Dunia saat ini terus bergerak untuk memetakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang sedang terjadi. Berbagai cara terus dilakukan oleh banyak negara untuk bisa mengatasi persoalan tersebut. Satu yang menjadi perhatian saat ini, adalah pemanfaatan vegetasi pesisir sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Pemanfaatan potensi vegetasi pesisir, menurut Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Dirhamsyah, menjadi langkah signifikan karena perubahan iklim saat ini sudah menjadi permasalahan global dan menyerang seluruh negara, termasuk Indonesia. Untuk itu, perlu kerja sama semua pihak yang terkait untuk bisa melaksanakan pemanfaatan tersebut.
“Saat ini, peningkatan suhu permukaan bumi, intensitas cuaca ekstrim dan frekuensi bencana banjir serta kekeringan merupakan bukti nyata dari perubahan iklim. Untuk meminimalkan penyebab perubahan iklim, perlu upaya kolektif yang serius dan berskala global,” ungkapnya pekan lalu.
Menurut Dirhamsyah, pemanfaatan vegetasi pesisir menjadi salah satu langkah penting, karena di sana ada potensi padang lamun dan hutan bakau (mangrove) yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan karbon. Hingga saat ini, potensi tersebut belum banyak dikaji dengan menggunakan metode standar yang mampu berlaku secara regional.
Fakta tersebut bisa terjadi, menurut dia, karena selama ini sektor kelautan masih belum dianggap sebagai komponen penting dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Sementara, di saat yang sama, negara-negara di dunia diberikan beban untuk bisa menurunkan emisi sebanyak mungkin, termasuk di Indonesia.
baca : Laut adalah Korban sekaligus Jawaban Perubahan Iklim
Kata Dirhamsyah, dari target 29 persen jumlah penurunan emisi yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia, tidak ada target spesifik yang dibebankan kepada sektor kelautan. Padahal, sektor tersebut berperan sangat signifikan, karena laut dengan air dan vegetasinya memiliki kapasitas menyerap 25 persen emisi karbon dioksida antropogenik.
Adapun, 29 persen yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia sendiri, menurut Dirhamsyah, berasal dari sektor kehutanan sebanyak 17,2 persen, sektor energi dengan 11 persen, sektor pertanian dengan 0,3 persen, sektor industri dengan 0,10 persen, dan sektor limbah dengan 0,38 persen.
Kajian Pesisir
Mengingat belum banyak kajian yang mendalam tentang vegetasi pesisir, Dirhamsyah menyebut bahwa itu akan menjadi tantangan yang harus dilalui oleh peneliti dan akademisi di dunia, khususnya di Indonesia. Dengan kajian, itu akan bisa meyakinkan dunia bahwa sektor kelautan bisa mengambil peran penting dalam kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
“Selain dari aspek kelestarian lingkungan, perlu juga memperhatikan kontribusi secara ekonomi bagi masyarakat pesisir,” ucapnya.
Deputi Bidang Ilmu Kebumian LIPI Zainal Arifin menerangkan, pemanfaatan vegetasi pesisir sebagai bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sudah harus dilaksanakan segera. Mengingat, vegetasi pesisir menyimpan padang lamun yang menjadi salah satu dari tiga ekosistem penting di kawasan pesisir.
“Selain terumbu karang dan bakau,” ucapnya.
baca juga : Lestarikan Mangrove Sama Dengan Menunda Perubahan Iklim. Kok Bisa?
Meski mempunya potensi banyak, namun Zainal menyebut bahwa perhatian terhadap padang lamun hingga saat ini masih kurang, terlebih jika dibandingkan dengan dua ekosistem penting pesisir lain seperti terumbu karang dan bakau. Padahal, padang lamun diketahui memiliki potensi ekologi sekaligus ekonomi yang sama besar.
Peran penting yang dimiliki padang lamun, menurut Zainal, adalah sebagai penyaring polutan dari daratan sebelum masuk ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, lamun juga berperan sebagai habitat komoditas hasil laut bernilai tinggi seperti ikan baronang dan rajungan.
Dengan fakta tersebut, Zainal menyebut bahwa penetapan padang lamun sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, tak bisa ditunda lagi. Apalagi, jika merujuk pada hasil verifikai luasan padang lamun Indonesia yang dilakukan Tim Wali Data yang dipimpin LIPI, menunjukkan bahwa saat ini luasnya sudah mencapai 293.464 hektare.
