Dulu, orang-orang Gane di Halmahera Selatan saling memberi hasil pertanian. Bahkan, memberi lahan—kebun kelapa– untuk agar hasil dapat dikelola jadi kopra oleh pasangan muda yang baru menikah. Hasil panen mereka nikmati bersama keluarga barunya. Sayangnya, semua berubah ketika perusahaan perkebunan sawit masuk. Orang-orang tak saling memberi. Konflik sesama warga pun terjadi.
Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)
Jusmin Hi Obet, pemuda Gane Luar, beberapa waktu lalu saat pelatihan community organizing diselenggarakan Walhi di Gane Dalam, Halmahera Selatan (Halsel). Malam itu, lebih 20 orang Gane hadir. Mereka rata-rata dulu petani kelapa (kopra).
Sebagian telah kehilangan mata pencarian itu karena hama kumbang menyerang kelapa, sejak perkebunan sawit masuk Gane, PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM), anak perusahaan PT Korindo.
Masyarakat Gane Luar, hampir semua menolak perusahaan sawit beroperasi di Gane. “Kami hanya ingin menjaga penghidupan generasi agar anak cucu bisa berkebun,” kata Jusmin.
Baca juga: Fokus Liputan: Sawit Masuk Gane Koyak Persaudaraan, Warga pun Panen Derita (Bagian 2)
Mata pencarian mayoritas masyarakat Gane adalah petani, sebagai nelayan hanyalah sambilan, sekadar menambah lauk di rumah. “Sekarang, 70% pendapatan menurun. Padahal, dulu paling banyak produksi 5-6 ton kopra itu satu keluarga.”
Saat perusahaan sawit masuk, masyarakat dijanjikan tiga orang naik haji dalam satu tahun. “Gaji Rp3 juta perbulan, anak-anak kuliah, (biaya) ditanggung perusahaan, ikut tes semua lolos, gaji guru dilipatgandakan,”katanya. Janji hanya janji.
Sebelum ada sawit, orang Gane Dalam dan Gane Luar, saling berkunjung. Jalan kaki hanya berkisar 5-6 km, bahkan bisa jalan sambil memikul satu karung beras 50 kg. Jalur itu, kini hilang.
Untuk terhubung, masyarakat harus pakai transportasi sepeda motor berjarak 9-10 km melewati pebukitan dan wilayah sudah jadi perkebunan sawit.
Jusmin bilang, pada 2008, Bupati Halmahera Selatan, pernah turun di Gane Luar, menyampaikan ke warga agar jangan terima sawit. Waktu itu, masyarakat tak tahu kalau sawit ternyata sudah masuk.
Warga tak pernah dengar mau ada investasi masuk, apalagi pertemuan membahas analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Baru pada 2012, terjadi penggusuran lahan dan kebun warga besar-besaran.
Baca juga: Fokus Liputan: Ketika Warga Morotai Marak Jual Lahan (Bagian 1)
Ada juga warga yang menjual lahan karena kebun rusak setelah perusahaan masuk. Dalam berita Mongabay, sebelumnya, di Desa Gane Dalam, sebagian lahan kebun habis terbeli perusahaan. Kasus sama terjadi di Sekeli, Yamli dan Gane Luar. Bahkan, ada petani terpaksa menjual habis lahan dan keluar dari kampung.
Arifin, warga Desa Yomen, terpaksa menjual kebun pala dan kelapa sekitar 10 hektar lalu keluar dari kampung, kini pindah ke Tidore. Kebun pala ada ribuan pohon dan sudah berbuah.
Arifin diduga kecewa karena upaya mempertahankan kebun dari perusahaan tak mendapat dukungan warga. Warga lain sudah menjual lahan terlebih dahulu.
“Dia tak punya pilihan lain. Bertahan juga kebun kelapa dan pala ikut rusak karena itu dia menjualnya,” kata Ruslan Mahmud, Ketua BPD Desa Sekeli. Arifin tak menjual kepada perusahaan tetapi salah satu pengusaha di Desa Gane Dalam seharga Rp185 juta.
Musnawir, warga Gane, mengatakan, dulu produksi kopra satu ton selama dua sampai empat bulan dalam setahun. Sebelum mengerjakan kopra, mereka bisa meminjam modal di kios kecil, berupa barang, yakni, gula, beras, bahkan kopi, untuk persediaan selama di kebun.
“Sekarang, kepercayaan pemodal sudah tak ada lagi, karena petani kelapa sudah tidak produksi kopra,” katanya.
Beberapa remaja di Gane Dalam, yang saya temui sedang mengangkat pasir pantai untuk pembangunan gedung sekolah. Satu kubik pasir laut Rp250.000. Sebelumnya, remaja ini sudah berpenghasilan dari kebun kelapa dalam milik orangtua mereka.
Malo, remaja kelas dua SMP ini ketika ditemui di Pesisir Gane Gane Dalam, sedang mengangkat pasir pantai untuk bangunan sekolah. Malo bilang, saat masih ada kebun kelapa dalam, mereka memetik dan membuat kopra sendiri. Hasil jualan kopra milik mereka sendiri, tak dibagi ke orangtua. Itu terhitung usaha mereka untuk jajan bahkan membayar uang sekolah.
Sebagian anak muda yang saya temui sedang mengangkat pasir pantai mengaku masih memiliki kebun kelapa dari orangtua mereka, namun tidak panen lagi karena hama kumbang tanduk merusak kelapa. “Torang [kami] tidak lagi bikin kopra. Kumbang sudah kasih rusak kelapa,” katanya.
Umumnya mereka sadar akan kehilangan sumber penghidupan jangka panjang. Mereka pun mulai membayangkan bagaimana masa depan jika kebun tidak lagi menghasilkan kopra. “Kami tak mau angkat pasir terus. Kalau kebun kelapa tidak ada lagi, kami bagimana?”
