- Pemprov Sulut menargetkan menjadi provinsi pusat ekspor tuna nasional karena potensinya yang tinggi. Oleh karena itu perlu dibenahi regulasi, infrastruktur dan sinergitas antar stakeholder
- KKP menduga penyebab kelangkaan ikan tuna di Sulawesi Utara karena ekspor illegal ke General Santos, Filipina. Oleh karena itu KKP meminta penegakan hukum dan administrasi log perikanan
- Kalangan industri tuna di Sulut meminta pemerintah mengatasi harga ekspor kargo yang tinggi. Selain itu, pihaknya akan meningkatkan kualitas SDM pengelola perikanan dan komitmen perikanan tangkap yang berkelanjutan
- Data BPS pada 2018, jumlah ekspor produk tuna, tongkol dan cakalang dari Sulut mencapai 21,5juta kg, dengan pendapatan sekitar USD129juta. Sebanyak 8,9juta kg produk tuna diantaranya diekspor, dengan pendapatan sebesar USD71,9 juta.
***
Berlimpahnya sumberdaya perikanan, khususnya tuna, dapat memberi keuntungan ekonomi bagi masyarakat di Sulawesi Utara (Sulut). Meski demikian, untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah dinilai perlu membenahi regulasi, memperkuat infrastruktur dan sinergitas antar stakeholder.
Salah satu regulasi yang dianggap perlu segera mendapat perbaikan adalah cukai dan kepabeanan. Steven Kandouw, Wakil Gubernur Sulut mengatakan, selama ini barang-barang yang bisa diekspor dari pelabuhan di Sulut relatif terbatas.
“Sehingga kami berjuang, mulai tahun ini sudah ada Kanwil Bea Cukai di sini. Januari ini, semua barang bisa diekspor melalui pelabuhan di Sulawesi Utara,” terangnya dalam seminar bertema ‘Menjadikan Sulawesi Utara sebagai Provinsi Tuna’, di kantor Gubernur Sulut, Manado, Jumat (25/1/2019).
baca : Ikan Tuna, Mahal dan Primadona Ekspor

Selain itu, dia memandang pentingnya pembagian cluster untuk memudahkan dan memaksimalkan distribusi produk perikanan nasional. Misalnya, Bali sebagai clusterselatan, Medan barat dan Bitung untuk ekspor ke bagian utara pasifik.
“Logikanya, pengangkutan hasil perikanan dari Bitung ke negara-negara pasifik bagian utara, dibanding dari Bali, bedanya bisa 2 hingga 3 hari. Dulu industri perikanan kita konyol, tuna umpamanya, sebelum diekspor berangkat dulu (dari Bitung) ke Bali lalu ke Jepang,” ujar Steven.
Tantangan lain yang harus dibenahi adalah terkait masalah sarana dan prasarana. Coldstorage dinilai belum mendapat dukungan tenaga listrik yang memadai, ditambah persoalan disparitas harga Bahan Bakar Minyak (BBM). “Sulut itu ada tiga kabupaten gudang ikan. Potensinya luar biasa, tapi sarana jauh panggang dari api,” lanjutnya.
“Kemudian, terkait penetrasi bantuan kapal dari pemerintah pusat, jangan dibuat tersentralisasi karena tiap daerah punya karakter dan spesifikasi kapal. Selama ini semua kapal bantuan dari pusat (seragam), sehingga (nelayan) tidak biasa, tidak tahu, dalam pengoperasiannya.”
Dia berharap, ke depannya sinkronisasi terkait perizinan dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten tidak tumpang tindih. Selain itu, seluruh stakeholder juga diminta untuk memperhatikan kebutuhan dan parameter regulasi internasional.
“Potensi perikanan sudah ada, tinggal di-discover. Tinggal semangat kita untuk menjadikan Sulut sebagai provinsi tuna,” tambahnya.
baca juga : Perlukah Indonesia Jadi Pengekspor Tuna Terbesar Dunia?

Pada kesempatan yang sama, Frits Lesnussa, Direktur Pelabuhan Perikanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan untuk menjaga keberlanjutan produksi perikanan tangkap dan menghindari kelangkaan bahan baku, pemerintah daerah perlu melakukan pendataan keluar masuknya kapal.
Sebab, ketika bertugas di Bitung pada kurun 2013-2016, dia pernah mendapat informasi dari pekerja perikanan bahwa, ketika mencari ikan di bagian utara, mereka sering menurunkan ikan di General Santos, Filipina.
Pengakuan tadi, disimpulkan sebagai penyebab kelangkaan bahan baku produk perikanan tuna di Sulut. Atas dugaan tersebut, pihaknya mengambil kebijakan, kapal pamboat tidak boleh mencari ikan lebih dari 1 bulan.
“Kita perlu memastikan tanggal keluar dan masuk kapal, termasuk bahan bakarnya. Kalau lewat dari itu, ditegur kemudian bisa juga bekukan izin. Dengan melakukan pendataan, kita bisa mengatur penangkapan di WPP 715 (perairan Teluk Tomini, laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau) jangan sampai terjadi overfishing,” katanya.
menarik dibaca : Bagaimana Praktik Perusahaan Pengolahan Tuna di Indonesia Sekarang?

