Pemberian izin pembangunan akses jalan masuk berupa jembatan sepanjang 7,6 kilometer ke area pulau reklamasi mendapat reaksi keras dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Izin yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu, dinilai tidak masuk akal dan sudah melanggar hukum karena belum ada perangkat hukum yang disiapkan oleh Anies.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengungkapkan, apa yang dilakukan Anies tersebut sama saja dengan melindungi proyek tersebut yang sebelumnya dinyatakan cacat secara hukum. Oleh itu, walaupun Gubernur mengaku tidak menyalahi aturan karena sedang menyiapkan perangkat hukum untuk melindungi pembangunan jembatan, tetapi itu hanya sekedar alasan saja.
“Izin untuk PT Jakarta Propertindo membangun jembatan, adalah kebijakan ngawur,” ucapnya pekan lalu.
baca : Penghentian Reklamasi Teluk Jakarta Harus Dikawal Masyarakat Pesisir
Walau sudah keluar izin untuk membangun jembatan selebar 3 km itu dari Gubernur, namun Susan Herawati masih mengaku heran dengan kebijakan yang sudah diterbitkan. Pasalnya, sejak Anies menghentikan pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta pada September 2018 lalu, banyak pihak yang berharap sang Gubernur bisa menghentikan secara total segala aktivitas yang ada di sana.
“Ini yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan, Anies mengklaim kebijakannya itu tidak menyalahi aturan hukum,” tuturnya.
Susan menambahkan, di saat pembangunan jembatan sudah dilegalkan, masyarakat masih menghadapi kenyataan bahwa izin seluruh pulau reklamasi yang ada di Teluk Jakarta yang berjumlah 17 pulau, hingga sekarang masih belum jelas statusnya. Bahkan, ada pulau yang masih berstatus mendapatkan izin untuk meneruskan pembangunan.
Padahal, Susan menyebutkan, sudah jelas bahwa hingga saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih belum memiliki Peraturan Daerah tentang Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang menjadi amanah dari UU No.1/2014 tentang Revisi UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Dengan adanya perda, itu bisa mengatur ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” katanya.
baca juga : Inilah Permasalahan di Darat dan Laut dalam Reklamasi Jakarta
Perda RZWP3K
Demikian juga dengan DKI Jakarta, menurut Susan, jika sudah punya Perda RZWP3K, maka pengaturan ruang menjadi lebih baik lagi di DKI Jakarta. Dengan Perda tersebut, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak akan lagi bisa dijadikan privat dan sekaligus akses masyarakat terhadap tersebut akan lebih terbuka.
Melihat fakta tersebut, Susan menyarankan kepada Gubernur untuk mempertimbangkan kembali segala kebijakan yang berkaitan dengan pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Selanjutnya, Gubernur harus segera menyelesaikan dan mengesahkan Perda RZWP3K, mengingat itu sudah menjadi kebutuhan mendesak dan bisa mengubah penataan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Seharusnya Anies memprioritaskan Pengesahan Perda Zonasi karena aturan ini mendesak dan dibutuhkan untuk mengatur ruang pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi DKI Jakarta supaya tidak dikuasai oleh perorangan dan menyingkirkan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Jika bukan dengan Perda Zonasi, lalu payung hukumnya apa?” tanya Susan.
Jika tetap dibiarkan pembangunan jembatan akses ke pulau reklamasi, menurut Susan, Gubernur sedang mempertontonkan kepada publik tentang keberpihakannya kepada pengembang yang ada di pulau reklamasi. Dengan fakta itu juga, Gubernur tanpa sadar sedang mempertontonkan pengabaian kepada 25 ribu nelayan yang ada di kawasan pesisir DKI Jakarta.
Melihat persoalan yang terjadi sekarang, Susan mengatakan bahwa seharusnya Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan kompromi terhadap pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta. Terlebih, mega proyek yang sudah berhenti itu sudah terbukti menghancurkan keberlanjutan lingkungan hidup dan sekaligus kehidupan sosial ekonomi nelayan dan masyarakat yang tinggal di Teluk Jakarta dan sekitarnya.
“Dengan membatalkan izin 13 pulau reklamasi dan mengizinkan empat pulau reklamasi, serta membangun jalan menuju pulau reklamasi, Anies sebenarnya sedang mengkhianati janji politiknya saat kampanye untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dahulu,” tegas dia.
Kesalahan mengambil langkah dan kebijakan yang berkaitan dengan kawasan pesisir, menurut Susan, ada kaitannya juga dengan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang membidangi urusan pesisir. Kehadiran tim tersebut, dinilai sudah tidak memiliki kontribusi yang signifikan dalam menyelesaikan reklamasi di Teluk Jakarta.
“Keberadaan TGUPP bidang pesisir yang dibentuk oleh Gubernur DKI ini gagal membaca akar masalah reklamasi. Seharusnya, kajian-kajian lembaga ini mendorong pencabutan izin seluruh pulau reklamasi. Faktanya, tidak demikian,” pungkasnya.
baca juga : Pemerintah Langgar Hukum Lagi dalam Proyek Reklamasi Teluk Jakarta?
Bagi Susan dan KIARA, penghentian izin 13 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, seharusnya dijadikan momen bagi Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan restorasi atau pemulihan kawasan tersebut, bukan justru dijadikan momen untuk melanjutkan pembangunan. Restorasi harus dilakukan, karena kawasan tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama sudah mengalami pencemaran yang sangat serius.
