BMKG memprediksi El-Nino 2019, bakal terjadi level rendah sampai moderat. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah berkirim surat kepada para gubernur agar mengantisipasi dampak el-Nino, seperti kekeringan maupun kebakaran hutan dan lahan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi El- Nino akan terjadi tahun ini dalam tingkatan rendah hingga moderat. Prediksi ini diperkuat dari berbagai lembaga internasional seperti International Research Institute for Climate and Society (IRI)), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat dan Bureau of Meteorology (BON) Australia.
“Data dari update terakhir beberapa lembaga internasional di akhir Desember menyatakan, El-Nino terjadi di sepanjang Pasifik Ekuator akan berlangsung hingga Maret, April dan Mei,” kata Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, saat dihubungi Mongabay, akhir pekan lalu.
BMKG memperkirakan setelah Mei, katanya, Samudera Pasifik bagian tengah dan timur akan kembali ke status normal hingga El-Nino tahun ini tak akan separah 2015.
Menurut dia, hal membedakan dengan 2015, tahun ini belum diikuti atmosfir yang mendukung peningkatan El-Nino yang berdampak ke banyak wilayah. “Kondisi atmosfir masih relatif normal.”
Sejak 1960, hingga sekarang, katanya, terjadi delapan kali El-Nino dengan tingkat rendah hingga moderat. Belajar dari pengalaman serupa sebelumnya, katanya, El-Nino menyebabkan penurunan curah hujan di hampir sebagian besar Jawa, Sumatera bagian ekuator dan bagian selatan, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian barat, dan Papua sebelah barat.
“Ketika El-Nino seperti ini berlangsung, akumulasi curah hujan tinggi biasa Januari dan Februari, saat memasuki puncak hujan. Dengan kondisi ini, curah hujan sedikit berkurang. Kemarin Desember dan Januari ini hujan belum deras,” katanya.
Akhir Desember hingga Januari, katanya, belum terjadi penguatan curah hujan. Padahal, dalam kondisi iklim normal, Januari dan Februari, merupakan puncak hujan untuk sebagian besar wilayah Indonesia.
“Januari ini penurunan curah hujan cukup terasa di jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian timur dan Papua Barat.”
Siswanto mengatakan, El-Nino terjadi pada tingkat rendah hingga moderat karena ada penguatan monsoon Asia di wilayah Indonesia. Monsoon Asia ini, katanya, berasosiasi dengan musim hujan di sebagian besar Indonesia. El-Nino menyebabkan akumulasi hujan berkurang, sisi lain untuk sebagian besar Indonesia, sedang memasuki musim hujan.
Siswanto mengatakan, potensi kekeringan parah, rendah. Berbeda dengan El-Nino 2015, yang terjadi saat kemarau hingga tinggi dan menyebabkan kekeringan di berbagai wilayah.
“Hanya ada beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki iklim bertipe ekuatorial atau semi monsunal. Di daerah-daerah ini biasa dua kali puncak musim hujan, dua kali puncak kemarau, seperti di Riau, Sumatera bagian utara dan barat, sebagian Jambi, sebagian Sumatera bagian barat, juga Kalimantan bagian barat,” katanya.
Dia khawatir, El-Nino akan berdampak pada daerah-daerah bertipe ekuatorial yang bersamaan dengan penurunan musim hujan. Pada Februari, katanya, ketika mengalami penurunan curah hujan akibat tipe ekuatorial, El-Nino bisa menguatkan kondisi kurang hujan.
Minta pemerintah daerah tanggap
Siswanto berharap, pemerintah daerah bisa menindaklanjuti laporan perkembangan iklim BMKG setiap 10 hari sekali. Dengan laporan evaluasi sekaligus prediksi cuaca BMKG, dia berharap, para pemimpin daerah pada wilayah beriklim ekuatorial bisa mengambil kebijakan cermat.
