- Tim peneliti gabungan institusi menggunakan sistem database dengan akses terbuka dan teknologi machine learning untuk memprediksi status konservasi 150.000 jenis tanaman di masa akan datang.
- Mereka menggabungkan informasi geografis, lingkungan, iklim, dan morfologis spesies tanaman berstatus ‘terancam punah’ berdasarkan Daftar Merah IUCN dengan informasi tumbuhan yang belum diketahui risiko kepunahannya menggunakan machine learning. Model ini menghitung kemungkinan spesies tanaman yang belum berpotensi punah dengan mengidentifikasinya menggunakan variabel-variabel untuk memprediksi risiko tindakan konservasi.
- Lebih dari 15.000 spesies – kira-kira 10 persen dari total yang dievaluasi tim peneliti – memiliki karakteristik mirip dengan yang sudah dikategorikan ‘hampir terancam punah oleh IUCN’ yang kemungkinan memiliki ancaman kepunahan tinggi.
- Protokol ini memberikan penilaian sekilas guna mengidentifikasi spesies yang belum berstatus, yang kemungkinan terancam punah beserta tindakan konservasinya.
Para ilmuwan telah mendokumentasikan sekitar 400.000 spesies tumbuhan dan menargetkan lebih banyak lagi. Tetapi, tidak seperti hewan langka terancam punah yang kita kenal seperti gajah, harimau, atau burung paruh bengkok, saat ini kita belum mengetahui status konservasi lebih dari 90% spesies tanaman dunia. Pertumbuhan tanaman mendorong perkembangan ekosistem, rantai makanan, dan pertanian di setiap benua, namun kita tidak tahu kondisi apa yang menyebabkan mereka tumbuh atau menghilang.
Untuk memahami betapa terancamnya spesies tanaman tertentu, diperlukan informasi lengkap mengenai habitat dan sifatnya. Semua itu, butuh waktu, dana, dan keahlian.
Sebuah tim penelitian gabungan berbagai institusi, menggunakan sistem database dengan akses terbuka dan teknologi machine learning, coba memprediksi status konservasi lebih dari 150.000 jenis tanaman di masa mendatang.
Dalam studi yang diterbitkan 3 Desember 2018 di Proceedings of the National Academy of Sciences, tim peneliti menguji apakah algoritma machine learning dapat melacak lokasi tanaman, pola iklim, fitur habitat, dan morfologi – berdasarkan bentuk dan struktur – untuk mengidentifikasi spesies yang kemungkinan berisiko terancam punah.
“Ada kebutuhan mendesak penggunaan metode lebih efisien dalam mengidentifikasi spesies terancam punah,” jelas para penulis makalah. “Untuk memenuhi kebutuhan ini, kami mengembangkan dan mengevaluasi sebuah protokol bersifat prediktif. Tujuannya, memungkinkan penilaian awal dan cepat terhadap status konservasi taksa tanaman yang belum banyak dipelajari.”
Habitat dasar kehidupan semua spesies
Ketika manusia mengubah padang rumput, hutan, bahkan gurun menjadi lahan pangan, perkebunan, dan rumput untuk ternak, yang terjadi adalah populasi tanaman asli atau endemik berkurang, bahkan menghilang. Para ilmuwan memperkirakan, lebih dari 20 persen dari semua spesies tanaman (di darat) kemungkinan terancam punah. Namun angka ini masih perkiraan.
‘Daftar Merah Spesies Terancam Punah’ International Union for Conservation of Nature (IUCN), yang menginventarisir spesies dan berfungsi sebagai acuan prioritas spesies yang memerlukan tindakan konservasi, sejauh ini hanya mengevaluasi kurang dari 10 persen dari 390.000 spesies tanaman yang ditemukan. Sebagai perbandingan, IUCN telah mengevaluasi status semua spesies burung dan mamalia yang pernah ditemukan.
