- Ahmad Boro Tura, lelaki yang lahir dan besar di Jakarta dan pernah bekerja di Greenpeace Belanda selama 9 tahun, memilih kembali menetap di desa Pledo, Witihama, Flores Timur, NTT untuk menanam sorgum.
- Dahulu sorgum selalu ditanam petani di Flores Timur, tetapi kelamaan menghilang seiring masuknya bibit hibrida baik padi maupun jagung.
- Banyak tawaran bantuan penanaman sorgum kepada Boro dan kelompok taninya, seperti dari Balai besar Sereal Balitbang Kementerian Pertanian, anggota DPRD dan Pemda Flores Timur
- Boro ingin mengembalikan kejayaan sorgum di Flores Timur, NTT, sebagai penyelamatan pangan lokal sekaligus kedaulatan pangan masyarakat setempat.
Dataran di ujung timur pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak hijau. Rumput ilalang terlihat tumbuh subur di tengah pepohonan Eucalyptus gebang (Corypha utan) yang tumbuh mengapit bebatuan.
Lahan seluas sekitar 100 hektar ini letaknya persis di ujung selatan sisi timur pulau Adonara. Pulau pasir putih Meko dan beberapa gugusan pulau kecil lainnya hanya berjarak sekitar 200 meter sebelah selatan lahan gersang ini.
“Ini tanah ulayat dan tidak ada larangan untuk digarap kecuali menjadi hak milik. Lahan gersang ini awalnya ditumbuhi ilalang dan saya tebas menggunakan parang lalu bajak menggunakan traktor,” sebut Ahmad Boro Tura (42), saat bersua Mongabay Indonesia di kebunnya, Kamis (17/1/2019).
baca : Pakar: Jika Kembangkan Sorgum, NTT Bakal Daulat Pangan
Pemuda asal Witihama Adonara yang lahir dan besar di Jakarta ini mengaku jatuh cinta pada pertanian dan kehidupan petani di desa sejak 1996. Saat liburan ke kampung halaman orang tuanya, dirinya sudah berkeinginan suatu saat akan kembali ke desa dan menjadi petani.
Setalah tamat kuliah jurusan teknik mesin di UPN Veteran Jakarta dan bekerja selama 9 tahun di Greenpeace Belanda, Boro sapaannya memilih pulang ke desa Pledo Witihama. Dia pun mengajak anak muda lainnya menanam sorgum.
“Dulunya lahan ini dipenuhi alang-alang. Saya potong menggunakan parang,mencungkil akarnya lalu dibakar lalu tanah saya cangkul. Awalnya gunakan traktor untuk lahan satu hektar namun untuk lahan yang luas kami tidak punya dana,” sebutnya.
Boro pun mengajak Jevrianus Hermanto (26) yang lebih dahulu mengenal sorgum dari Maria Loretha. Keduanya lantas menanam sorgum di lahan seluas sehektar. Panen perdana, sorgum jenis Kuali yang dihasilkan sebanyak 2,5 ton.
Setelah ditebas usai panen, tanaman sorgum pun tumbuh kembali. Sengaja lahan ini dibiarkan dan tidak ditanam dengan bibit yang baru. Boro beralasan ingin melihat seberapa besar hasil produksinya saat panen kedua.
baca juga : Lahan Kering di Flores Ini Bisa Hasilkan Sorgum Melimpah
Selamatkan Pangan Lokal
Kegigihan Boro menanam sorum tentu ada alasan. Pria murah senyum ini menjelaskan dulunya tanaman sorgum selalu ditanam petani di Flores Timur termasuk di Adonara. Lama kelamaan tanaman ini hilang seiring masuknya bibit hibrida baik padi maupun jagung.Petani pun dimanjakan dengan menggunakan pupuk kimia.
Banyak padi yang ditanam mengunakan pestisida sehingga membuat manusia teracuni bahan kimia dan umur pun mulai berkurang. Boro berikrar saatnya menghidupkan benih-benih lokal yang sempat ditinggalkan petani.
