodal lokal beli tanah biasa untuk jual kembali dengan harga cukup tinggi.
Han Jaji, Kepala Desa Bido, Kecamatan Morotai Utara, membenarkan soal banyak warga jual lahan. Di Desa Bido, katanya, empat warga telah menjual lahan terutama yang tak jauh dari pantai.
Sasaran pembelian lahan ini di jalur kanan jalan dari Daruba, atau lajur kiri dari Bere-bere. “Ada juga bule (sebutan orang asing-red) yang membeli lahan petani, per meter harga Rp3.000. Ada juga warga jual lahan seluas tujuh hektar Rp178 juta,” katanya.
Han sudah berulang kali mengingatkan warga agar tak menjual lahan. Dampaknya, bakal terasa ketika nanti tak lagi memiliki apa-apa. Warga, katanya, berdalih memerlukan uang untuk mencukupi hidup sehari-hari termasuk biaya sekolah anak- anak. Akhirnya, lahan-lahan itu mereka jual tanpa pikir panjang.
“Sekali waktu saya bilang kepada warga, lahan yang sudah dijual itu jangankan masuk, mau lihat saja susah karena sudah dipagar oleh pemiliknya,” katanya.
Hanya saja upaya menghalangi warga tak menjual lahan tak dapat terbendung. Apalagi kalau alasan demi kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak.
“Saya menyampaikan kepada warga jika menjual lahan ada kebun, harga harus sesuai hingga kalau kehilangan lahan di tepi pantai, hasil penjualan masih bisa beli kebun baru di tempat lain.”
“Atau paling tidak, dengan hasil penjualan lahan itu mereka bisa membeli lahan pengganti.”
Lahan-lahan yang mereka jual itu, kebanyakan sudah turun menurun milik keluarga. “Ini sebenarnya titipan anak dan cucu kemudian hari. Jika mereka tidak bisa membeli lahan pengganti sama saja melanjutkan warisan kemiskinan baru. Lahan yang dijual itu rata-rata harta peninggalan orangtua,” katanya.
Han memperkirakan, lahan yang dijual sekitar 50 hektar. Dia bilang, penjualan lahan itu antara lain terpicu rencana pemerintah kembangkan pariwisata. “Jadi, orang-orang masuk kesini dan membeli lahan warga, lebih banyak lahan di tepi pantai,” kata Han.
Anghany Tanjung, anggota DPRD Pulau Morotai bilang, saat ini manfaat jangka pendek KEK, belum langsung terasa di masyarakat. Malah ancaman bagi warga terutama soal ganti rugi lahan atau permainan makelar yang membeli lahan warga.
“Warga sebenarnya menjual lahan terpaksa. Ini terjadi di lapangan. Banyak makelar bermain. Lahan-lahan dibeli dengan harga murah dan dijual lagi ke investor dengan sangat mahal. Ini membuat proses pembangunan di lapangan juga tidak berjalan maksimal,” katanya seraya yakin kalau KEK berjalan lancar jangka panjang bisa dirasakan masyarakat Morotai.
Tanah itu masa depan anak cucu
Kala banyak petani tergiur menjual lahan ke investor, berbeda dengan Otniel Gotowahe bersama Esterlita Gotowahe. Mereka berkeras mempertahankan lahan meski tawaran datang silih berganti.
Lahan dan dusun kelapa di tepi pantai antara Desa Bido dan Buho-buho itu, dianggap sebagai titipan anak cucu mereka yang harus dipertahankan. Lahan mereka tak begitu luas, panjang sekitar 100 meter. Berada di pantai berpasir putih dengan pemandangan menawan, dan tepat di tepi jalan raya.
“Lahan kami ini sudah ditawar empat investor dari Rusia, Jerman dan Korea. Bahkan Bupati Morotai Beny Laos, sudah empat kali datang mau membayar lahan ini untuk jadi resort. Tawaran itu saya tolak,” kata Esterlita.
Lahan ini, katanya, bukan hanya karena ada kelapa atau pantai indah. Lebih dari itu, lahan itu satu-satunya kekayaan mereka. Jika dijual, katanya, sama saja menggadaikan nasib anak cucu di kemudian hari.
“Torang jual berarti nanti tong pe anak cucu so tra dapa apa-apa lagi (kita jual lahan ini nanti anak cucu tidak dapat apa-apa lagi),” katanya dalam dialek Tobelo.
Tawaran lepas lahan itu cukup menggiurkan. Orang Korea tawar Rp400 juta dengan satu mobil. “Kami tak menjual lahan ini.”
Dia sudah membicarakan dengan semua anak-anaknya kalau mereka tidak akan menjual lahan. “Bagi kami berapapun harga tanah ini dibeli, suatu akan habis juga uangnya. Jika lahan ini tetap dipertahankan bisa diperoleh manfaa oleh anak cucu mereka. “Kiri kanan lahan kami ini sudah dijual semua, tinggal kami yang bertahan,” kataya.
KEK Morotai
Pulau kecil berpasir putih itu bernama Mitita. Ia jadi pintu masuk ke kawasan Pulau Morotai. Mitita, pulau yang didominasi cemara itu akan menyambut siapa saja yang datang dari Pelabuhan Tobelo, dengan kapal fery, speedboat atau kapal.
Mereka yang pakai kapal laut dari Ternate, akan disambut gugusan pulau dari Pulau Rao, Galo–galo, Dodola, Kolorai, Zum-zum, Kokoya dan beberapa pulau mangrove tak berpenghuni, tepat di depan Daruba, Ibukota Pulau Morotai. Pulau-pulau ini akan dilewati sebelum kapal bersandar di Pelabuhan Daruba. Pulau sekitar didominasi pantai berpasir putih, bersih dan laut berwarna tosquao. Sangat menawan.