“Tanaman membentuk habitat dasar yang digunakan oleh semua spesies, jadi masuk akal untuk memulainya dengan tanaman,” tutur salah satu penulis, Bryan Carstens, profesor bidang evolusi, ekologi dan biologi organisme di Ohio State University. “Ketika kita bicara konservasi, banyak orang fokus pada hewan besar dan karismatik, tetapi sebenarnya habitat mereka yang krusial. Kita dapat melindungi semua singa, harimau, dan gajah yang kita inginkan, tetapi tetap mereka harus memiliki tempat tinggal untuk hidup. ”
Daftar Merah IUCN menggunakan kriteria konservasi berupa Risiko Rendah (Least Concern), Mendekati Terancam Punah (Near Threatened), Vulnerable (Rentan), Genting (Endangered), Kritis (Critically Endangered), Punah di Alam (Extinct in the Wild), dan Punah (Extinct). Namun, ada spesies yang memiliki Data Kurang (Data Deficient) yang sulit untuk dikategorikan.
Para ilmuwan mempertimbangkan kategori Daftar Merah IUCN ini dalam menetapkan status konservasi. Namun, untuk mengevaluasi setiap spesies tambahan, butuh waktu dan dana, serta keahlian, yang mengakibatkan banyak spesies dengan risiko kepunahan tinggi tidak masuk daftar tersebut.
“Tidak memiliki tanaman dalam sistem analisis mengindikasikan orang-orang bekerja dengan set data tidak lengkap,” ujar Anne Frances, ahli botani yang berkoordinasi dengan Daftar Merah IUCN di Amerika Utara, kepada Wired. “Kami harus menentukan kunci area keanekaragaman hayati tanpa memperhitungkan bagian penting dari keanekaragaman hayati itu sendiri.”
Para ilmuwan memperkirakan, hilangnya spesies tanaman karena eliminasi langsung atau perubahan iklim, akan menyebabkan kenaikan signifikan terhadap hilangnya spesies hewan yang bergantung pada tanaman tersebut.
Para ilmuwan berhasil mendeskripsikan sekitar 2.000 spesies tanaman baru setiap tahunnya, menurut laporan “State of the World’s Plants”, namun hal tersebut hanya menambah isu baru dalam penilaian status konservasi mereka.
Hutan untuk tanaman
Para peneliti ingin menemukan cara jitu yang dapat memproses data baru, guna mempercepat penilaian dan membuatnya lebih efektif secara biaya.
Mereka mengumpulkan data sumber terbuka beberapa dekade dari Global Biodiversity Information Facility (GBIF) dan Try Plant Traits Database, tentang lokasi tumbuhan, iklim, lingkungan, dan bentuk 150.000 tanaman di seluruh dunia. Ini mewakili hampir 95 persen spesies tanaman dalam GBIF yang datanya dimiliki tetapi belum pernah dievaluasi oleh Daftar Merah IUCN.
Para peneliti membangun model machine learning untuk menentukan sifat-sifat risiko kepunahan. Menggunakan jumlah spesies tanaman relatif lebih kecil yang sudah dikategorikan Daftar Merah IUCN (sehingga status konservasinya dapat diketahui) untuk “melatih” sistem kerjanya.
Para peneliti membangun model menggunakan teknik Random Forest (RF), dinamai untuk penilaian tanaman. RF adalah algoritma machine learning yang terus dikembangkan dan diawasi, artinya diatur antara hubungan objek dan hasil; setelah dipahami hubungannya maka dapat diprediksi hasilnya menggunakan data yang baru di-input.
Model ini menguji apakah atribut yang diberikan – seperti informasi berkaitan dengan lintang atau bujur; ketinggian; jenis tanah; curah hujan; suhu; atau jarak dari jalan, kota, atau kawasan lindung – dapat dikaitkan dengan atribut yang dimiliki tanaman berstatus hampir punah. Berdasarkan hasilnya, para peneliti dapat memutuskan karakteristik mana yang paling baik dalam memprediksi risiko tanaman yang akan menghilang dan punah.
Dengan membandingkan karakteristik tanaman Daftar Merah IUCN, model ini dapat menghitung kemungkinan spesies tanaman yang belum dikategorikan memiliki ancaman kepunahan atau tidak, sehingga membutuhkan evaluasi lebih mendalam. Model ini juga mengidentifikasi variabel yang paling penting dalam memprediksi ancaman untuk konservasi.
