- Meskipun kebakaran hutan dan lahan di Riau, masih ada tetapi jauh berkurang. Pemerintah menilai penanganan kebakaran hutan dan lahan sudah lebih baik
- Pada 2018, meskipun masih ada kebakaran hutan dan lahan 5.776,46 hektar lahan tetapi tak timbulkan bencana macam 2015. Indikator aktivitas ekonomi dan masyarakat berjalan lancar,anak-anak pelajar sudah masuk sekolah, bandara tidak tutup, transportasi lancar, hotel penuh dan berbagai agenda jalan tanpa hambatan kebakaran hutan
- Laporan Pantau Gambut berjudul “Persimpangan Jalan Restorasi Gambut,” dirilis Oktober 2018, dalam periode 1-31 Agustus 2018, menunjukkan, sebagian besar titik api, 78% di Riau justru di kawasan prioritas restorasi gambut dan moratorium pembukaan lahan gambut
- Fenomena El-Nino, tahun ini diprediksi pada lebel lemah sampai moderat. Bagi Indonesia, terutama masyarakat di Sumatera dan Kalimantan, El-Nino, berarti peringatan akan kembali terjadinya kebakaran hutan gambut. Bagi capres dan cawapres, El-Nino, bisa jadi bahasan debat soal lingkungan 17 April, nanti.
Sejak 2016, Pemerintah Riau, mengklaim provinsi ini tidak lagi “merayakan” ulang tahun kebakaran hutan dan gambut. Artinya, kebakaran hutan gambut di Riau, tak lagi berulang tahun sejak 1997.
Dalam wawancara media, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Edwar Sanger bersyukur, telah melewati 2018 sebagai tahun ketiga tanpa kebakaran hutan dan lahan besar.
Meski demikian, dia mengakui, titik api tidaklah benar-benar habis. Tahun 2018, titik api di Riau, tetap membakar 5.776,46 hektar lahan. Luas kebakaran hutan dan lahan itu tak berdampak serupa dengan kejadian 2015. Dia merujuk indikator aktivitas ekonomi dan masyarakat yang sudah berjalan lancar. Anak-anak pelajar sudah masuk sekolah, bandara tidak tutup, transportasi lancar, hotel penuh dan berbagai agenda jalan tanpa hambatan kebakaran hutan.
Apakah ini berarti ada kemajuan dari penanganan kebakaran hutan di Riau? Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead justru mengemukakan data penting soal ini saat bertemu Bupati Siak, Syamsuar—Gubernur Riau terpilih–, awal Januari 2019. Menurut dia, kebakaran tahun 2018, jauh lebih tinggi intensitas dan luasan dibandingkan 2017.
“Riau, juga kalau dilihat hotspot 2018 (justru) melonjak dua kali lipat lebih dibandingkan 2017. Walaupun di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, melonjak lebih besar lagi,” kata Nazir.
Pada 2019, Nazir juga menaruh perhatian serius pada fenomena El-Nino yang datang lebih awal. Siklus lima tahunan ini seharusnya jatuh pada 2020. Bahkan, fenomena iklim kering ini justru telah dirasakan Desember 2018.
Musim kemarau awal tahun di Riau, ditambah dengan El-Nino akan jadi ujian bagi kepemimpinan Joko Widodo—pada akhir masa jabatan sebagai presiden—dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan gambut.
El-Nino, terjadi karena perubahan suhu di lautan Pasifik dan melemahnya pertukaran angin yang berdampak pada perubahan iklim global. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), memperkirakan, El-Nino tahun ini tidaklah sebesar kejadian 2015-2016. Kali ini, tetap punya dampak signifikan terhadap perubahan curah hujan dan suhu di sejumlah kawasan.
Kombinasi dengan perubahan iklim yang terjadi, El-Nino 2019, akan meningkatkan suhu global. Biro Meteorologi Australia memperkirakan, El-Nino mulai Desember meski Amerika menyebut 90% kemungkinan mulai Januari 2019.
