Hutan rusak seluas 2.778 hektar yang berada di Kawasan Ekositem Leuser (KEL) telah dikembalikan fungsinya melalui cara restorasi. Sebagian besar, kerusakan hutan terjadi akibat perambahan serta sawit yang ditanam di wilayah hutan lindung.
Rudi Putra, Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) mengatakan, sejak 2009 penghijauan kembali hutan yang terganggu telah dilakukan. “Restorasi pertama dilakukan Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) di Kabupaten Aceh Tamiang seluas 800 hektar,” ujarnya, Kamis (10/1/2019).
Rudi menambahkan, FKL sendiri di Kabupaten Aceh Tamiang telah merestorasi 1.200 hektar kebun sawit yang masuk hutan lindung di Kawasan Ekosistem Leuser. “Total perkebunan ilegal di hutan lindung Aceh Tamiang luasnya mencapai 3.000 hektar.”
Baca: Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang
Berikutnya, pada 2016, FKL merestorasi 117 hektar lahan perkebunan yang masuk kawasan hutan di Kecamatan Kluet Selatan dan Kluet Timur, Kabupaten Aceh Selatan. Luas hutan yang dirambah di daerah ini mencapai 200 hektar.
“Pada 2017, direstorasi juga 300 hektar kebun ilegal yang masuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Kabupaten Aceh Tenggara. Dari jumlah itu, 100 hektar merupakan kebun sawit. Luas kebun ilegal yang harus direstorasi di sini nantinya sekitar 30.000 hektar,” terangnya.
Sementara di 2018, FKL telah merobohkan sawit dan kebun lainnya di Kabupaten Aceh Selatan dan Kota Subulussalam, untuk dihutankan kembali seluas 361 hektar. Ini termasuk sawit ilegal di Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
“Jika dihitung, jumlah sawit yang ditebang mencapai 265.320 batang. Dengan rincian, setiap satu hektar ditanami 120 pohon,” jelasnya.
Baca: Selamat Tinggal Sawit Ilegal di Suaka Margasatwa Rawa Singkil
Rudi menjelaskan, restorasi yang dilakukan FKL di Kawasan Ekosistem Leuser menggunakan strategi. Ada yang dikembali fungsinya menjadi hutan alami. Ada juga yang ditanami tumbuhan hutan dengan melibatkan masyarakat yang pastinya bermanfaat seperti durian, jengkol dan tanaman lain. Tentunya, selain kelapa sawit, karet, dan kakao.
“Lahan yang direstorasi ada yang merupakan sitaan masyarakat serta ganti rugi seperti yang dilakukan di Kota Subulussalam,” paparnya.
Baca: Jangan Ada Lagi Sawit di Taman Nasional Gunung Leuser
Ferdi Fajri, Supervisor Restorasi FKL kawasan hutan lindung di Lae atau Sungai Soraya, Kota Subulussalam mengatakan, restorasi di sekitar Sungai Alas-Singkil memang berbeda dengan daerah lain.
“Di sini kami bayar ganti rugi kebun masyarakat yang telah ditanami berbagai macam tanaman, termasuk sawit,” ujarnya.
Ferdi mengatakan, ganti rugi terpaksa dilakukan karena masyarakat telah memiliki tanah tersebut sebelum ditetapkan sebagai hutan lindung. Kawasan di sekitar Sungai Soraya atau Sungai Alas-Singkil baru ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor: 170/Kpts-II/2000.
“Mereka memiliki hutan turun temurun. Bahkan, ada yang menjadi permukiman, jadi tidak mungkin tanpa ganti rugi.”
Masyarakat Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Wak Ino menyambut baik restorasi. Pendapatannya mencapai Rp4.000.000 setiap bulan, melebihi upah yang diterima ketika bekerja di perkebunan sawit.
“Melalui kelompok tani, saya diberi kesempatan mengelola satu hektar hutan yang sebelumnya kebun sawit. Kebun itu saya tanam durian, jengkol, kemiri, dan tanaman hutan. Sambil menunggu pohon besar, saya menanam sayuran,” sebutnya.
Restorasi dengan melibatkan masyarakat merupakan langkah baik melindungi hutan Leuser. Dengan sendirinya, masyarakat yang mengelola kebun akan menjaga hutan. “Harus diingat, kami tidak anti-sawit. Kami anti-sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan,” tegas Rudi.
Kawasan Ekosistem Leuser merupakan hutan tropis seluas 2,6 juta hektar yang membentang di Provinsi Aceh (2,2 juta hektar) dan selebihnya di Sumatera Utara. Hutan kaya ragaman hayati ini merupakan kesatuan beberapa hutan yaitu taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, taman buru, hutan lindung, hutan produksi, dan areal penggunaan lain.