Seorang ibu muda tampak resah menenangkan bayinya. Sesekali, dia keluar ruangan. Suasana panas dan aroma seperti rumah sakit menyeruak di tempat pengungsian warga Pulau Sebesi di Lapangan Tenis Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, itu.
“Saya bingung, sampai kapan mengungsi dan kemana mesti pulang nanti? Rumah saya hancur terhempas ombak,” tutur Sulis yang merupakan bidan desa di Pulau Sebesi.
Dia menceritakan, sebelum tiba di pengungsian, bersama ribuan warga lainnya menetap di atas bukit tiga hari. “Hanya satu desa sebenarnya yang rusak tetapi karena kami ketakutan hampir semua warga dusun naik ke tempat tinggi tersebut,” katanya lagi.
Dia mengatakan, seminggu sebelum terjadi tsunami Selat Sunda, warga di Pulau Sebesi sudah melihat tanda-tanda alam. Terjadi hujan abu yang menutup jarak pbegitu dekat. “Sesekali, saya menyibakkan debu yang menempel di mata ini,” ujarnya lagi.
Bahkan sempat pula Sulis mendengar suara seperti dentuman. Saat dia tanyakan ke warga lain, tidak ada tanggapan. Hingga pada Sabtu malam (22/12/2018) gelombang tinggi menghempas rumahnya, porak poranda. Semua peralatan kesehatan untuk pelayanan persalinan lenyap. “Kami bersyukur bisa menyelamatkan diri hingga tiba di pengungsian ini,” tuturnya lagi.
Sulis sempat menyaksikan seorang nelayan yang berenang dari sekitaran Gunung Anak Krakatau (GAK) hingga menepi di Pulau Sebesi. “Dia berenang tiga hari hingga perutnya kembung air, syukurlah selamat,” ujarnya.
Baca: Tsunami Hantam Pantai Selat Sunda, Bagaimana Nasib Badak Jawa?
Penyisiran tiga titik
Tim gabungan terus melakukan pencarian sejak tsunami Selat Sunda menerjang. Menurut Humas Basarnas Lampung Deni Kurniawan, ada tujuh nelayang yang belum ditemukan. “Kami membagi tiga tim, menggunakan perahu karet,” katanya.
Tim pertama menyisir Pulau Minang Ruah sampai Pantai Blebu. Tim kedua menyisir Pulau Sebesi dan sekitar perairan Pulau Sertung menggunakan sea rider milik marinir, serta tim ketiga menyisir Batu Balak sampai Waymuli.
Berdasarkan data yang dihimpun Polda Lampung, korban meninggal mencapai 116 orang. “Kami berharap, dalam waktu singkat semua korban hilang segera ditemukan, hidup maupun meninggal dunia,” terang Kapolda Lampung Irjen Pol. Purwadi Arianto.
Terkait korban hilang, dia menambahkan, ada 48 orang yang 34 sudah ditemukan. Berdasarkan data rumah sakit, jumlah korban yang dirawat sebanyak 3.130 orang dengan rincian 2.764 mengalami luka ringan serta luka berat sekitar 366 orang.
Baca: Tsunami Selat Sunda Tewaskan 222 Orang, BNPB: Hindari Dekat Pantai dan Tetap Waspada
Gunung Anak Krakatau fase konstruksi
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan, Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda merupakan gunung api strato tipe A. Gunung api muda ini muncul dalam kaldera, pasca-erupsi paroksismal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.
Aktivitas erupsi pasca-pembentukan dimulai sejak 1927, saat tubuhnya masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan sejak 1929. Sejak saat itu dan hingga kini, Gunung Anak Krakatau berada dalam fase konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar).
Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi efusif berupa aliran lava. Tiga tahun terakhir, teramati letusannya pada 20 Juni 2016, sedangkan pada 2017 letusannya terjadi pada 19 Februari 2017 berupa strombolian. Pada 29 Juni hingga 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau kembali meletus berupa strombolian.
Pada 22 Desember 2018, seperti sebelumnya, Gunung Anak Krakatau erupsi, yang secara visual teramati tinggi asapnya berkisar 300-1.500 meter di atas puncak kawah.
Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama BMKG mengeluarkan peringatan tsunami yang sebelumnya sempat ditepis bahwa kejadian tersebut hanya gelombang pasang.
Berdasarkan citra satelit, sebagian besar tubuh Gunung Anak Krakatau hilang, akibat longsor, yang kemudian diketahui penyebab tsunami di beberapa wilayah di Provinsi Lampung dan Banten.
Berdasarkan analisis visual, Gunung Anak Krakatau yang tingginya semula 338 meter kini hanya 110 meter. Volume yang hilang diperkirakan antara 150-180 juta meter kubik dan yang tersisa sekitar 40-70 juta meter kubik. Berkurangnya volume tubuh ini diperkirakan adanya proses rayapan tubuh yang disertai laju erupsi tinggi sejak 24-27 Desember 2018.
Potensi yang paling memungkinkan terjadi adalah letusan Surtseyan yaitu erupsi interaksi antara magma dengan air permukaan laut atau di bawah permukaan. Meski banyak menghasilkan abu tapi tidak memicu terjadinya tsunami yang relatif kecil, kecuali ada reaktivasi struktur patahan/sesar di Selat Sunda. Bahaya yang ada pada lontaran material lava pijar.
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau dinaikkan dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga) terhitung 27 Desember 2018. Masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 5 kilometer dari kawah.
Baca: Krakatau yang Bukan Hanya untuk Dikunjungi
Model suksesi
Peneliti Biologi Gunung Anak Krakatau Prof Tukirin mengatakan, saat terjadi letusan, pohon cemara paling bisa bertahan dari pengaruh tersebut sedangkan beberapa tanaman lain akan mati. Tetapi, tumbuh lagi dikemudian hari. “Makanya Gunung Anak Krakatau oleh para ahli suksesi disebut model suksesi. Karena, dirusak lagi dan nanti akan tumbuh lagi,” katanya.
Lumut-lumutan akan tumbuh di sela bebatuan begitu juga harendong dan melastoma akan tumbuh pada lava yang telah dingin dan tanaman jelajah pada cekungan.
Tukirin juga mengatakan, menjelang Gunung Anak Krakatau (GAK) meletus binatang yang hidup di sekitarnya akan menghindar bahaya. Ikan-ikan menjauh dan burung-burung juga migrasi ke tempat lain, yang tidak bisa menghindar akan mati. Tetapi, nanti akan datang lagi setelah GAK melemah.
“Termasuk nelayan juga bisa membaca bahaya alam tersebut. Mereka tidak akan menemukan ikan di sekitar gunung tersebut.”
Bagaimana nasib pendatang yang tidak tahu dan masyarakat yang tinggal di bibir pantai? Pengamatan di sepanjang lokasi terdampak di Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, menunjukkan rumah-rumah dibangun di tepi pantai, yang berhadapan langsung dengan laut. Sepanjang jalan hingga Desa Way Muli, nyaris semua rumah porak poranda dihantam gelombang tsunami.
“Rumah saya habis, perabotan rumah tidak ada yang bisa diselamatkan,” kata Kimong, warga Desa Way Muli Timur yang mengisahkan ombak setinggi rumah menghantam daratan hingga tiga kali. Dia bersama warga lain lari ke tempat aman untuk menghindar kejaran ombak.
Baca juga: Tukirin “King of Krakatoa” Partomihardjo yang Membanggakan Indonesia
Cabut hak kepemilikan lahan di lokasi berdampak abrasi
Praktisi mangrove dan pesisir dari Lampung Timur Anjar Budisetyowati mengatakan, permasalahan bencana pada masyarakat di pesisir adalah tidak pernah dilakukannya dialog antara orang perikanan dan pertanahan. “Lokasi yang sudah terkena abrasi seharusnya dicabut hak kepemilikan tanahnya,” katanya.
Tetapi, hal tersebut tidak pernah ditertibkan sehingga reklamasi pantai baik perorangan maupun pemilik modal besar terus dilakukan. “Kalau ada reformasi agraria, sertifikasi lahan pantai harus dibersihkan dahulu karena ini sumber masalah,” ujarnya.
Permasalahan lain, peraturan pengelolaan daratan sampai 12 mil sepenuhnya diserahkan ke pemerintah provinsi yang kewenangannya tidak pernah dijalankan dengan baik. “Sehingga kami yang di kabupaten kesulitan menggerakkan penanaman mangrove di sekitar pantai,” katanya lagi.
Seperti di Lampung Timur, pihaknya sudah menerapkan aturan ketat untuk kegiatan reklamasi dan masyarakat juga sudah antusias menanam mangrove. Hanya di sekitar pesisir Muara Gading Mas Lampung Timur yang belum dilakukan penanaman pohon untuk pemecah ombak. “Sebaiknya, kosongkan pantai yang dapat menimbulkan bencana.”
Anjar mengatakan, untuk mengatasi bencana tsunami, diperlukan pendidikan masif. Mengenalkan Krakatau dan mangrove, khususnya untuk masyarakat sekitar. “Pantainya harus dihutankan agar bisa menahan tsunami, untuk itu masyarakat harus ikhlas bila pantai tidak bisa dimiliki.”
Dr. Sarno, pakar mangrove dari Universitas Sriwijaya, menambahkan jika kondisi mangrove di Kabupaten Serang dan Pandeglang, Banten, serta di Kabupaten Lampung Selatan, Tanggamus dan Pesawaran, Lampung, masih baik atau masih luas hutan mangrovenya, maka korban jiwa akibat tsunami mungkin jumlahnya lebih sedikit.
“Mangrove itu secara alami memiliki banyak fungsi. Mangrove dapat menjadi benteng angin kencang dan badai dari laut, juga tsunami. Kondisi yang sama juga terjadi saat tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, karena sebagian besar pantai kehilangan hutan mangrovenya,” kata Sarno, Sabtu (29/12/2018).
Oleh karena itu, sebagai negara kepulauan yang rawan dengan bencana tsunami, sudah seharusnya pemerintah serius melakukan rehabilitasi kawasan pantai atau pesisir yang hutan mangrovenya terdegradasi.
“Rehabilitasi penting dilakukan, yang gunanya mengembalikan fungsi alami mangrove di sepanjang pantai atau pesisir, salah satunya sebagai benteng tsunami,” katanya.
Kata Sarno, saat melakukan rehabilitasi harus diperhatikan kesesuaian antara jenis yang ditanam dengan karakteristik kawasan yang menjadi lokasi penanaman. “Sehingga tidak terulang lagi kegagalan rehabilitasi mangrove di sejumlah wilayah karena salah jenis dan salah lokasi tanam,” ujarnya.
Selain itu, aspek keberlanjutan juga harus diperhatikan dalam melakukan rehabilitasi mangrove ini. “Perlu dipantau dan dievaluasi, hingga selesai masa kritisnya, antara 3-5 tahun,” kata Sarno yang bersama rekan-rekannya di Universitas Sriwijaya sukses merehabilitasi hutan mangrove terdegradasi di Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.