Potensi dan Tantangan Industri Tuna
Dari sisi industri, pelaku usaha meyakini permintaan produk perikanan tuna mengalami peningkatan di sejumlah negara. Bahkan, selain Jepang, negara yang menjadi 90% tujuan ekspor sashimi, permintaan ekspor bertambah di negara-negara semisal Australia, Korea dan Cina. Selain sashimi, ikan kaleng disebut-sebut sebagai produk utama penggerak tuna di dunia.
“Banyak yang mengatakan pasar dunia untuk ikan kaleng sedang menurun, jadi tinggalkan pengalengan. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Ada penurunan konsumsi negara-negara bagian barat tapi itu tidak terjadi di timur-tengah dan negara bagian asia, termasuk Indonesia,” terang Abrizal Ang dari PT. Samudra Mandiri Sentosa.
Sebagai daerah yang memiliki potensi tuna yang berlimpah, lanjutnya, pemerintah pusat maupun daerah perlu mengoptimalkan peluang itu, termasuk menjadikan Sulut sebagai provinsi tuna.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018, jumlah ekspor produk tuna, tongkol dan cakalang dari Sulut mencapai angka 21,5juta kg, dengan total pemasukan sekitar USD129juta. Dari jumlah tersebut, 8,9juta kg produk tuna yang diekspor pada 2018, memberi kontribusi pendapatan sebesar USD71,9 juta.
“Kemampuan suplai kita, 16% produksi perikanan tuna itu dari Indonesia, 15%-nya sempat dari Sulut. Kalau cuaca tidak buruk, tuna di Indonesia ini melimpah. Tidak ada setopnya,” kata Abrizal.
Hanya saja, untuk menggapai visi tersebut, pemerintah diharap lebih berpihak pada keberlanjutan industri perikanan di daerah. Sebab, dalam beberapa tahun belakangan, regulasi yang diterbitkan pemerintah dituding menjadi biang penutupan pabrik dan PHK besar-besaran di Bitung.
“Bukan karena illegal fishing saja, tapi karena regulasi yang terkadang hanya berdasarkan indikasi dan kecurigaan. Kalau 1 tahun kami investasi besar-besaran, tapi tahun berikutnya enggak boleh jalan, tidak ada (investor) yang bakal masuk ke daerah kita,” keluhnya.
perlu dibaca : Benarkah Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia Ungguli Negara Pesaing?

Selain itu, naiknya harga kargo menjadi mimpi buruk yang dirasakan pelaku usaha perikanan belakangan ini. Kenaikan dari Rp28.ribu/kg, menjadi Rp60ribu/kg. Karenanya, pemerintah diharap mengintervensi permasalahan ini, untuk menjaga keberlanjutan bisnis industri perikanan.
“Beli (ikan) dari nelayan Rp.30ribu, dipotong-potong, sisanya Rp.60ribu untuk kirim 1Kg, ditambah Rp.60ribu jadi Rp.120ribu. Angka itu sama dengan harga sashimi di Jepang. Ikan baru sampai di Jakarta sudah Rp.120ribu, enggak bisa jalan. Bagaimana kirim ikan tuna ke luar?”
Oleh karena itu dia meminta kepada pemerintah untuk mengatasi masalah ekspor pengiriman tuna, misalnya dengan mengadakan pesawat kargo khusus langsung ke Jepang agar harga tuna bisa kompetitif.
Selain itu, untuk menjadikan Sulut sebagai provinsi tuna, pelaku usaha harus terus berupaya meningkatkan sumber daya manusia, serta mengupayakan keberlanjutan ekologi dan bisnis.
“Sulut sudah banyak potensi untuk kontrol kualitas dan produksi. Kita hanya perlu meningkatkan efisiensi untuk menurunkan ongkos produksi supaya harga ikan dari nelayan bisa naik lebih tinggi lagi.”
“Kami juga harus memikirkan keberlanjutan ekologi dan bisnis. Kalau hanya memikirkan 1 tahun ke depan, tidak bisa jalan. Harus melihat 10 hingga 20 tahun untuk meningkatkan produksi dan menjaga ladang kami,” tambah Abrizal.
baca juga : Ternyata, Industri Pengalengan Ikan Tuna di Indonesia Masih Buruk

Sedangkan Frangky Manumpil, ketua Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Sulut menyatakan, produk perikanan tuna menjadi salah satu penggerak ekonomi daerah, bahkan ketika produk di sektor perkebunan sedang terpuruk.
Karenanya, dengan melibatkan pelaku usaha perikanan, asosiasi nelayan dan masyarakat pesisir, Iskindo Sulut berkomitmen mendukung pemerintah untuk mengoptimalkan produk-produk turunan tuna.
“Kami akan membantu lewat workshop, sosialisasi juga kajian-kajian tentang sebaran tuna di Sulut. Termasuk, kalau sudah jadi provinsi tuna, harus ada laboratorium yang berguna untuk ekspor sebagai quality control. Agar, ketika tuna diekspor kualitasnya bagus,” pungkas Frangky.