Data Walhi Malut menyebutkan, Halmahera Selatan, memiliki luas 40.376,89 kilometer persegi, terdiri dari 31.484,40 luas laut dan 8.892,49 daratan. Daerah ini ada 30 kecamatan dan 249 desa, tiga sudah jadi perkebunan sawit yakni di Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Joronga.
Tak hanya perusahaan sawit, perusahaan kayu juga ada yang bikin warga khawatir. Di Gane Timur, juga terdapat dua perusahaan kayu yakni PT Nusa Pala Nirwana (NPN). Perusahaan baru yang akan beroperasi selama 30 tahun berdasarkan persetujuan prinsip permohonan IUPHHK-HA Nomor: 14/1/S-IUPHHK-HA/PMDN/2016 dengan luas 28.610 hektar. Lalu, PT Surya Kirana Dutamas (SKD) perusahaan kayu bulat sudah beroperasi sejak 2009 berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor: S.640/MenHut-VI/2008 seluas 79.500 hektar.
Harid Munandar, Pemuda Desa Kotaloow, Gane Timur mengatakan, kehadiran kedua perusahaan ditolak warga 12 desa di Kecamatan Gane Timur. Penolakan mereka dengan alasan NPN mengancam keragamanhayati, dan perkebunan kelapa warga. Mereka sudah demonstrasi. Hingga kini, belum ada respon dari Pemerintah Maluku Utara.
Proses masuk kedua perusahaan itu pun tak diketahui warga. “Tidak ada sosialisasi. Ini yang kami curiga kalau lahan perkebunan kami sudah dikapling,” kata Harid.
Entah kenapa pemerintah daerah sendiri tidak melihat peluang pada sumber alam bidang pertanian masyarakat tempatan. Padahal, data Halmahera Selatan dalam angka 2016 mencatat, perkebunan cukup dominan di Halmahera Selatan adalah kelapa dan kakao, dengan produksi masing-masing 28.709 ton dan 2.200 ton.
***
Pada Oktober 2018, ketika saya berkunjung ke desa penghasil kelapa Bido, Desa Bido, Morotai Utara, Kepulauan Morotai, tidak sedikit warga kehilangan kebun kelapa di pesisir pantai. Tercatat, hampir 50 hektar lahan dijual dengan harga permeter Rp200-Rp300.
Kepala Desa Bido Han Jaji bilang, lahan warga itu dibeli orang luar negeri, dikelola untuk pariwisata.
Han bilang, banyak warga jual kebun kelapa dekat dengan pesisir pantai. Ada empat lokasi dibeli orang luar di Desa Bido. Meskipun Han sudah mengimbau warga agar tak menjual lahan, namun imbauan itu diindahkan.
“Saya sampai bicara kasar, saya bilang, 20 tahun ke depan, kalian pergi ke pantai cari ikan saja, pantai sudah dipagari,” kata Han.
Sudah terbukti di beberapa lokasi yang dijual telah dipagari. Dia menyarankan, kalau kebun kelapa dijual dekat pantai, harus ada pengganti. Minimal, warga membeli lahan lagi di belakang kampung.
“Seharusnya mereka ganti. Yang dijual, lahan milik orangtua yang dititipkan untuk generasi berikut.”
Penjualan kebun kelapa marak sejak 2014. Masa Han menjabat, sudah tiga kali warga jual lahan. Han terpaksa mengeluarkan surat perjanjian jual beli dari Pemerintah Desa Bido. Warga jual lahan karena berbagai alasan keperluan uang. Ada untuk berobat dan lain-lain.
Di Pesisir Desa Pilowo, Morotai Utara, selain jadi desa nelayan, masyarakat juga mengelola kebun kelapa untuk kopra. Almir, ayah tiga anak ketika ditemui sedang mengerjakan kopra milik majikannya. Dia nelayan bagan di Desa Pilowo.
Bagan milik kelompok nelayan di sana rusak, Almir pun mengerjakan kopra untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Upah persatu karung kopra Rp35.000. Dia perkirakan, kopra yang mesti dia kerjakan 40 ton. Hasil panen dijual ke Desa Aha.
Awal 2018, harga kopra Rp6.500 perkilogram. Jelang akhir tahun, harga turun drastis Rp2.000 perkilogram.
Rahmat Wali, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara mengatakan, secara sosiologis penjualan lahan oleh warga di Gane Luar dan Desa Bido, Morotai Timur, bisa terlihat ketika sawit masuk Gane, juga penurunan harga kopra yang jadi basis pendapatan. Ketika harga kopra menurun, dengan keperluan yang harus dipenuhi, dorongan menjual lebih kuat.
“Investasi monokultur seperti sawit di Gane, jadi pilihan terburuk warga Gane Luar menjual lahan kelapa mereka. Bisa berbagai aspek, selain kebutuhan juga ada desakan dan strategi perusahaan agar warga menjual lahan,” katanya.
Dengan penjualan lahan produktif maka basis produksi masyarakat hilang. Kondisi ini akan mempengaruhi etos kerja masyarakat setelah lahan mereka jual. Dia contohkan, semula warga Gane Luar dan Bido petani kelapa, ketika lahan tak ada maka harus cara mencari pekerjaan baru. “Jadi buruh kasar pelabuhan, buruh bangunan dan lain-lain.”
Perubahan-perubahan pekerjaan itu, katanya, tidak bisa dihindari dan dapat melahirkan mata rantai kemiskinan di masyarakat karena basis produksi (lahan) hilang.
Keterangan foto utama: Nories Otniel sedang mencungkil daging kelapa di samping para-para (tempat pengasapan kopra) untuk dibuat kopra pada Oktober 2018. Foto: Faris Bobero/Mongabay Indonesia