Bagi Indonesia, terutama masyarakat di Sumatera dan Kalimantan, El-Nino, berarti peringatan akan kembali terjadinya kebakaran hutan gambut. Seperti pada 2015, saat El-Nino menghampiri wilayah Indonesia bagian barat. Pada tahun itu, terutama 2015, El-Nino memicu bencana dahsyat kabut asap, yang menurut BNPB, hampir 40% Sumatera tertutupi kabut asap berminggu-minggu.
Lalu bagaimana El-Nino dan dampaknya dengan Riau? Dalam wawancara media, Aristya Ardhitama, analis BMKG Tambang mengatakan, El-Nino, tahun ini datang pada waktu musim kemarau melanda Riau. Namun, karena kekuatan El Nino-nya hanya lemah hingga moderat, jadi tak berdampak pada bertambahnya risiko kekeringan dan kebakaran hutan gambut.
Fenomena iklim kering ini akan berlangsung hingga Maret, sebelum masuknya musim hujan. Kemarau kedua akan kembali terjadi pada Juli, Agustus dan September, nanti.
Kekhawatiran Nazir dan sejumlah pihak makin kuat ketika api telah membakar lahan gambut di beberapa daerah di Riau. BPBD menyebut, luas yang terbakar mencapai 124,5 hektar di enam kabupaten dan kota sejak awal Januari. Kabupaten Rokan Hilir, merupakan paling luas terbakar sekitar 87 hektar. Gambut di kabupaten ini juga jadi bulan-bulanan tetapi pada pertengahan tahun lalu– menurut Danrem 031 Wirabima Brigjen TNI Sonny Aprianto–, panjang garis kebakaran 17 kilometer.
Nazir yakin, dengan realisasi program restorasi lahan gambut di areal masyarakat kini lebih 70% akan mampu mengurangi risiko kebakaran. Dari analisa BRG, 90% dari titik api di Riau, pada radius dua kilometer dari titik program restorasi.
Dalam konteks 70% pencapaian target restorasi, BRG merujuk pada 109.000 hektar dari 814.734 hektar target restorasi seluruh gambut di Riau sampai 2020, seperti diamanahkan Perpres No. 1 tahun 2016. Pada 700.000-an hektar target lain di konsesi perusahaan.
Dalam penjelasan saat dialog di Green Radio Pekanbaru awal Januari 2019, ini tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. BRG menyupervisi tetapi hingga kini belum ada publikasi perkembangan capaian.
Tak ada perkembangan dalam restorasi di lahan korporasi inilah yang membuat sejumlah organisasi masyarakat sipil menuding pemulihan gambut sangatlah lamban. Pantau Gambut, perkumpulan jaringan LSM dari 23 organisasi di tujuh daerah prioritas restorasi gambut mengungkapkan, kebakaran hutan sangat mungkin terus terjadi kalau efektivitas program pencegahan tak tercapai.
Laporan Pantau Gambut berjudul “Persimpangan Jalan Restorasi Gambut,” dirilis Oktober 2018, dalam periode 1-31 Agustus 2018, menunjukkan, sebagian besar titik api, 78% di Riau justru di kawasan prioritas restorasi gambut dan moratorium pembukaan lahan gambut.
Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah berarti Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai leading sector program restorasi tak efektif dalam mengurangi kebakaran hutan. Tentu saja hasil kerja BRG selama empat tahun ini makin menantang di awal tahun kemarau dan El-Nino 2019 ini.
Ia sekaligus jadi kisi-kisi penting bagi calon presiden 01 dan 02 dalam debat kandidat putaran kedua dengan tema soal lingkungan. El-Nino dan kemarau awal tahun ini adalah panggung bagi Presiden Jokowi untuk memperlihatkan kinerja terhebatnya dalam mengatasi kebakaran hutan. Bagi Capres Prabowo, ini panggung memaparkan bagaimana skenario kepemimpinannya nanti jika terpilih dalam mengatasi kebakaran hutan gambut yang tak pernah habis. Mumpung masih ada waktu sebelum debat capres dan cawapres putaran kedua yang bertemakan lingkungan.
*Penulis adalah Direktur Kaliptra Sumatera dan Koordinator Simpul Jaringan Gambut Riau
Keterangan foto utama: El-Nino 2019, bagaimana persiapan pemerintah dan respon dari para capres dan cawapres. Foto: Foto: Suryanto/Juara 2 Pers DETaK 2018