- Menjelang debat Capres dan Cawapres pada Minggu (17/2/2019), Global Fishing Watch (GFW) menyerukan kepada Presiden terpilih nantinya untuk berkomitmen meningkatkan transparansi pengelolaan sektor kelautan dan perikanan.
- Sejak 2014, KKP dibawah Susi Pudjiastuti telah melakukan transparansi sektor kelautan dan perikanan terutama perikanan tangkap sebagai upaya meningkatkan keamanan sumber daya perikanan dan kelautan.
- Transparansi tersebut dengan memublikasikan data lacak kapal atau vessel monitoring system(VMS) pada 2017, dimana Indonesia menjadi negara pertama yang membuka data VMS secara publik dan dapat diakses publik melalui Global Fishing Watch.
- Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan menilai Pemerintahan Joko Widodo tidak melakukan terobosan signifikan pada sektor kelautan dan perikanan. Pemerintah terlalu fokus pada upaya pengeboman dan/atau penenggelaman kapal ikan, dan belum menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Calon Presiden Republik Indonesia periode 2019 hingga 2024 mendatang, diminta untuk berkomitmen meningkatkan transparansi dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan. Seruan itu diungkapkan organisasi internasional, Global Fishing Watch (GFW) menjelang berlangsungnya debat calon Presiden RI pada Minggu (17/2/2019).
Manajer Program Indonesia GFW Ahmad Baihaki menerangkan, GFW menyerukan transparansi untuk sektor kelautan dan perikanan, karena angka penangkapan ikan ilegal sudah berhasil diturunkan. Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Presiden yang baru, angka bisa ditekan lebih baik lagi dan itu pada akhirnya akan memberi manfaat banyak untuk masyarakat Indonesia.
“Indonesia harus meneruskan kepemimpinan transparansi kelautan,” kata Baihaki dalam rilisnya Rabu (13/2/2019).
baca : Empat Tahun Kepemimpinan Joko Widodo, Bagaimana Capaian Sektor Kelautan dan Perikanan?
Pada debat capres dan cawapres kedua mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengangkat tema tentang bidang energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam lima tahun kepemimpinan.
Baihaki mengatakan Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber daya kelautan besar dan bisa menyejahterakan penduduknya, yang seharusnya menjadi pandangan penting dan prioritas bagi Pemerintah.
Menurut dia, sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, seperti penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan dan menyalahi aturan atau illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF).
“Berbagi data dan transparansi sangat penting dalam memerangi penangkapan ikan ilegal, melindungi stok ikan dan penghidupan masyarakat yang bergantung pada pangan laut,” ungkap Baihaki.
Keterbukaan informasi, menurut dia, sudah dimulai pada 2014, tepatnya sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipimpin Susi Pudjiastuti. Sejak kebijakan tersebut diberlakukan, upaya untuk meningkatkan keamanan sumber daya perikanan dan kelautan berhasil ditingkatkan dengan signifikan. Kemudian, yang paling utama juga adalah berlangsungnya transparansi aktivitas perikanan tangkap di seluruh Indonesia.
baca juga : Penegakan Hukum di Atas Laut Sudah Berjalan Baik?
Transparansi Informasi
Bentuk transparansi yang sudah diberlakukan Indonesia itu, menurut Baihaki, di antaranya adalah dengan menjalin kerja sama bersama GFW untuk memublikasikan data lacak kapal atau vessel monitoring system (VMS). Bentuk data lacak itu, terwujud melalui peta publik yang fungsinya adalah untuk memperkuat pemantauan dan mendukung penegakan hukum di wilayah laut Indonesia.
“Pada tahun 2017, Indonesia menjadi negara pertama yang membuka data VMS secara publik dan dapat diakses publik melalui Global Fishing Watch,” tuturnya.
Melalui kerja sama itu, Baihaki menjelaskan, pihaknya membantu Pemerintah Indonesia untuk menganalisa data kegiatan kapal penangkap ikan yang berguna untuk memantau kegiatan perikanan dan sekaligus memerangi aktivitas IUUF di seluruh perairan laut Indonesia. Namun, melalui data lacak tersebut, ternyata mencakup juga data kapal penangkap ikan di seluruh dunia dan itu dilakukan GMF.
