- Gubernur NTT mewacanakan penutupan Taman Nasional (TN) Komodo dengan tujuan merevitalisasi dan memulihkan ekosistem Pulau Komodo demi keberlanjutan populasi Komodo.
- Rencana penutupan itu diwacanakan pasca kematian seekor Komodo pada 2018.
- Wacana penutupan TN Komodo menjadi polemik karena bakal berdampak pada perekonomian masyarakat setempat yang bergantung pada sektor pariwisata TN Komodo.
- KLHK menjelaskan pengelolaan TN Komodo merupakan kewenangan KLHK termasuk penutupannya berdasarkan alasan dan penelitian ilmiah.
***
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat mewacanakan penutupan Taman Nasional (TN) Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Flores. Untuk itu, pihaknya masih berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
TN Komodo ditutup, katanya, untuk merevitalisasi Pulau Komodo sehingga ekosistem akan pulih dan rantai makanan seperti kerbau dan rusa tersedia. Kedua hewan ini menjadi makanan bagi Komodo (Varanus komodoensis) yang ada di pulau tersebut.
Untuk itu, Pemprov NTT pun akan mengalokasikan dana Rp.100 miliar untuk melakukan berbagai pembenahan bila disetujui pemerintah pusat. “Kalau disetujui maka kami langsung anggarkan Rp.100 miliar untuk revitalisasi. Kami akan lakukan penutupan sehingga wisatawan tidak sembarangan masuk,” sebut Viktor kepada wartawan, di Kupang, Selasa (22/1/2019).
Viktor juga mengeluhkan kewenangan pengelolaan TN Komodo yang berada pada pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah kurang berperan.
baca : Satwa Rumahan, Komodo Tidak Ingin Hidup Selain di Indonesia
Mengenai penutupan TN Komodo, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi menjelaskan perlunya dipahaminya perbedaan pendekatan konservasi dengan pariwisata.
Dari pendekatan konservasi, kata Josef, seluruh dunia mengharapkan agar hewan purbakala Komodo sesuai kondisi aslinya. Seperti tidak memakan anaknya, sehingga pasokan makanan atau rantai makanannya harus cukup mendukung hidupnya.
“Daerah habitat Komodo itu menjadi daerah hutan sehingga wisatawan yang berkunjung dan melihatnya akan kagum. Jadi bukan komodo bersahabat dengan manusia. Sebab bila bersahabat dengan manusia maka sama saja dengan binatang yang ada di kebun binatang,” tegasnya kepada Mongabay-Indonesia, Kamis (24/1/2019).
Terkait pariwisata, Josef menyatakan, pendekatan konservasi Komodo akan menurunkan jumlah wisatawan yang datang. Tapi dengan penutupan sementara TN Komodo, bakal menyeleksi wisatawan secara kuantitatif demi pariwisata yang berbasis konservasi.
“Daripada sekarang dibiarkan dan komodonya tidak berkembang dan punah,” tambahnya.
baca juga : KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?
Josef menduga ada pihak yang melarang konservasi dengan maksud memusnahkan komodo secara perlahan. Oleh karena itu, Josef menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk tentang lama masa penutupan TN Komodo.
“Kami saat ini sedang melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Karena (TN Komodo) lokasinya berada di NTT maka kami menjelaskan seutuhnya dan komprehensif kepada Menteri LHK terkait maksud dan tujuan penutupan ini,” jelasnya.
Penutupannya, kata Josef, dilakukan tergantung hasil penelitian para ahli, termasuk hasil pendataan populasi Komodo.
baca juga : Antara Konservasi dan Pengembangan Wisata di Komodo
Berbasis Kajian
Ketua Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) Rafael Todowela kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (23/1/2019) menegaskan agar Gubernur NTT memiliki kajian terlebih dahulu sebelum menyampaikan wacana penutupan TN Komodo, karena bakal berdampak ekonomi pada masyarakat Labuan Bajo dan Flores yang menggantungkan hidupanya dari pariwisata.
“Bila belum ada kajian dan penelitian maka jangan membuat suatu kegaduhan dan ketegangan dari pelaku pariwisata terhadap pemerintah provinsi NTT. Gubernur juga belum memiliki data lengkap apakah Komodo mati karena rantai makanannya terputus. Ataukah karena adanya aktifitas manusia atau mati dengan sendirinya,” tuturnya.
Wisatawan yang berkunjung ke pulau Komodo, tegas Rafael, hanya untuk melihat Komodo. Wisatawan tidak mengganggu, mengusir, memburu atau berfoto dengan komodo sehingga pernyataan gubernur tidak mendasar.
Bila memang makanan komodo berkurang, solusinya dengan melepasliarkan rusa, kambing atau kerbau di pulau Komodo, bukan menutup pulau itu.
Perburuan rusa yang sering dilakukan di TN Komodo, katanya, dilakukan oleh masyarakat dari Bima provinsi NTB. Rafael menyarankan Gubernur NTT perlu minta kepada Menteri LHK agar mengalokasikan dana tambahan untuk menambah petugas patroli di kawasan TN Komodo.
menarik dibaca : Menyongsong Wisata. Berapa Daya Dukung Lingkungan Maksimal TN Komodo?
Sementara Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Paranggi penutupan demi perlindungan ekosistem di TN Komodo bukanlah satu-satunya solusi.“Harusnya ada tindakan tegas terhadap orang-orang yang ingin menghancurkan mata rantai makanan komodo seperti rusa,” jelasnya.
Umbu meminta Gubernur NTT untuk lebih komprehensif dalam mewacanakan penutupan karena bakal mempengaruhi perekonomian masyarakat setempat yang bergantung dari sektor pariwisata.
Jangan sampai penutupan tersebut hanya terkait dengan bisnis pembangun rest area dan fasilitas lainnya di pulau-pulau dalam kawasan TN Komodo. Publik pun harus dilibatkan dalam penutupan ini agar bisa mengawasinya.
“Ini penting agar jangan sampai terjadi privatisasi pulau-pulau di dalam kawasan TN Komodo. Selama penutupan ini masuk akal dan demi kepentingan banyak orang maka tidak soal,” tambahnya.
baca juga : Masyarakat Tolak Pembangunan Rest Area di Kawasan TN Komodo, Apa Alasannya?
Penutupan TN
TN Komodo merupakan salah satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia dengan luas 173.300 Ha yang terdiri dari 132.572 ha kawasan perairan dan 40.728 ha kawasan daratan. Selain itu, pada 2008, TN Komodo juga ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional, dan pada 2011 ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.
Pada tahun 1977, TN Komodo ditetapkan UNESCO sebagai kawasan Cagar Biosfer (Man and Biosphere Programme) dan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Center) pada tahun 1991. Selain itu, ditetapkan sebagai New 7 Wonders of Nature oleh New 7 Wonders Foundation pada tahun 2012.
baca : Taman Nasional Pulau Komodo: The New 7 Wonders!
Keberadaan sebuah Taman Nasional seperti TN Komodo diatur UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE), UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP No.28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Juga didalam Perpres No.16/2015 tentang KLHK, Permen LHK No.P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja KLHK, Permen KLHK No.P.7/MENLHK/SETJEN/OTL.0/1/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.
“Semuanya mengamanatkan pengelolaan taman nasional kepada balai besar/balai setingkat Eselon II atau III di bawah Direktorat Jenderal KSDAE KLHK,” jelas Dirjen KSDAE KLHK, Wiratno dalam siaran pers KLHK, Selasa (23/1/2019).
Wiratno menjelaskan, penutupan suatu taman nasional dimungkinkan dengan pertimbangan ilmiah atau atas kondisi khusus, misalnya terjadi erupsi gunung berapi, kondisi cuaca ekstrim sehingga pendakian ditutup sementara seperti di TN Gunung Rinjani, TN Gunung Merapi, TN Bromo Tengger Semeru.
Selain itu, bila terjadi kerusakan habitat atau gangguan terhadap satwa liar yang dilindungi akibat dari aktivitas pengunjung, bencana alam dan mewabahnya hama dan penyakit seperti di TN Way Kambas.
“Penutupan kawasan taman nasional menjadi kewenangan Direktorat Jenderal KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tegas Wiratno.
baca juga : Komodo Ditangkap Warga Bari dan Hendak Dibunuh. Apa Penyebabnya?
Ada Habitat Lain
Lebih jauh Wiratno menjelaskan berdasarkan monitoring Balai TN Komodo dan Komodo Survival Programme, pada tahun 2017, jumlah populasi komodo sebanyak 2.762 ekor.
Jumlah itu tersebar di Pulau Rinca sebanyak 1.410 ekor, Pulau Komodo 1.226 ekor, Pulau Padar 2 ekor, Pulau Gili Motang sebanyak 54, Pulau Nusa Kode berjumlah 70 ekor. Sedangkan populasi rusa sebanyak 3.900 ekor dan kerbau sebanyak 200 ekor.
Pada tahun 2018, ditemukan seekor komodo mati secara alamiah karena usia. Juga masih ditemukannya perburuan rusa, yang pada umumnya dilakukan oleh oknum masyarakat kabupaten Bima menjadi ancaman bagi komodo.
Kejadian perburuan rusa pada tahun 2018 telah ditangani secara hukum oleh pihak Polres Bima. Program pengembangbiakan rusa telah dilakukan di Kecamatan Sape Kabupaten Bima, untuk mengurangi perburuan rusa di TN Komodo.
Sementara Wakil Gubernur NTT mengatakan selama ini masyarakat hanya mengetahui Komodo ada di Labuan Bajo, padahal juga terdapat di Riung Ngada dan Manggarai Timur. Sehingga Pemprov NTT, bakal membenahi semua tempat keberadaan Komodo, tidak hanya di kawasan TN Komodo bila dilakukan penutupan.
“Sementara Pulau Komodo ditutup, masih banyak tempat wisatawan bisa melihat Komodo seperti di Pulau Rinca, Riung dan lainnya,” pungkasnya.
baca juga : Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Ditetapkan Presiden, Apa yang Harus Dibenahi?
***
Keterangan foto utama : Seekor komodo di Pulau Komodo dalam kawasan TN Komodo. Foto : indonesia.travel/Mongabay Indonesia