“Jumlah luasan tersebut adalah yang tertinggi di negara-negara Asia Tenggara,” tuturnya.
Tentang luasan padang lamun saat ini, Dirhamsyah mengatakan, itu bisa memberi gambaran tentang kondisi dan potensi padang lamun secara menyeluruh. Jika terjadi penurunan, itu menunjukkan bahwa ada tekanan atau ancaman pada ekosistem tersebut. Namun sebaliknya, jika luasan tetap stabil atau bahkan naik, maka kelestarian padang lamun tetap terjaga.
Sementara, Peneliti Laboratorium Biogeokimia Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Aan J Wahyudi menerangkan, padang lamun di Indonesia memiliki kemampuan menyerap karbondioksida (CO2) sampai 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun. Kemampuan menyerap sebanyak itu, berasal dari padang lamun seluas 293.464 hektare.
Aan mengatakan, seperti halnya bakau, kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan. Dalam setiap hektare padang lamun, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan LIPI, kemampuan menyerap karbon diketahui bisa mencapai 6,59 ton per tahun.
“Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di darat,” jelasnya.
baca juga : Pentingnya Padang Lamun untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Sayangnya..
Pengendali Karbon
Dengan fakta tersebut, Aan menyebutkan, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77 persen lebih banyak dari vegetasi yang ada di darat seperti hutan. Kemampuan menyerap itu, juga dimiliki oleh tanaman bakau yang juga tumbuh di kawasan pesisir.
“Untuk bisa menyerap karbon sebanyak mungkin, maka kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan. Di laut, mangrove dan lamun bisa diandalkan untuk melakukan tugas itu. Vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50 persen penimbunan karbon di sedimen,” jelasnya.
Aan melanjutkan, kemampuan menyerap karbon yang dimiliki padang lamun tersebut, walaupun besar tapi hingga saat ini masih belum dikelola dengan baik. Hal itu, terbukti dengan masih rendahnya riset tentang padang lamun di Indonesia. Padahal, melalui riset, potensi lamun untuk menyerap karbon bisa dipetakan dengan sangat baik.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis LIPI pada 2018, Aan mengungkapkan, potensi luasan lamun di seluruh Indonesia mencapai 875.967 ha. Namun, dari potensi tersebut, baru seluas 293.464 ha saja yang sudah tervalidasi dan terverifikasi. Kondisi itu, menuntut pihak terkait seperti LIPI dan atau pun lembaga lain untuk bisa memetakan lebih rinci dan valid.
Dengan luasan padang lamun yang ada sekarang, Aan mengatakan, terdapat cadangan penyimpanan karbon sebesar 0,94 ton per ha. Sementara, seperti disebutkan di atas, kemampuan menyerap karbon pada setiap hektare padang lamun, mencapai 6,59 ton per tahun. Sementara, potensi cadangan karbon biomassa lamun Indonesia, besarnya mencapai 275,9 hingga 823,4 kilo ton (kt).
“Saat ini, kita melakukan riset di 13 lokasi untuk data primer dan 23 lokasi monitoring COREMAP CTI (Coral Reef Rehabilitation Management Program – Coral Triangle Initiative) di seluruh provinsi,” jelasnya.
Secara umum, Aan melanjutkan, padang lamun yang memiliki kemampuan untuk menyerap karbon, masih didominasi oleh dua jenis lamun, yakni Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Kedua jenis lamun tersebut menjadi tumpuan karena memiliki nilai cadangan karbon yang besar.
Cadangan karbon pada lamun itu tersimpan pada substrat yang ada di bawah permukaan pasir laut dan menyatu dengan akar lamun. Cadangan tersebut, mampu bertahan dalam kurun waktu lama jika kawasan pesisir tidak mengalami kerusakan karena berbagai hal.
menarik dibaca : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru
Namun, Aan mengingatkan, walau ada cadangan yang besar, tetap perlu dilakukan pengukuran secara kontinu berapa cadangan biomassa yang tersimpan dan berapa kemampuan serapan karbon dari lamun yang ada. Cara itu harus dilakukan, karena diyakini pemetaan padang lamun untuk menyerap karbondioksida bisa terus terjaga baik kualitas maupun kuantitas.
“Apalagi, saat ini juga masih ada lamun yang belum terdata, tervalidasi dan terverifikasi. Jadi, baik cadangan biomassa, maupun kemampuan daya serap terhadap karbon juga harusnya lebih besar lagi,” tandasnya.