Jarum jam menunjukan pukul 13:40 WIB, namun galon air isi ulang pesanan Pujiatin (66) belum datang. Padahal, hampir satu jam ibu rumah tangga ini menunggu. Ironi, berjarak 100 meter dari bibir Sungai Citarum, Kampung Mekar Sari, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tempat tinggal Pujiatin, air bersih justru sulit diperoleh. Sekalipun ada sumur, airnya dikhawatirkan mengandung zat berbahaya.
“Saya sudah 10 tahun tidak mengunakan, khawatir terkontaminasi air sungai yang tercemar. Lebih baik membeli air isi ulang seharga Rp5.000 untuk minum dan memasak meski setiap bulan harus mengeluarkan biaya total 80 ribu Rupiah,” ujarnya.
Ahmad Fauzi tetangga Pujiatin, terlihat sibuk membersihkan lumpur di rumahnya. Sudah dua puluh tahun, kegiatan rutin ini ia lakoni setiap kali air Sungai Citarum meluap. “Kalau sudah begini, saya tidak bisa mencari penghasilan,” tuturnya.
Berdasarkan kajian karakter Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, sekitar 1.651,5 hektar (39%) wilayah Baleendah berpotensi terkena banjir tahunan. Banjir yang juga melebar ke Kecamatan Dayeuhkolot dan Bojongsoang.
Baca: Limbah yang Tak Pernah Henti Meracuni Sungai Citarum (Bagian 1)
Banjir di tiga wilayah ini pula yang membuat program triliunan pemerintah sejak 2001 digulirkan, demi menyelamatkan Citarum. Salah satu program prestesius untuk sungai sepanjang 297 kilometer ini dilontarkan di Manila, Filipina, 2008 lalu. Asian Development Bank (ADB) menginisiasi pinjaman melalui multi tranche fanincing facility (MFF) senilai 500 juta USD, sekitar 6 triliun Rupiah, yang terbagi dalam beberapa tahap selama lima belas tahun.
Pinjaman tahap pertama senilai 50 juta USD diberikan yang terdiri dari 20 juta USD dana Asian Development Fund (ADF) dan 30 juta USD Ordinary Capital Resources (OCR).
Paket pinjaman diperuntukan membiayai Program Citarum Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program; ICWRMIP) yang dimotori Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2003. Namun, baru terealisasi lima tahun setelahnya.
Institusi pelaksana ICWRMIP tahap pertama adalah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, yang mendirikan Project Coordination and Management Unit (PCMU) dibawah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
ICWRMIP meliputi seluruh jalur Citarum yang mencakup dua belas kabupaten/kota. Program itu bertujuan menangani banjir, pencemaran limbah dan sampah, hingga penyedia air baku berkualitas.
Baca: Derita Masyarakat Akibat Tercemarnya Sungai Citarum (Bagian 2)
Hampir satu dekade program bergulir, Citarum masih dirundung permasalahan. Program yang digunakan untuk memperbaiki Kanal Tarum Barat, sepanjang 54,2 kilometer yang berawal dari Karawang sampai Bekasi untuk menjamin kualitas dan kuantitas pamasokan air baku bagi Jakarta sebesar delapan puluh persen, tidak menunjukkan kemajuan.
Pemulihan Sungai Citarum sendiri sudah ada rancangan roadmap atau peta jalan yang termuat dalam intervensi strategis per lokasi dengan target pertahapan jangka pendek (2010-2015), jangka menengah (2016-2020), dan jangka panjang (2021-2025).
Citarum roadmap telah mengidentifikasi puluhan proyek yang terus diperbarui untuk dilaksanakan. Namun, terkait capaian keberhasilan progam sejauh ini belum ada kajian komprehensif.
Baca: Citarum Harum, Langkah Optimis Pemerintah Pulihkan Kejayaan Sungai Citarum (Bagian 3)
**
Awal 2018, skema perbaikan Citarum kembali dicetuskan. Program Citarum Harum hadir seiring terbitnya Peraturan Presiden No 18 Tahun 2018 tentang Pengendalian Pencemaran Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.
Perpres mengatur lingkup tugas dan kewenangan instansi yang dilibatkan sekaligus landasan hukum restorasi Sungai Citarum. Program ini diklaim lebih terintegrasi dari sebelumnya dengan target tujuh tahun persoalan Citarum bisa diselesaikan yang dibagi menjadi tiga tahap yakni hulu, tengah dan hilir.
Selain ICWRMIP, Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013, telah menginisiasi pemulihan melalui Citarum Bestari dengan anggaran Rp25-100 miliar per tahun, alokasi APBD. Program yang menitikberatkan pada pembangunan kesadaran masyarakat melalui kelompok sadar lingkungan, berakhir tanpa evaluasi.
Pada kerangka kerja, Program Citarum Harum terdiri atas Pengarah dan Satuan Tugas (Satgas). Pengarah Tim DAS Citarum adalah Menko Kemaritiman (ketua), Menko Polhukam (wakil ketua I, Menko Perekonomian (wakil ketua II), dan Menko PMK (wakil ketua III).
Pengarah Tim DAS Citarum bertugas menetapkan kebijakan pengendalian pencemaran dan kerusakan secara terintegrasi berkelanjutan, serta memberikan arahan dalam pelaksanaan tugas satgas.