“Restorasi Teluk Jakarta harus ditempatkan dalam agenda pembangunan jangka panjang karena kawasan ini telah mengalami kerusakan yang sangat serius,” ungkapnya.
Agar pelaksanaan restorasi bisa berjalan dengan benar, Susan meminta seluruh nelayan dan masyarakat pesisir yang ada di Indonesia, khususnya di Teluk Jakarta bisa mengawal dan terlibat langsung dalam prosesnya. Dengan kata lain, dia meminta masyarakat dan nelayan tidak hanya sekedar melihat saja proses pemulihan ekosistem di Teluk Jakarta.
Restorasi Ekosistem
Susan menerangkan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010, nelayan dan seluruh masyarakat pesisir memiliki hak untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan. Dengan pertimbangan tersebut, segala perencanaan dan implementasi restorasi Teluk Jakarta harus menempatkan nelayan sebagai pemain utama dan bukan sebaliknya.
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi KIARA pada 2017, Teluk Jakarta terbukti masih mampu memberikan memberikan kontribusi perikanan meskipun dirusak oleh proyek reklamasi. KIARA mencatat, sejak 2010 Teluk Jakarta memproduksi perikanan tangkap sebanyak 172.422 ton. Angka ini terus mengalami kenaikan secara dinamis.
“Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa Teluk Jakarta adalah kawasan perikanan yang produktif. Jika kawasan ini dipulihkan, maka tak menutup kemungkinan akan menjadi produsen utama perikanan tangkap di Indonesia,” ucap dia.
Merujuk pada fakta di atas, untuk bisa mengembalikan fungsi Teluk Jakarta sebagai kawasan produktif perikanan tangkap yang bisa memberikan suplai perikanan untuk masyarakat di DKI Jakarta dan sekitarnya, Susan menilai perlu dilakuan restorasi yang berkesinambungan. Dengan dilaksanakan restorasi secara konsisten, itu akan mengembalikan Teluk Jakarta menjadi kawasan penting perikanan di Indonesia.
“Tetapi, nelayan harus jadi pemain utama. Jika itu terjadi, maka pasokan ikan untuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tidak akan lagi sulit,” tuturnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta Tubagus Soleh Ismail sebelumnya juga mengkritik kebijakan penghentian reklamasi yang sudah dilakukan Gubernur DKI Jakarta. Menurut dia, dari 17 pulau yang ada di Teluk Jakarta, Anies Baswedan seharusnya menghentikan selurunya dan bukan hanya 13 pulau saja. Hal itu, karena seluruh pulau buatan itu dari awal sudah cacat secara hukum.
“Selain 13 pulau, empat pulau lainnya juga sudah berdampak sosial yang negatif kepada masyarat sekitarnya, karena mereka sudah kehilangan mata pencaharian,” ucapnya.
Selain mencabut izin dan menghentikan operasional 4 pulau tersisa, Tubagus menyebutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak terkait lainnya harus juga memikirkan bagaimana nasib keempat pulau tersebut yang saat ini sudah selesai pembangunannya. Kata dia, harus dipikirkan bagaimana pemanfaatan yang tepat dengan dilakukan kajian lebih dulu secara mendalam dan komprehensif.
“Swasta juga harus terlibat dalam pengelolaannya nanti, baik jadi ruang publik atau pun ruang terbuka hijau. Yang penting pemanfaatannya harus dirasakan oleh nelayan dan ekosistem sekitar. Itu perlu keberanian dari Pemerintah,” tegasnya.
Pembangunan Jalan Penghubung
Dikutip dari Jawa Pos, pada medio 2018 lalu, sejumlah nelayan yang ada di Kesambi, Tangerang, melaporkan adanya pembangunan jembatan penghubung dari daratan DKI Jakarta menuju pulau buatan reklamasi di muara sungai Dadap. Saat itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menerima laporan, berjanji akan menghentikan pembangunan tersebut.
Akan tetapi, berselang lima bulan kemudian, janji Anies untuk menghentikan pembangunan jembatan, tidak juga kunjung dilakukan. Yang ada, justru Anies melaksanakan peletakan batu pertama untuk pembangunan jalan penghubung menuju Pulau D yang sudah berganti nama menjadi Pantai Maju di Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Anies yang hadir pada seremonial yang digelar pada Minggu (23/12/2018) itu, menyatakan bahwa jalan penghubung tersebut nantinya tak hanya akan menghubungkan Pantai Maju saja, namun juga akan terhubung dengan Pantai Kita yang tidak lain adalah pulau C. Pembangunan tersebut, menjadi tanggung jawab penuh PT Jakarta Propertindo (Jakpro), salah satu badan usaha milik daerah (BUMD) Provinsi DKI Jakarta.
Kepada media, Anies dengan lantang mengatakan bahwa pembangunan jalan penghubung tersebut tidak menyalahi aturan, meski Perda RZWP3K DKI Jakarta belum ada. Sebagai gantinya, dia sudah menyiapkan aturan pengganti untuk melindungi keabsahan pekerjaan fisik tersebut. Cara tersebut dilakukan, karena dia ingin fasilitas yang ada di pulau reklamasi bisa diakses oleh masyarakat secara gratis.
Adapun, peraturan pengganti yang dimaksud Anies, tidak lain adalah Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 120 Tahun 2018 tentang Penugasan kepada PT Jakarta Propertindo dalam Pengelolaan Tanah Reklamasi Pantai Utara Jakart. Di dalam pergub, Pemprov menugaskan PT Jakpro untuk mengelola tiga pulau reklamasi, yaitu Pulau C, Pulau D, dan Pulau G.