Populasi kepiting yang ada di alam dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Penyebabnya, karena perdagangan komoditas andalan Indonesia itu selama ini dilakukan dengan mengambil stok langsung dari alam dan bukan berasal dari hasil budidaya. Kondisi itu mengakibatkan populasi kepiting mengalami penurunan sejak 1990.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, penurunan populasi dipengaruhi oleh perdagangan ekspor yang dilakukan dari kota utama seperti Jakarta, Denpasar (Bali), dan Surabaya (Jawa Timur). Dari kota-kota tersebut, kepiting yang diperdagangkan ukurannya masih di bawah 1 kilogram.
Jika terus dibiarkan, menurut Slamet, populasi kepiting akan terancam punah dan itu mengancam keberlangsungan bisnis komoditas tersebut yang sejak lama sudah menjadi andalan bagi Indonesia. Apalagi, dari waktu ke waktu permintaan terhadap kepiting terus memperlihatkan peningkatan dan itu mengakibatkan penangkapan kepiting di alam semakin tinggi.
“Dan dilakukan tidak terukur, serta cenderung eksploitatif. Akibatnya, terjadi over fishing penurunan terus menerus stok sumber daya kepiting di alam,” ungkap dia pekan lalu.
Dengan semua fakta tersebut, Slamet menyebutkan, sangat tepat jika Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia.
“Permen KP tersebut untuk melindungi stok kepiting dan rajungan yang ada di alam,” ucapnya.
baca : Kenapa Upaya Penyelundupan Kepiting Bertelur Terus Terjadi?
Slamet menjelaskan, dari hasil kajian yang dilakukan pihaknya berkaitan dengan perkiraan potensi kepiting di seluruh wilayah perairan Indonesia, diketahui bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan sumber daya kepiting serta rajungan di 10 WPP RI sudah menunjukkan status pada kategori ekpsploitasi penuh (fully exploited).
Fakta di atas tersebut, menurut Slamet, menjadi latar belakang KKP untuk menerbitkan Permen KP No.56/2016 dan sekaligus menjadi misi untuk menyelamatkan populasi kepiting di alam. Untuk itu, siapa saja meragukan kebijakan tersebut, maka berarti orang tersebut tidak memahami konteks dan akar permasalahannya.
“Anggapan bahwa pemerintah sengaja mematikan usaha kerapu masyarakat itu tidak benar, sehingga ini harus diluruskan,” tegasnya.
Dibatasi, Bukan Dilarang
Menurut Slamet, penerbitan Permen KP No.56/2016 bukan untuk melarang ekspor kepiting dan rajungan, melainkan untuk membatasi ukuran ekspor, kondisi bertelur atau tidak, dan musim penangkapan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, diklaimnya sudah mendapat persetujuan dari para pedagang dan eksportir kepiting dan rajungan di Indonesia.
Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, volume ekspor kepiting dan rajungan untuk periode 2012-2017 tercatat tumbuh 0,67 persen per tahun, sementara nilai ekspor kepiting dan rajungan tumbuh hingga 6,06 persen per tahun.
Selain faktor penangkapan di alam yang tidak terkendali, Slamet menambahkan, pengaturan pemanfaatan sumber daya kepiting dan rajungan melalui Permen No.56/2016 perlu dilakukan, karena hingga saat ini keberhasilan pembenihan kepiting dan rajungan masih menunjukkan kelulushidupan (survival rate/SR) yang rendah. Masing-masing untuk kepiting dan rajungan masih mencapai rerata 10-20 persen dan 25-30 persen.
“Dengan demikian, Permen KP tersebut diperlukan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya di alam melalui pemanfaatan sumberdaya kepiting secara lebih terukur, bertanggungjawab dan sejalan dengan prinsip perikanan berkelanjutan,” tuturnya.
baca : Perdagangan Kepiting Ini Dilarang dan Dilepasliarkan Kembali. Kenapa?
Untuk saat ini, menurut Slamet, teknologi pembenihan kepiting dan rajungan sudah dikembangkan di 4 (empat) balai budidaya di bawah KKP, yaitu di Maros dan Takalar (Sulawesi Selatan), Gondol (Bali), dan Jepara (Jawa Tengah). Balai-balai tersebut bekerja keras untuk melakukan diseminasi teknologi dan hasilnya kepada masyarakat.
