9 Juni 2018, publik dikejutkan dengan matinya gajah jantan jinak di Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Bunta dibunuh karena diincar gadingnya. Padahal, bersama tiga gajah jinak lainnya dia diperankan membantu mengatasi konflik masyarakat dengan gajah liar.
Polisi bergerak. Dua pelaku bernama Amiruddin Wansyah alias Bakwan (27) dan Alidin Jalaluddin (35) ditangkap, awal Juli 2018. Keduanya merupakan warga Kabupaten Aceh Timur dan tinggal di sekitar CRU Serbajadi. Dua lainnya buron.
20 Desember 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, memvonis Amiruddin dan Alidin empat tahun penjara dan denda masing-masing Rp100 juta.
Majelis Hakim yang dipimpin Irwandi, dengan hakim anggota Khalid dan Andi Efendi berpendapat, keduanya terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana, membunuh satwa dilindungi. Para terpidana dijerat Pasal 21 ayat (2) huruf a jo Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Pidana penjara empat tahun. Apabila denda tidak dibayar diganti penjara 6 bulan,” sebut Irwandi.
Baca: Pembunuh Gajah Bunta Ditangkap, Dua Masih Buron
Aceh dengan luas hutan lebih tiga juta hektar merupakan provinsi yang paling banyak populasi gajah sumatera, sekitar 539 individu. Persebarannya hampir di semua kabupaten/kota kecuali Kota Sabang dan Kabupaten Simeulue.
“Itu hasil survei akhir 2016, saat ini belum ada lanjutan,” terang Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, pada 24 Desember 2018.
Sepanjang 2018, sebanyak 11 individu gajah ditemukan mati. Tiga individu merupakan gajah jinak milik BKSDA Aceh dan sisanya gajah liar.
“Gajah liar mati terbanyak di Kabupaten Aceh Timur sebanyak empat individu.
Dari delapan gajah liar yang mati terbunuh pada tahun 2018, yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Timur dengan jumlah gajah mati mencapai empat individu. Sisanya di Pidie, Aceh Besar, Bireun, dan Bener Meriah,” papar Sapto.
Baca: Aceh Timur, Wilayah Tidak Aman untuk Gajah Sumatera
Ironinya, gajah liar yang mati tersebut tidak terjadi di hutan, melainkan di areal hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit. Ini sebagaimana yang terjadi di Aceh Timur, di PT. Bumi Flora di Kecamatan Banda Alam (12 Juli) dan PT. Citra Ganda Utama (10 Agustus).
“Kasus di Bumi Flora telah dilimpahkan ke Ditjen Penegakkan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hanya saja penetapan tersangka belum ada. Untuk kasus di Citra Ganda Utama ditangani Kepolisian Aceh Timur,” sebut Sapto.
Terhadap pengungkapan kasus di HGU, Muhammad Nasir, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, mengatakan sejauh ini belum terdengar adanya penegakan hukum meski sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. “Di Aceh Timur, beberapa kali gajah mati di HGU, tapi tidak ada kelanjutan siapa pelaku,” ujarnya.
Baca: Foto: Kisah Sedih Gajah Sumatera yang Berujung Kematian
Konflik meningkat
Rusaknya habitat dan terputusnya daerah lintasan menyebabkan konflik manusia dengan gajah di Aceh tetap terjadi. Gajah kehilangan hutan sebagai rumah besarnya.
Data BKSDA Aceh 2016 mencatat, ada 46 konflik yang umumnya gajah masuk kebun sawit masyarakat dan perusahaan serta lahan pertanian. Pada 2017, pertikain meningkat menjadi 103 kasus. Sementara di 2018 tercatat 71 kasus.
“BKSDA Aceh bersama personil Kesatuan Pengelolaan Hutan berusaha merespon setiap terjadi konflik. BKSDA bersama Pemerintah Aceh, khususnya Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tengah menyusun master plan mengatasi konflik satwa liar dengan masyarakat, khususnya dengan gajah sumatera,” papar Sapto.
Baca: Gajah juga Punya Hak Hidup Sebagaimana Manusia
Harus diingat, sebagian besar konflik terjadi di luar kawasan konservasi atau di hutan lindung, hutan produksi dan hutan areal penggunaan lain. Sebagian besar habitat gajah juga berada di daerah ini. Konflik tidak akan berakhir jika habitat dan jalur lintasan gajah dibuka untuk perkebunan, pertambangan, terlebih illegal logging.
“Apalagi kalau kebun ditanami tanaman kesukaan gajah, seperti sawit, tebu, pinang, atau jagung,” terang Sapto.
Syahrul, pegiat lingkungan di Aceh berpendapat, konflik tidak akan berakhir jika manusia tidak memahami perilaku dan apa yang disukai gajah.
“Pemerintah Aceh harus memperbaiki tata ruang dan setiap pembangunan harus memperhatikan habitat gajah. Jika telah diketahui ada jalur lintasan gajah, jangan keluarkan izin perkebunan. Artinya, habitat dan jalur lintasan gajah jangan diganggu. Ini penting sebagai solusi konflik,” ujarnya.
Baca juga: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia
Kantong gajah hilang
Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser (FKL), Dedi Yansyah mengatakan, hasil patroli yang mereka lakukan menunjukkan, di beberapa seperti Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Tenggara mulai tidak ditemui tanda-tanda keberadaan gajah.
Di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah (SRAK Gajah) 2007-2017 dituliskan wilayah ini sebagai habitat dan jalur lintasan gajah. Namun sejak 2014, tanda-tanda keberadaannya tidak ditemui lagi.
“Nagan Raya dulunya merupakan habitat dan jalur lintasan gajah, hingga 2010, gajah terlihat bahkan dekat jalan negara.”
Dedi mengatakan, di Kecamatan Leuser, Kabupaten Aceh Tenggara, sekitar 50 persen habitat gajah yang dulunya hutan berstatus Taman Nasional dan Hutan Lindung telah berubah menjadi areal penggunaan lain sebagaimana SK Menhut Nomor: 103 tahun 2014.
“Untuk menjaga kantong gajah tidak hilang, cara yang harus dilakukan adalah memulihkan hutan yang rusak akibat dijadikan kebun. Pengalaman kami di Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan, hutan yang direstorasi membuat gajah datang kembali,” paparnya.
Hal yang diakui Sapto, bila di beberapa tempat memang mulai ada tanda-tanda kantong yang hilang. Bahkan, pertengahan Desember 2018, tim BKSDA dan sejumlah LSM mitra terpaksa memindahkan satu individu gajah betina yang terjebak di kebun kelapa sawit di Kota Subulussalam.
“Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya mulai tidak ditemui tanda-tanda keberadaan gajah. Kami khawatir, memang sudah tidak ada gajahnya,” tandasnya.