Ribuan spesies dalam ancaman
Model ini juga mengindikasikan lebih dari 15.000 spesies yang tidak terdaftar, yang berada dalam ancaman kepunahan. Secara global, karakteristik spasial, seperti ukuran dan titik lintang dalam kisaran pembagian spesies, dapat memprediksi lebih baik ancaman kepunahan ketimbang karakteristik iklim atau morfologis, seperti ketinggian. Spesies dengan kisaran populasi yang lebih kecil, misalnya, cenderung lebih cepat punah daripada spesies dengan jumlah populasi lebih besar. Namun demikian, tidak ada satu pun variabel yang dapat memperkirakan status konservasi secara global.
Para peneliti menggunakan hasilnya untuk mengidentifikasi area sejumlah besar spesies tanaman terancam, dan menyarankan penggunaan peralatan untuk dapat membantu melestarikan area ini. Untuk setiap pengamatan kajian analisis, mereka mengaitkan probabilitas tanaman terancam punah dengan koordinat GPS. Mereka menghitung probabilitas risiko rata-rata untuk semua koordinat dalam setiap sel dari grid 1 ° × 1 ° yang meliputi area permukaan dunia dan memberikan nilai ancaman pada setiap sel grid tersebut (labelling).
Hasil pemetaan menunjukkan, beberapa tren geografis dasar dapat digunakan dalam prediksi model mereka. Spesies tanaman terancam punah cenderung berkelompok di daerah yang sudah dikenal memiliki keanekaragaman hayati tinggi, termasuk California, Amerika Tengah, Madagaskar, AS bagian tenggara dan bagian barat daya Australia. Beberapa di antaranya juga mengandung banyak spesies endemik, yang secara alami tidak ditemukan di tempat lain.
Model ini juga mengidentifikasi beberapa daerah yang kurang dikenal keanekaragaman hayatinya, seperti Tasmania dan gurun berkabut di pesisir selatan Semenanjung Arab. Menurut salah satu penulis, Anahí Espíndola, asisten profesor di Universitas Maryland, beberapa daerah yang paling terancam punah menerima perhatian sangat sedikit. Namun, metode baru ini juga dapat membantu mengidentifikasi daerah dan spesies yang membutuhkan studi lebih lanjut.
Dalam sebuah pernyataan, Espíndola mengatakan bahwa prediksi machine learning tidak dapat menggantikan akurasi penilaian konvensional pengamatan lapangan. Tetapi, dapat membantu mengidentifikasi spesies dan wilayah berisiko, untuk studi lebih mendalam.
“Model ini bukan pengganti penilaian langsung yang lebih rinci,” Carsten menekankan hal tersebut dalam sebuah pernyataan. “Tetapi, model ini bisa jadi tahap pertama yang dapat membantu mengidentifikasi spesies prioritas yang harus mendapat perhatian.”
“Di awal saya memikirkan proyek ini, saya mengira banyak daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi akan dipelajari dan dilindungi dengan baik,” kata Espíndola. “Tapi kami menemukan fakta sebaliknya.”
Para peneliti berharap model ini dapat membantu upaya perlindungan sumber daya terbatas dalam tindakan perlindungan habitat. Dan peta tersebut, dapat membantu para peneliti di masa depan untuk menentukan lokasi yang membutuhkan upaya konservasi, dengan mencocokkan koordinat GPS dengan probabilitas risiko ancaman di peta.
“Model ini dapat diadaptasi pada skala geografis apa pun,” kata Espíndola. “Semua yang kami lakukan memberikan 100% akses terbuka, mengutamakan data untuk umum. Kami berharap, orang-orang akan menggunakan model kami – dan kami berharap mereka dapat menunjukkan kekurangan yang ada pada model tersebut, untuk membuatnya lebih baik.”
Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.
Citation
Pelletier, T. A., Carstens, B. C., Tank, D. C., Sullivan, J., & Espíndola, A. (2018). Predicting plant conservation priorities on a global scale. Proceedings of the National Academy of Sciences, 115(51), 13027-13032.