Adapun pengarah Tim DAS Citarum diisi Mendagri, Menkeu, Menag, Menristekdikti, Menkes, Menperin, Menteri ESDM, Menteri PUPR, Mentan, Menteri LHK, Menteri KP, Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri BUMN, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Sekkab, dan Kepala BPKP.
Sementara Satgas DAS Citarum dikomandani Gubernur Jabar, Pangdam III/Siliwangi (Wakil Komandan Bidang Penataan Ekosistem I), Pangdam V/Jayakarta (Wakil Komandan Bidang Penataan Ekosistem II), Kapolda dan Kajati Jabar (Wakil Komandan Bidang Pencegahan dan Penindakan Hukum I), serta Kapolda Metro Jaya (Wakil Komandan Bidang Pencegahan dan Penindakan Hukum II).
Baca: Citarum Masih Berkutat Masalah Meski Berbagai Proyek Diluncurkan
Pakar Politik, Hukum, dan Tata Negara Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf menilai, pemerintah dituntut bisa membuat regulasi tepat, mengkalkulasi anggaran, dan membangun kelembagaan berintegritas.
“Negara bertanggung jawab sekaligus menyelesaikan persoalan Citarum. Partisipasi swasta dan masayarakat hanya pelengkap,” katanya.
Perpres DAS Citarum dinilainya tepat dan sesuai kebutuhan, sebab mewarisi ruh perundang-undangan yang ada di atasnya. Perpres ini mengakomodasi pelbagai UU seperti UU Tata Ruang, Lingkungan Hidup, Sumber Daya Air, Pengairan, dan sejumlah paket aturan lain.
Kendati sudah memadai, perpres ini menurut Asep masih bisa dipertajam. Caranya, pemerintah daerah bisa mengambil peran lanjutan dengan memperkuat regulasi via penerbitan peraturan daerah. Perda ini, pada gilirannya bisa mengatur hal-hal spesifik untuk mendukung program.
Perihal anggaran, program yang baru berjalan satu tahun ini memang belum valid berapa dana yang dibutuhkan. Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan saat menggelar rapat terbuka di Bojongsoang, 5 Desember lalu, mengaku belum tahu.
“(Sejauh ini) belum terintergrasi karena terkendala mekanisme pencairan. Tahun depan (2019), anggaran disiapkan Rp640 miliar. Pendanaan tujuh tahun Citarum Harum, saya tidak tahu, kita lihat saja nanti,” katanya.
Sebelumnya, mantan Menko Polhukam ini membenarkan jika ADB menawarkan dana Rp200 triliun untuk membantu pemerintah pusat menata Citarum. Meski demikian, sambung Luhut, pemerintah belum mengetahui berapa besar kebutuhannya.
Baca juga: Sungai Citarum, Saatnya Ditata Menjadi Harum!
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menuturkan, telah melakukan pembahasan dengan Satgas Citarum. Dia mengaku memiliki pola mengentaskan banjir, pencemaran hingga pemindahan industri di sekitar DAS Citarum.
Akan tetapi, perlu estimasi dana besar, total APBD Jabar Rp30 triliun tidak cukup. “Citarum mah perlu triliunan,” katanya.
Ridwan telah membuat kajian sekaligus anggaran yang termuat dalam program Jabar Quick Wins. Khusus Citarum, terdiri lima subprogram yaitu penanganan lahan kritis (Rp4,222 triliun), keramba jaring apung (Rp246 miliar), limbah domestik (Rp401 miliar), limbah industri (Rp30 miliar), dan penegakan hukum (Rp25 miliar). Semua terdiri dari sejumlah rencana aksi.
Sesungguhnya, anggaran tersebut masih bagian dari roadmap pengelolaan ICWRMIP. Pada roadmap itu kebutuhan dana mencapai Rp849,272 triliun. Sementara, program yang dilakukan di Citarum periode 2014-2017 baru mencapai Rp592,800 miliar.
**
Mantan konsultan ICWMRP, Rahim Asyik Budisantoso, mengatakan melihat minimnya evaluasi program-program Citarum akan sangat riskan bila program baru yang dijalankan mengadopsi cara usang.
Rahim menuturkan, baiknya ada evaluasi berkala yang dipublikasi dalam konteks tahapan-tahapan pencapaian program sehingga publik terlibat. Hasil evaluasi objektif itu dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan. “Pemulihan lingkungan tidak bisa diukur waktu. Harus berkelanjutan dan konsisten,” uranya beberapa waktu lalu lalu.
Proyek – proyek yang datang ke Citarum, di hulu sampai hilir, belum terlihat optimal. “Saya kira tidak ada sungai di dunia ini yang paling lengkap datanya kecuali Sungai Citarum. Mau ngomongin soal apa? Semua ada bahkan berserta kajiannya,” imbuhnya.
Proyek strategis lain yang tengah dikebut oleh BBWS Citarum adalah Kolam Retensi Cieunteung. Proyek senilai Rp376 miliar yang diproyeksikan selesai awal 2019, dibangun di atas lahan 5,7 hektar yang akan difungsikan menampung limpasan air sebanyak 300.000 meter kubik dari Sungai Citarum. Rencananya, akan dibangun 5 kolam retensi lain di beberapa titik. Selain itu, akan dibangun juga Terowongan Jompong dengan dana sekitar Rp300 miliar. Ini bagian dari upaya pemerintah mengurangi banjir di Bandung Selatan.
Semua program restisius tersebut dilakukan untuk mewujudkan Citarum yang lebih baik, lebih harum. Akankah terwujud?