“Kalau BMKG setiap bulan melaporkan perkembangan iklim dan musim ke semua pemda, kemudian di daerah-daerah juga ada stasiun klimatologi yang setiap saat meng-update informasi iklim per 10 hari ke pemda-pemda. Nah, pemda hendaknya memperhatikan serius,” katanya.
BMKG bersama Lapan juga memantau titik api kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kedua lembaga ini pakai satelit Aqua Terra dari NOAA dan terpantau setiap waktu.
Siswanto berharap, pemimpin daerah bisa menyandingkan laporan evaluasi, prediksi cuaca dan laporan titik api pantauan hingga bisa mengeluarkan kebijakan tepat, terutama penanggulangan karhutla.
“Kewaspadaan harus tetap dilakukan. Terutama bagi pemda sebagai pengambil kebijakan. Juga masyarakat umum perhatikan pembukaan lahan tak boleh membakar.”
Rahadi Prabowo, Deputi Bidang Klimatologi Mulyono mengatakan, terus memonitor perkembangan El-Nino. “Kita masih memonitor. BMKG belum bisa mengatakan kapan terjadi puncak.”
Meskipun El-Nino diprediksi rendah hingga moderat, katanya, ada potensi karhutla karena faktor cuaca bukan satu-satunya penentu.
“Aktiviats manusia sebetulnya lebih mendominasi untuk karhutla. Cuaca atau iklim salah satu faktor, bukan penentu.”
Menurut dia, lebih baik kalau langkah antisipasi karhutla lebih awal. Saat hujan seperti ini, masih kemungkinan menyimpan air hujan yang turun dengan membuat serapan air. Jadi, katanya, tak sibuk membuang air ke laut supaya tak banjir. Saat kemarau, katanya, tak sibuk mencari air untuk memadamkan api.
Penanganan karhutla
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengajak seluruh gubernur mengambil langkah-langkah tepat, dan melaporkan karhutla serta potensi kekeringan. Dia mengingatkan, karhutla ini terpantau langsung Presiden Joko Widodo, dan jadi perhatian dunia internasional. Siti sudah mengirimkan surat kepada para gubernur mengingatkan soal antisipasi karhutla.
“Kami ingatkan kepada gubernur untuk lebih mengintensifkan pengendalian karhutla, mengutamakan pencegahan melalui groundcheck hotspot, sosialisasi, patroli intensif, gerakkan posko, mengkoordinir potensi daerah, dan meningkatkan koordinasi para pihak,” katanya.
Awal 2019, karhutla mulai terjadi di beberapa daerah seperti Riau. Namun, kata Siti, bisa diatasi dengan baik berkat kerja keras semua pihak. Manggala Agni, TNI, Polri, pemda dibantu masyarakat terus menerus mencegah karhutla.
Maggala Agni, katanya, terus patroli dan sosialisasi kepada masyarakat di wilayah-wilayah rawan. Monitoring dan pengecekan titik panas terus dilakukan untuk mengantisipasi karhutla.
Raffles B. Panjaitan, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan, pencegahan tetap jadi prioritas penanganan karhutla. Keberhasilan pencegahan, katanya, diharapkan mampu mengurangi intensitas kebakaran.
“Respon cepat terhadap pantauan hotspot melalui groundcheck juga pemadaman dini akan mencegah kebakaran meluas berdampak asap,” kata Raffles.
Sementara itu, pantauan 9 Januari 2018 pukul 20.00 berdasarkan satelit NOAA, menunjukkan tidak ada titik api terpantau. Berdasarkan Terra Aqua tingkat kepercayaan 80% terpantau tiga titik di Sulawesi Utara.
Kondisi cukup panas, dan angin kencang, katanya, jadi pemicu karhutla seperti terjadi di Kabupaten Dumai, Riau. “Manggala Agni sigap pemadaman di areal terbakar agar api tidak meluas.”
Keterangan foto utama: Mencegah kebakaran dengan melestarikan hutan. Foto: Suryanto/Juara 2 Pers DETaK 2018