Dua dasawarsa sudah program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) dilaksanakan di Indonesia. Selama dua puluh tahun berjalan, banyak capaian positif yang berhasil diraih Indonesia. Namun, capaian tersebut masih belum mendapatkan nilai sempurna, karena program tersebut hingga saat ini masih belum dijadikan bagian dari sistem pembangunan secara nasional.
Hal tersebut diakui sendiri oleh Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dirhamsyah di Jakarta, awal pekan ini. Menurut dia, kerja keras tim LIPI selama 20 tahun terakhir berhasil memunculkan banyak penelitian dan akan berguna untuk kehidupan laut dan masyarakat pesisir.
“COREMAP harus jadi bagian dari sistem pembangunan di Indonesia. Jangan hanya jadi sistem pengetahuan saja,” ucapnya.
baca : UNEP Report: Potensi Investasi Miliaran USD di Segitiga Terumbu Karang Indonesia
Dirhamsyah menerangkan, harapan untuk menjadikan COREMAP terintegrasi dengan sistem pembangunan nasional, sehingga Indonesia menjadi satu dari sangat sedikit negara di dunia yang melaksanakannya. Program tersebut, bahkan dengan tegas sudah diminta untuk dibuka kepada dunia.
Tetapi, menurut Dirhamsyah, selama data yang ada dalam COREMAP berhubungan dengan data rahasia negara, maka program tersebut masih harus didiskusikan dengan pihak terkait dan memutuskan apakah itu bisa dibuka atau tidak. Kalaupun akan dibuka, maka harus diputuskan data apa saja yang bisa dipublikasikan kepada dunia.
“Tetapi, saya kira itu juga akan sulit diputuskan. Mengingat data negara itu sifatnya rahasia dan tidak boleh negara lain mengetahuinya,” jelasnya.
baca : Kiara Desak KPK Usut Kerugian Negara dari Proyek Coremap
Sejak program COREMAP mulai dilaksanakan pada 1998 di Indonesia, Dirhamsyah memaparkan, sejak saat itu program penelitian dan pemantauan terumbu karang dilakukan secara kontinu dan berkelanjutan. Sebagai bagian dari hasil pemantauan, setiap tahunnya LIPI mengeluarkan status terumbu karang dengan pembaruan yang lengkap.
“Kita bertanggung jawab untuk melaksanakan pemantauan terumbu karang,” ujarnya.
Untuk Negara
Dengan semua data yang sudah dimiliki dari program COREMAP, Dirhamsyah sangat berharap Pemerintah Indonesia, baik itu melalui kementerian, lembaga, dan atau instansi Negara, bisa memanfaatkan data dari COREMAP untuk keperluan masing-masing. Pemanfaatan itu, akan berguna karena bisa menyamakan data antara satu dengan yang lain.
Program COREMAP sendiri, menurut Dirhamsyah, semula dijadwalkan akan berakhir pada 2020 atau dua tahun dari sekarang. Tetapi, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya program tersebut diperpanjang hingga 2022 dan diharapkan ada hasil lebih baik lagi dan bermanfaat untuk Indonesia dan dunia.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menerangkan, pelaksanaan COREMAP diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran baru di masyarakat mengenai pentingnya menjaga terumbu karang. Mengingat, terumbu karang menjadi sangat penting untuk ekosistem laut dan juga pengendali dampak perubahan iklim yang saat ini sedang menyerang dunia.
“Kalau ekosistem laut sehat, maka mangrove dan seagrass juga akan ikut sehat. Itu sangat bagus untuk menyerap karbon. Kemampuan ekosistem pesisir untuk menyerap karbon, itu lebih besar dari kemampuan terestrial,” jelasnya.
baca juga : Kerusakan Terumbu Karang di Indonesia Dipicu Dampak Perubahan Iklim?
Sebelum COREMAP berakhir pada 2022, LIPI berharap sudah bisa membangun pusat data pesisir yang berisi tentang kondisi terkini keragaman biodiversitas di perairan laut Indonesia dan sekaligus pemetaan kondisi ekosistem laut dan kawasan pesisir secara detil. Harapan tersebut harus diwujudkan, karena menjadi bentuk tanggung jawab Indonesia kepada dunia.
Selain fokus pada ekosistem pesisir dan laut, Dirhamsyah menyebutkan, selama 20 tahun berjalan, COREMAP juga fokus pada pemantauan spesies laut yang statusnya terancam punah seperti teripang, ikan banggai cardinal, napoleon, hiu, dan pari. Kelima spesies tersebut, terus dipantau karena saat ini masuk dalam rantai perdagangan di dunia.