Slamet mencontohkan, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBA)P Takalar berhasil melakukan pembenihan kepiting rajungan secara massal. Keberhasilan tersebut kemudian berhasil dikembangkan di masyarakat Kabupaten Demak, Jepara (Jateng), Tarakan (Kalimantan Utara), Balikpapan (Kalimantan Timur), Bangka, dan Belitung (Bangka Belitung), dan Pangkalan Susu (Sumatera Utara).
“Selain untuk kepentingan pengembangan usaha budidaya, Balai KKP juga mendorong produksi benih kepiting dan rajungan untuk kepentingan restocking di alam, dengan tujuan untuk menjaga kelestarian stok di alam,” jelas dia.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Rifky Effendi Hardijanto mengataan, Indonesia harus bisa menjaga keberlanjutan (sustainability) dari bisnis perikanan yang ada sekarang. Termasuk, dalam bisnis komoditas kepiting dan rajungan yang sudah menjadi andalan untuk Indonesia.
“Rajungan itu salah satu kontributor di dalam nilai ekspor kita yang signifikan. Biasanya rajungan diekspor dalam bentuk yang sudah diambil dagingnya,” ungkapnya.
baca : Ini Uniknya Rajungan, Si Kepiting Berenang dari Lautan
Prinsip Keberlanjutan
Menurut Rifky, penerapan prinsip bertanggung jawab tidak boleh dibantah oleh siapapun sekarang, karena itu bisa menyelamatkan populasi rajungan di alam. Kata dia, jika prinsip keberlanjutan dilaksanakan, maka nelayan akan memastikan kepiting dan rajungan yang ada di alam sudah melalui proses berkembang biak yang cukup.
Jika belum cukup, Rifky menuturkan, maka nelayan sudah seharusnya membiarkan kepiting dan rajungan untuk melakukan pemijahan hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, pelaku usaha rajungan dan nelayan akan membiarkan biota laut tersebut untuk melakukan perkawinan di habitat tanaman bakau (mangrove) yang menjadi lokasi favorit mereka.
“Memang sangat disayangkan bisnis kepiting dan rajungan saat ini masih mengandalkan pada penangkapan dari alam liar. Padahal, saat ini sudah sulit ditemukan kepiting dan rajungan dalam ukuran besar. Untuk itu, agar ekspor produk rajungan bisa tetap dilakukan, maka harus ada kombinasi hasil tangkapan dan budidaya,” jelasnya.
Adapun sentra penghasil rajungan yang masih mendominasi di Indonesia, adalah sepanjang pantai utara Jawa di Pulau Jawa dan Lampung Timur di Pulau Sumatera. Di kedua kawasan tersebut, rajungan yang masuk kelompok krustasea, dieksploitasi sejak lama dari alam, yang membuat stok yang ada diperkirakan tidak akan bisa bertahan lama.
“Stok tidak akan bertahan jika laut terus dikeruk dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti trawl,” tegasnya.
Untuk menjaga bisnis kepiting dan rajungan ini tetap bisa menjadi komoditas ekspor yang cukup signifikan dan tumbuh, Rifky mengatakan, perlu ada penataan supaya praktik perikanan bertanggung jawab (responsible fisheries practices) bisa diterapkan. Tujuannya, untuk memastikan kelestarian rajungan tetap tumbuh dan bisa panen.
Sementara, Kepala Balai Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP Sjarief Widjaja, upaya untuk melestarikan stok kepiting dan rajungan di alam, harus dilakukan semua pelaku usaha dan stakeholder. Cara yang paling sederhana tapi pasti berhasil, adalah dengan melestarikan keberadaan tanaman bakau yang ada di sepanjang pesisir pantai Indonesia.
Sjarief menjelaskan, bakau dapat ditanam sebagai upaya restorasi atau pengembalian kekayaan ekosistem laut, termasuk kepiting dan rajungan. Sebagai bentuk dukungan, Pemerintah Indonesia saat ini tengah memetakan tutupan-tutupan bakau yang potensial di sepanjang pesisir Indonesia.
“Pantai Timur Sumatera, utamanya di Riau memiliki potensi budidaya air payau mangrove yang besar. Budidaya sifatnya mendorong sampai ke tingkat rajungan ini siap matang dan siap bertelur. Pada posisi itulah kita siap menebar ke tutupan-tutupan mangrove yang sudah kita bina,” paparnya.