Laut juga kaya potensi perikanan luar biasa. Morotai jadi kabupaten pada 2008. Morotai punya sejarah panjang. Pernah jadi basis pertahanan saat perang dunia kedua antara pasukan sekutu melawan Jepang pada 1942.
Seiring perkembangan, Morotai kini jadi mutu manikam. Pasca penetapan KEK, Morotai jadi incaran terutama bisnis pariwisata.
KEK Morotai terletak di Pulau Morotai, Maluku Utara ini berdasarkan data dari laman KEK ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 50/2014 dengan luas mencapai 1.101,76 hektar.
Kawasan ini dinilai memiliki beberapa keunggulan, seperti pulau terluar sisi timur laut Indonesia dekat dengan negara- negara ASEAN dan Asia Timur. Morotai juga berada di tengah Samudera Pasifik.
Sektor perikanan, Morotai dilintasi jalur laut kepulauan Indonesia III juga jalur migrasi ikan tuna. Harapannya, jadi sumber bahan baku bagi industri pengolahan perikanan.
Sebagai salah satu basis militer Perang Dunia II dengan sisa peninggalan bersejarah perang dunia ke II, Morotai juga memiliki potensi menjanjikan untuk pariwisata sejarah. Wisata bahari, juga bisa jadi andalan.
Belum lagi kekayaan budaya dan adat istiadat, Morotai menyimpan pesona bagi wisatawan. Masih dari laman KEK menyebutkan, Morotai bisa jadi destinasi wisata internasional dengan perkiraan investasi pelaku usaha Rp30,44 triliun sampai 2025.
Lantas seperti apa perkembangan KEK Morotai? Saya berupaya menelusuri Pulau Morotai, melihat dari dekat perkembangan poyek besar ini termasuk problem yang timbul.
Di lapangan tampak ada pembangunan fasilitas seperti di KEK PT Jababeka Juanga Morotai. Sony Hendriyanto, Kepala Divisi Operasional Jababeka Morotai mengatakan, saat ini beberapa sarana sudah terbangun guna mendukug program KEK.
“Pembangunan fisik ada beberapa, misal homestay, gedung administrasi, jalan masuk ke kawasan Jababeka sekitar tiga kilometer dan saluran air. Bidang perikanan, masih menghadapi beberapa kendala serius hingga terbilang jalan di tempat,” katanya.
Dia bilang, Jababeka masih menghadapi masalah regulasi. Dia contohkan, ada investor perikanan dari Taiwan akan masuk ke Morotai, terbentur masalah aturan yang melarang kapal- kapal asing.
Sebelumnya, Jababeka berencana menggandeng investor Taiwan. Merekalah yang akan mengelola perikanan di Morotai, tetapi terkendala regulasi larangan kapal asing menangkap ikan.
Dari keseluruhan perencanaan, pembangunan pariwisata maupun perikanan, belum berjalan maksimal karena belum ada keseriusan investor tanamkan modal ke Morotai.
Begitu juga soal pembebasan lahan, dari perencanaan 1.200 hektar, informasi terakhir baru sekitar 200 hektar bebas. Jababeka beralasan, masalah ini terjadi karena investor masih maju mundur.
Dia bilang, investor belum begitu tertarik karena tidak ada insentif yang benar- benar menarik bagi mereka. Begitu juga rencana membangun 10.000 rumah dengan sasaran kelas menengah, dan hotel yang terdiri dari 10.000 kamar, bahkan ada sekolah khusus pariwisata serta industri pertanian, perikanan, dan perdagangan. “Baru dalam bentuk master plan.” Investor, katanya, masih maju mundur.
Rencana pengembangan sejumlah kawasan, misal, Pulau Morotai di Daruba, Wayabula, dan Bobula; Pulau Rao di Desa Posi-Posi Rao, Desa Saminyamau, Desa Aru Burung, Desa Lou Madoro, dan Desa Leo-leo dengan investasi Rp189,9 triliun juga belum ada perkembangan setelah hampir lima tahun.
“Persoalan ini karena belum ada investor benar-benar serius berinvestasi ke sana,” ucap Sony.
Soal perkembangan KEK Morotai belum berjalan signifikan, diakui Pemerintah Pulau Morotai. Menurut Pemkab Morotai, saat ini Jababeka baru membangun sekitar 30% fasilitas.
Abjan Sofyan, Kepala Bappeda Litbang Morotaiberharap, KEK dapat memberikan nilai tambah bagi daerah terutama untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Morotai.
“Kita harapkan KEK memberikan nilai penting bagi Morotai, terutama sektor unggulan seperti perikanan dan pariwsata,” katanya. Pemerintah daerah, katanya, mendukung lewat urusan perizinan.
Saat ini, Jababeka telah membangun 41 homestay dari target 100 lebih. Mereka juga sudah membangun semacam pertokoan di bagian depan Jababeka. Di Juanga, dibangun jalan menuju KEK termasuk air bersih serta kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) dan berkoordinasi dengan PT PLN untuk jaringan listrik ke Jababeka.
Meski demikian, katanya, karena pelaksana swasta jadi pemerintah hanya memfasilitasi. Dia contohkan, soal pengurusan ke pertanahan. Kalau pembebasan lahan, tergantung kemampuan perusahaan. “Jika ada kendala mereka berkoordinasi dengan pemerintah untuk cari solusi. Target mereka ada lahan 1.000 hektar lebih dibebaskan. Saat ini baru 200 hektar lebih.” (Bersambung)
Keterangan foto utama: Kelapa siap diolah menjadi kopra milik keluarga Ortniel. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia