Bagaimana nasib badak jawa akibat terjangan tsunami di pantai Selat Sunda, Sabtu malam, 22 Desember 2018, yang dipicu longsoran erupsi Gunung Anak Krakatau?
Mamat Rahmat, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), membenarkan tsunami sempat mencapai wilayah taman nasional. Air tidak membanjiri kantor balai, hanya merendam halaman Kantor Seksi Tamanjaya dan beberapa resort lain di Peucang dan Panaitan. “Perkiraan di lapangan, air mencapai 20-50 meter dari bibir pantai,” terangnya melalui pesan tertulis kepada Mongabay Indonesia, Senin (24/12/2018).
Mamat menyatakan kondisi badak jawa (Rhinoceros sondaicus) aman pasca-tsunami. Ini dikarenakan, tidak setiap saat badak berada di pantai. Badak berkumpul di tengah hutan dan pinggir pantai daerah selatan. Sementara yang terkena tsunami di utara. Wilayah Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang merupakan pintu masuk TNUK merupakan daerah yang terkena langsung bencana ini.
“Saya berharap tidak muncul tsunami besar seperti 1883 silam,” jelasnya. Mamat belum memberikan keterangan rinci tindakan lanjut pengamanan satwa bercula satu tersebut.
Baca: Penelitian Ini Coba Singkap Ancaman Tsunami pada Kehidupan Badak Jawa
Sunarto, Spesialis Program Satwa WWF-Indonesia, dihubungi terpisah, menyampaikan keprihatinanannya terhadap korban tsunami. Terkait ancaman kehidupan badak jawa, dia mengatakan, satwa langka ini mempunyai potensi ancaman cukup tinggi.
“Berada di daerah yang sebagaian besar rawan, sebaiknya segera disiapkan habitat kedua sebagaimana yang telah lama direncanakan,” jelasnya.
Baca: Apakah Letusan Krakatau 1883 Berdampak pada Kehidupan Badak Jawa?
Pantauan kondisi wilayah yang terdampak tsunami dilakukan langsung oleh Ridwan Setiawan, National Rhino Officer WWF-Indonesia, sembari mengevakuasi masyarakat di sekitar Ujung Kulon.
Ridwan yang akrab dipanggil Iwan Podol, berangkat dari Panimbang berkekuatan 20 personil, menuju Ujung Jaya. Iwan mengatakan, dampak tsunami memperlihatkan kerusakan cukup signifikan dan merata mulai dari Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Selamat Datang, Taman Jaya, dan Ujung Jaya.
“Kami berangkat ke utara, yang memang cukup parah terdampak. Tim nanti dipecah untuk memantau kondisi di sana. Sementara di selatan kondisi badak lumayan aman,” ujarnya, Selasa (25/12/2018).
Menurut Iwan, populasi badak jawa memang terkonsentrasi di selatan, tetapi ada juga yang di utara.“Kami akan pantau langsung dampak tsunami dan melihat kamera otomatis juga yang ada di pinggir pantai,” ujarnya.
Di bagian semenanjung, ujar Iwan, kondisi geografinya berkontur. Di daerah Gunung Payung ketinggiannya mencapai 500 meter di atas permukaan laut. Sementara bagian terbawahnya sekitar 100 meter di atas permukaan laut. “Daerah itu cukup tinggi, saya kira satwa secara naluri memiliki insting untuk menyelamatkan diri ke wilayah yang lebih tinggi,” ujarnya.
Upaya jangka pendek yang memungkinkan dilakukan, menurut Iwan, adalah menanam mangrove, membuat pemecah ombak, dan sebagainya. Usaha lain adalah pemindahan habitat badak ke tempat yang lebih aman. Namun, niat ini belum selesai diputuskan.
“Dengan situasi yang ada, langkah penyelamatan harus maksimal. Alasannya, potensi ancaman bencana alam semakin tinggi. Ada aktivitas vulkanologi Gunung Anak Krakatau di bagian utara serta potensi gempa dan tsunami dari palung Australia di bagian selatan,” paparnya.
Baca juga: Antisipasi Punahnya Badak Jawa, Rencana Habitat Kedua Kembali Menggema
Badak jawa merupakan satu dari 25 spesies terancam punah Indonesia yang diprioritaskan meningkat jumlahnya sebesarar 10 persen hingga tahun 2019. Populasinya yang diperkirakan sebanyak 68 individu kini hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon.
Luas Taman Nasional Ujung Kulon keseluruhan mencapai 122.956 hektar yang terbagi atas kawasan darat 78.169 hektar dan perairan 44.337 hektar. Secara administratif, wilayahnya berada di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Penelitian ancaman tsunami
Ancaman bencana tsunami, pada April 2017, telah diungkapkan para ahli badak dalam jurnal ilmiah Society for Conservation Biology bertajuk Preventing Global Extinction of the Javan Rhino: Tsunami risk and Future Conservation Direction.
Publikasi tersebut disusun berdasarkan hasil survei lapangan, studi literatur, dan diskusi para ahli badak. Ada WWF-Indonesia, Departemen Konservasi Ikan, Satwa Liar dan Konservasi Biologi Universitas Colorado, Taman Nasional Ujung Kulon, WWF Amerika Serkat, Global Wildlife Conservation, EPASS Project Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan Yayasan Badak Indonesia (YABI).
Para peneliti sejak Maret – Desember 2013, meletakkan hampir 90 persen kamera infra merah di area potensial habitat badak. Mereka tak hanya mengidentifikasi dan mendiagnosa morfologi badak tapi juga finalisasi pendataan yang menangkap hipotesa faktor yang mempengaruhi pendeteksian, kepadatan, jarak badak, cuaca dan ketinggian.
Selain ditemukan 54 individu badak, terpantau juga kepadatan umumnya yang berada pada ketinggian 7 meter pada jarak 108 meter dari garis pantai (25 persen). Ada juga yang berada pada ketinggian 9 meter pada jarak 412 meter dari garis pantai dan ketinggian 15 meter dari 855 meter jarak pantai, dengan kerapatan 50 hingga 70 persen.
Dalam laporan itu dituliskan, bila tsunami terjadi pada ketinggian 5 meter, akan mengenai semua area kepadatan badak hingga 20 persen. Tsunam ketinggian 10 meter akan mengenai 80 persen daerah kepadatan badak yang berada di ketinggian 9 meter. Sementara tsunami dengan gelombang hingga 30 meter bisa menenggelamkan semua area, tempat badak jawa hidup.