Sorgum hasil panen perdana dikonsumsi sendiri olehnya dan sisanya dibagi ke petani lain untuk ditanam dan dikonsumsi.“Awal panen saya tidak mendapatkan uang meski banyak yang meminta untuk membelinya bahkan untuk dijadikan makanan ternak. Saya katakan, nanti kalau semua orang sudah makan,baru dijadikan makanan ternak,” ucapnya.
Untuk wilayah Witihama sendiri, Boro ingin agar bisa berdaulat pangan. Semua bahan makanan dari sorgum dan bisa dijual ke luar daerah.
Jevrianus yang setia sejak awal menanam sorgum bersama Boro, juga ingin menyelamatkan pangan lokal dan potensinya pun bagus. Awalnya keduanya juga bingung mau mulai bekerja sehingga meminta bantuan orang tua dan Maria Loretha mengajarin.
“Saya bersyukur, sekarang sudah banyak yang tanam sorgum. Banyak warga yang sembuh dari penyakit diabetes dan lainnya setelah mengkonsumsi sorgum,” tuturnya.
Hendirkus Sabon Nama (41) juga mengaku tertarik ikut menanam sorgum setelah anaknya divonis kurang gizi. Dirinya memberi makan sorgum selama sebulan. Saat dicek kesehatannya, petugas kesehatan kaget sebab anaknya sudah sehat dan normal kembali.
menarik dibaca : Sukses Kembangkan Sorgum di NTT, Maria Akui Jatuh Cinta pada Rasa Pertama
Perluas Lahan
Kini Boro dan Jevrianus tidak sendiri. Kelompok mereka Pledo Saren saat ini terdiri atas 16 orang, 12 ibu-ibu dan 4 orang anak muda, bakal terus menanam sorgum pada lahan seluas 10 hektar.
Lahan pun hanya dibersihkan dan dicangkul tanpa menggunakan mesin. Banyak tawaran bantuan dari anggota DPRD dan pemerintah daerah Flores Timur namun semuanya belum terealisir.
“Idealnya lahan seluas ini harus menggunakan teknologi tetapi saya tidak bisa menunggu dana harus mulai. Mimpi saya agar sorgum bisa dikembangkan sebab nilai gizinya lebih baik,” sebut Boro.
Terdapat 5 jenis sorgum yang sedang dipersiapkan untuk ditanam yakni Kuali, Okin, Super 1, Numbu dan Waiotan. Boro ingin membuat gula dan pakan ternak dari batang sorgum.
Balai besar Sereal Balitbang Kementerian Pertanian sudah datang melihat kebunnya. Dirinya pun diajak mengikuti pelatihan di Jakarta dan diberikan bantuan mesin perontok, penyoso, penepung, dan pemeras batang sorgum untuk membuat gula serta mesin untuk memasak gula.
“Banyak masyarakat yang mengira saya ingin membuat perusahaan dan menjadi bos padahal saya tidak ada pikiran demikian. Kita bekerja sama-sama, cari solusi sama-sama untuk meraih kesejahteraan bersama,” tegasnya.
baca juga : Seharusnya Pemerintah Muliakan Benih Lokal
Di dataran Pledo selain kelompoknya Boro, kini hadir kelompok Linmas beranggotakan 4 orang Linmas dari desa Lamablawa. Sudah 2 minggu sorgum ditanam di lahan seluas 1,5 hektar.
Philipus Paron Boro ayah Jevrianus mengaku kagum melihat semangat anak-anak muda. Dirinya pun membantu memberikan motivasi dan ikut menanam sorgum bersama anak muda ini.
“Mereka tidak takut melihat kondisi alam yang gersang dan curah hujan yang juga tidak menentu saat ini. Saya salut, mereka mau bersusah payah dan ingin membuat perubahan,” ujar Philipus.
Total luas lahan sorgum di Flores Timur sebanyak sekitar 200 hektar dimana 70 hektar berada di desa Likotuden. Bila lahan di Pledo dikembangkan semua, otomatis lahan sorgum bertambah siginifikan.
“Meskipun masyarakat mencibir namun saya tidak peduli. Masyarakat berpikir saya lahir besar di Jakarta, kuliah hingga sarjana dan bekerja di Belanda tapi kenapa kembali ke desa dan jadi petani,” tambah Boro yang ingin mengembalikan kejayaan sorgum di Pulau Adonara.