“Jadi, kita mengeluarkan rekomendasi seperti apa untuk setiap spesies tersebut. Berapa banyak yang pantas untuk diperjualbelikan. Itu semua harus disesuaikan dengan kondisi di alam,” tuturnya.
Sementara, Deputi Bidang Ilmu Kebumian LIPI Zainal Arifin menjelaskan, sebagai negara maritim, masyarakat Indonesia banyak bergantung pada pesisir dan menjadikan kawasan tersebut sebagai sumber dan sentra pertumbuhan ekonomi. Fakta itu mengharuskan Negara untuk selalu memastikan sudah melaksanakan manajemen lingkungan pesisir dengan sangat tepat.
“Ini menjadi tantangan juga bagi Indonesia ke depannya,” tegasnya.
menarik dibaca : Menguak Ketangguhan Terumbu Karang Dari Perubahan Iklim
Segitiga Karang Dunia
Saat memberikan pemaparan di hadapan undangan, Dirhamsyah menjabarkan tentang capaian yang sudah didapat melalui program COREMAP. Lewat program tersebut, LIPI berhasil membuat data dan informasi serta timbangan ilmiah yang signifikan berkaitan dengan upaya restorasi dan pengelolaan ekosistem pesisir, khususnya terumbu karang di Indonesia.
Lebih rinci, Dirhamsyah mengungkapkan, capaian penting yang telah dihasilkan, di antaranya adalah indeks kesehatan ekosistem terumbu karang dan padang lamun, monitoring kesehatan eksosistem terumbu karang dan padang lamun. Kemudian, penyusunan basis data ekosistem pesisir nasional, pelatihan dan sertifikasi, riset prioritas berbasis kebutuhan, dan penyelenggaraan ekspedisi pulau-pulau terluar.
Selama 20 tahun COREMAP berjalan, hasil kegiatan pemantauan dan pengukuran terkini, menunjukkan bahwa luas terumbu karang Indonesia mencapai 25.000 kilometer persegi atau sekitar 10 persen total terumbu karang dunia yaitu seluas 284.300 km2. Fakta tersebut, semakin menguatkan posisi Indonesia sebagai bagian dari segitiga karang dunia.
Menurut Dirhamsyah, Indonesia memiliki keanekaragaman jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga dan 15 suku atau sekitar 70 persen lebih jenis karang dunia . Dari jumlah tersebut, 5 jenis di antaranya merupakan jenis yang endemik. Untuk itu, sekecil apapun aktivitas manusia dan gejala alamiah akan sangat berpengaruh dalam kesehatan ekosistem terumbu karang ini.
baca juga : Mungkinkah Terumbu Karang Diasuransikan?
Selain pemetaan kondisi terumbu karang, Dirhamsyah menerangkan, COREMAP juga melaksanakan kegiatan Ekspedisi Nusa Manggala yang akan berlangsung sampai 23 Desember mendatang. Kegiatan tersebut untuk memetakan potensi sumber daya pesisir di pulau-pulau terdepan Indonesia di provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku Utara.
Rinciannya, kata Dirhamsyah, pulau-pulau tersebut adalah yang berlokasi di kawasan Samudera Pasifik secara langsung, yaitu Pulau Yiew, Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondi, dan Liki. Ekspedisi tersebut membawa empat tema misi, yaitu ekologi, daya dukung lingkungan, geomorfologi, dan sosial-ekonomi.
Hasil ekspedisi menunjukkan pulau Yiew memiliki tutupan karang dengan kondisi sedang atau mencapai 26 persen dengan 44 spesies ikan karang, 29 spesies moluska dan 12 spesies burung, 2 diantaranya adalah spesies endemik. Sedangkan Brass dan Fanildo diketahui memiliki atol yang sangat luas dengan tutupan karang yang baik atau mencapai 65 persen dan beragam karang hias.
“Atol tersebut menjadi tempat perlindungan bagi beragam biota laut dari kondisi ekstrim Samudera Pasifik untuk tumbuh dan berkembang dengan baik,” terang Dirhamsyah.
Seluruh himpunan data, informasi dan pengetahuan selama melakukan riset, menurut Dirhamsyah, kemudian disimpan dalam Pusat Data Ekosistem Pesisir (PUSDEP) yang merangkum seluruh data, informasi dan hasil riset. Kehadiran PUSDEP, diharapkan bisa memudahkan siapapun untuk mengakses data dan cepat melalui internet.
“Data-data tersebut digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pemantauan ekosistem, edukasi, dan studi lanjut,” tandasnya.
***
Keterangan foto utama : Terumbu karang dan biota di laut Karimunjawa. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia