Mongabay.co.id

Yu Sing: Arsitek Harus Peka Lingkungan

Yu Sing, arsitek yang membangun dengan ramah lingkungan dan membantu semua kalangan, terutama yang tak mampu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Ketika duduk di bangku SMA, Yu Sing, mendapat informasi soal arsitektur dari para alumni sekolah. Lantaran tak suka menghafal, berbekal sedikit kemampuan menggambar, meskipun hasil psikotest kemampuan bayang ruang atau perspektif rendah, dia putuskan kuliah arsitektur di Institut Teknik Bandung.

Setahun kuliah, dia merasa stres, nilai gambar perspektif dasar jelek, dan tiap malam begadang mengerjakan tugas.

Pada 1999, dia lulus kuliah. Jiwa sosial tumbuh, ketika ketimpangan jasa arsitektur hanya dimonopoli orang kaya, kalangan menengah ke bawah tak terjamah. Yu Sing, membongkar stigma itu.

Dia putuskan jadi arsitek nonelitis alias untuk semua kalangan. Dia mengidolakan sosok Yusuf Bilyarta Mangunwijaya di Yogyakarta, dikenal Romo Mangun. Sosok yang mengubah perumahan miskin di Bantaran Kali Code jadi indah. Tak hanya peduli lingkungan, Romo Mangun disebut arsitek peduli kemanusiaan.

Yu Sing, mulai semua dari rumah pribadinya di Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kecil, murah dan ramah lingkungan. Rumah karya Yu Sing, berkonsep ramah lingkungan, ruang terbuka hijau, dan memiliki resapan air. Konsep mulai dari atap, agar menampung air hujan, lalu disaring sederhana hingga dapat terpakai lagi.

Yu Sing, bilang, konsep rumah ramah lingkungan bisa murah dengan menyiasati arah bangunan untuk mendapatkan cahaya dan udara alami. Dengan memperbanyak tanaman dan memanfaatkan material bekas.

Yu Sing, juga berikan jasa desain arsitek gratis bagi masyarakat tak mampu. Saya bertemu Yu Sing, di Anomali Working Space, di Sleman, Yogyakarta, Minggu (27/1/19), dan berbincang-bincang tentang arsitek bertalian dengan mitigasi bencana, perubahan iklim, persoalan tata ruang dan hal lain. Berikut petikan wawancaranya:

 

Mengapa pilih jadi arsitek?

Pendidikan kita tidak mengajari dan mengajak anak mengenali kemampuan diri sendiri, dari sosialisasi alumni SMA tentang jurusan arsitek lebih banyak di studio, gambar, makan, tak perlu menghafal. Karakter saya pragmatis dan sekadar suka menggambar hingga pilih jurusan arsitek di ITB pada 1994. Awal-awal kuliah stres, sulit mata kuliah gambar perspektif. Gambar tidak bagus, harus dipaksakan selesai karena tuntutan tugas kuliah.

 

Mengapa sebagai arsitek peduli mengaitkan dengan konsep lingkungan?

Berawal pada kesadaran perubahan iklim, semua jurusan dikenalkan pengetahuan itu, bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan suhu di bumi. Pada 2008, berkomitmen membantu desain rumah murah, itu kebutuhan dasar, mereka yang kurang mampu kurang terlayani, dalam konteks ikut menghambat laju perubahan iklim, kalau mempraktikan hanya orang mampu, tak ada dampak.

Hidup green atau hijau itu mahal, beli sensor, solar cell, pendingin ruangan ramah lingkungan dan lain-lain.

Agar menjangkau lebih luas, diadaptasi aristektur ramah lingkungan yang murah. Banyak orang bisa mempraktikan arsitektur alami, hemat struktur, dan gunakan bahan material bekas.

 

 

Konsep bangunan dengan berkeliling hutan (ada proses penanaman pohon hingga membentuk hutan). Foto: dari blog YU Sing

 

 

Desain apa lagi selain rumah ramah lingkungan?

(Desain) rumah murah mulai 2007, belajar social housing tahun 2009, dan kampung kota ramah lingkungan tahun 2010, dari banyak hal keterbatasan, keterbatasan ruang dan anggaran.

 

Mengapa Anda tertarik juga bergerak di perumahan rakyat?

Sejak awal misi Studio Akanoma, studio kami, pengupayakan arsitektur untuk semua kalangan, khusus masyarakat kurang mampu, masyarakat kampung dan lain-lain. Arsitektur merespon dan membantu cari solusi persoalan hunian di masyarakat, ide yang kita tawarkan memang belum dilaksanakan, tanggapan pemerintah bagus tetapi pelaksannan belum. Alasan pendanaan, sulit, intinya, masih banyak kendala.

 

Apa kriteria dan pamameter rumah ramah lingkungan?

Parameternya sering diukur dari energi. Artinya, green itu menghemat energi, mengurangi energi yang dipakai, kalau rumah 100% energi baru, dengan pakai 60% bisa dikatakan green. Standar green dunia tertinggi sertifikasi 45%, tak harus melebihi 50%.

Intinya, mempraktikan apapun dengan tujuan mengurangi energi, seperti pakai material bekas, kalau bekas tapi impor ada energi lain yang dipakai dan dihabiskan dari transportasi, tentu tidak green. Jika pakai energi listrik, apa jenis lampu yang dipakai, LED, halogen atau pijar.

Bagaimana bangunan menghemat atau memperpanjang siklus penggunaan air hingga dipakai berulang ulang, efisiensi ruang dan struktur. Wujud dan bentuk bangunan bisa apa saja.

 

 Bagaimana Anda melihat arsitektur ramah lingkungan di Indonesia?

Ada Green Building Council Indonesia, mereka memberikan sertifikasi bangunan hijau, merekomendasikan agar bangunan memenuhi kaidah green, walau belum jadi regulasi ketat. Di Singapura, setiap bangunan baru wajib bersertifikasi green, sebagai syarat dapat izin mendirikan bangunan. Singapura, salah satu negara di dunia dengan bangunan tersertifikasi green dibanding negara lain, Indonesia masih jauh. Banyak rumah di Indonesia, tidak bersertifikasi green, tetapi ramah lingkungan.

Analoginya, orang mengendarai kendaraan, belum tentu punya surat izin mengemudi. Begitu pula kondisi rumah ramah lingkungan, banyak tetapi belum tidak tersertifikasi, karena bayar dan mahal.

Untuk kesadaran bangunan ramah lingkungan makin banyak di kalangan arsitek, namun harus diukur, berapa persen teraplikasi, berapa persen energi dihemat.

 

Contoh, konsep restoran ramah lingkungan Yu Sing. Foto: dari blog Yu Sing

 

 

Indonesia daerah rawan bencana, bagaimana konsep bangunan tanggap bencana?

Desain bangunan tanggap bencana dapat mengadopsi dan memelihara kearifan budaya lokal. Rumah tradisional yang berbahan kayu, contoh, cocok untuk wilayah rawan gempa. Masyarakat secara tradisi telah menyesuaikan bahan bangunan dengan kondisi tempat tinggal mereka. Di daerah sering gempa, mereka membuat bangunan bermaterial alam yang fleksibel terhadap guncangan.

Di samping kesesuaian desain dengan kerawanan bencana di wilayah itu, rumah tradisional seringkali dibangun di posisi lebih tepat. Rumah tidak berdiri di tempat yang akan terkena banjir. Kalau akan terkena banjir, masyarakat akan membuat tiang tinggi atau bangunan terapung.

Arsitektur tanggap bencana sangat bergantung pada jenis bencana yang harus disikapi. Dengan memerhatikan aspek itu, rumah relatif mampu bertahan atau kalaupun rusak tak sampai menewaskan orang yang tinggal di dalamnya saat bencana menerpa.

Arsitektur tradisional sesungguhnya mencerminkan cara warga membangun rumah dalam upaya menyikapi serta hidup bersama-sama dengan alam. Warga awalnya memang sudah beradaptasi pada keadaan alam dan bencana.

Kini, sudah banyak warga meninggalkan kearifan lokal, mulai membangun rumah dengan tembok dan beton tanpa memerhatikan konsep ketahanan terhadap bencana. Karena keterbatasan biaya, warga membangun rumah tidak layak huni dan tak sesuai standar. Contoh, rumah dibangun tidak sesuai standar tahan bencana telah menelan banyak korban jiwa seperti kala genpa Lombok pada 2018.

Hal lain, material industri dapat digunakan membangun bangunan tanggap bencana, biaya jauh lebih besar. Selain itu, putaran ekonomi seputar pemodal kuat yang memiliki industri-industri itu hingga mengembangkan sistem ekonomi kapitalisme.

Kesadaran akan pentingnya arsitektur tanggap bencana dengan memanfaatkan dan mengelola material alam harus dibumikan guna menghindari banyak korban. Kita harus kembali kepada alam, jadi manusia tropis, kembali mengelola alam.

Pengembangan arsitektur tanggap bencana berbahan material alam, seperti kayu, harus memperhatikan pasokan bahan baku.

Teknologi pemanfaatan potensi alam untuk pembangunan arsitektur tanggap bencana harus dikembangkan dari waktu ke waktu. Di luar negeri, dengan teknologi, bangunan dapat dibuat 70-80 lantai dengan kayu.

 

Bagaimana aristektur berperan dalam memitigasi bencana?

Pertama, kebijakan baik dulu. Sebelum arsitek masuk, kebijakan tata ruang penting, tak hanya melibatkan perencana kota, juga para pakar geologi, biologi, sosial, dan ekonomi ikut merumuskan, multi disiplin bikin tata ruang yang baik.

Setelah tata ruang baik, arsitek tinggal ikuti. Bencana terjadi karena tata ruang tak bagus, tidak sesuai mitigasi bencana. Jadi pembangunan menantang bencana. Sikap arsitektur harus mawas diri, harus tahu diri dan hati-hati. Kalau tidak sesusai tata ruang jangan dipaksakan dibangun. Paling banyak terjadi, arsitektur yang dibangun menyebabkan banjir, karena tak sensitif air. Contoh, bangunan resapan berapa persen, karena perlu rumah besar, parkiran, tetapi resapan dikit, bahkan tak punya sumur resapan.

Solusinya, bangunan pangung, bawah tanah, ada resapan, pondasi tetap kuat, luasan sama tetapi dampak lebih kecil terhadap banjir dan bisa nampung air hujan. Hal sangat mendasar seperti air belum dianggap penting di kalangan arsitek, bangunan arsitektur belum sensitif air, kenyataan begitu.

 

 

Rumah kos di Semarang, desain Akorama. Foto: blog Yu Sing

 

Pendirian bangunan di Indonesia, tak jarang tak sesuai tata ruang, bagaimana menurut anda?

Kota berkembang atas dorongan tekanan dan kepetingan pemodal, itu membuat kota kita, bukan diatur ketat oleh konsep berkelanjutan. Pemodal bikin sesuatu tak sesuai aturan tata ruangpun, aturan bisa diubah. Contoh, suap dan korupsi. Dampaknya perencanaan kota semrawut.

Zonasi dibuat, tetapi beberapa kasus berubah zonasi terjadi di lapangan, misal, peruntukan untuk pemukiman, jadi yang lain. Diubah semau pemilik modal, hutan lindung saja bisa jadi perumahan.

 

Aturan tata ruang ada, bagaimana implementasinya menurut anda?

Kita lihat defakto, semua daerah punya Perda Tata Ruang, nyatanya, kota-kota itu rusak, penegakan hukum tidak efektif, jangan puas dan merasa selesai ketika perda sudah ada. Ada perda bagus pun, belum tentu menjadi solusi. Lebih sulit mempraktikan perda yang bagus.

 

Pembangunan harus mempertimbangkan daya dukung dan tampung suatu wilayah, bagaimana pengamatan Anda di Indonesia?

Ini bicara regulasi, perencanaan, di mana banyak bangunan tak pakai perencanaan matang di awal. Kita tahu daerah itu kawasan air, bisa dibangun, tetapi air wajib tetap ada di sana, dihitung kepadatan untuk setiap hektar. Jadi, daya dukung dan daya tampung selaras. Contoh lain, kita punya peta patahan dan bencana, harusnya sekian meter dari lokasi rawan itu kawasan hijau. Tak ada aturan tegas soal itu.

Bila ikuti saran dan aturan yang ada, pembangunan sesuai daya dukung lingkungan. Walaupun daya dukung lingkungan ditantang terus menerus, karena pertumbunahan penduduk, lahan makin menyempit. Regulasi harus ketat dan tegas, sekian persen kawasan tidak boleh dibangun, jadikan kawasan konservasi buat mengatur daya dukung.

 

Di Indonesia, 30% wilayah jadi ruang terbuka hijau. Menurut Anda?

Singapura lebih 30% bangunan hijau, tetapi kepadatan penduduk tinggi, dan peningkatan suhu dua kali lebih cepat, masih mengalami juga kebanjiran. Artinya, bukan hanya mengatur persentase, tetapi bagaimana bangunan dan ruang merespon konservasi air, sesuai geofrafis, dan geologis. Cocok dibangun pendek atau tinggi, harus dipikirkan secara holistik.

 

Ada pesan untuk para arsitek?

Mencari solusi arsitektur yang tidak seperti biasa, harus sadar kerusakan lingkungan dan bencana, serta perubahan iklim menjadi ancaman. Jadi wajib cari solusi aristektur ramah lingkungan, harus belajar banyak hal di luar aristekrur yang berhubungan juga dengan dampak sosial, kesenjangan ekonomi. Itu semua berhubungan.

 

 

Keterangan foto utama:     Yu Sing, arsitek yang membangun dengan ramah lingkungan dan membantu semua kalangan, terutama yang tak mampu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version