“Peta publik kami juga melacak kapal penangkap ikan di seluruh dunia. Pemantauan ini penting untuk melindungi perairan Indonesia dari ancaman kapal-kapal penangkap ikan asing ilegal.”
Apa yang dilakukan Indonesia dalam membuka data VMS, di kemudian hari diikuti oleh negara lain di dunia, seperti Peru. Negara tersebut diketahui menerapkan kebijakan tersebut karena terinspirasi dari Indonesia yang sudah berkomitmen untuk membuka data VMS melalui peta daring milik GFW.
Dengan fakta tersebut, Baihaki menyebut, Indonesia sudah muncul di peta dunia sebagai pelopor dan kini sudah ada di garis terdepan usaha global dalam upaya peningkatan transparansi pada sektor kelautan dan perikanan. Prestasi itu, harus terus dipertahankan dengan menjaga komitmen dan memperbaiki tata kelola perikanan nasional.
“Itu agar sumber daya kelautan kita yang kaya dapat terlindungi,” jelasnya.
menarik dibaca : Sudah Tepatkah Kebijakan Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan?
Berkaitan dengan dampak pemberantasan IUUF di Indonesia, Universitas California di Santa Barbara, Amerika Serikat melakukan penelitian dengan menggunakan data GFW. Dari penelitian tersebut, ditemukan fakta bahwa pemberantasan IUUF yang berpadu dengan tangkapan maksimum lestari (maxium sustainable yield/MSY), ternyata bisa menghasilkan peningkatan tangkapan ikan hingga 14 persen.
“Dan juga peningkatan keuntungan hingga 15 persen pada tahun 2035. Ini pun tanpa menimbulkan kerugian jangka pendek bagi ekonomi lokal. Indonesia berhasil memadukan kebijakan dan data. Fakta lain, Indonesia menurunkan tangkapan asing ilegal dari 90 persen menjadi 25 persen saja,” ucapnya.
Akan tetapi, Baihaki menambahkan, di tengah keberhasilan pemberantasan aktivitas IUUF, Indonesia masih menghadapi tantangan data yang lebih besar, karena 90 persen hasil tangkapan ikan saat ini, itu adalah berasal dari kapal perikanan kecil yang berukuran di bawah 30 gros ton (GT). Sementara, hingga saat ini, kapal kecil di bawah 30 GT masih belum diwajibkan menggunakan VMS.
“Oleh karenanya GFW bekerjasama dengan beberapa LSM di Indonesia yang sedang melakukan pelacakan kapal-kapal kecil ini untuk menyatukan data guna mendapatkan gambaran utuh perikanan Indonesia,” ujarnya.
baca juga : Begini Nelayan Mengkritik Susi di Depan Jokowi
Minim Terobosan
Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, empat tahun Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo, dinilai tidak melakukan terobosan yang berarti pada bidang kelautan dan perikanan. Selama waktu tersebut, Pemerintah terlalu fokus pada upaya pengeboman dan/atau penenggelaman kapal ikan.
“Itu justru telah mengabaikan betapa signifikannya ikhtiar menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri,” ucapnya kepada Mongabay-Indonesia, Rabu (13/2/2019).
Menurut Halim, persoalan mendasar pada sektor kelautan dan perikanan selama empat tahun ini masih tetap berkutat pada hal yang sama. Pertama, yaitu polemik pelarangan alat tangkap cantrang yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Persoalan tersebut dinilai Halim tak kunjung terselesaikan dan akhirnya berimbas pada mangkraknya 4.949 kapal cantrang di Pulau Jawa, yang terdiri dari 2.371 kapal berukuran kurang dari 10 GT dan 2.578 kapal berukuran 10-30 GT. Tak hanya itu, persoalan cantrang juga berimbas pada proyek pengadaan kapal yang kembali tersandung masalah hukum.
Yang kedua, Halim menyebutkan, adalah pembiayaan usaha perikanan yang disalurkan melalui Badan layanan Umum-Lembaga Pengelolaan Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU–LPMUKP) dengan porsi anggaran sebesar Rp500 miliar pada 2017 dan Rp850 miliar pada 2018. Program tersebut, dinilai masih belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya praktek pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Kemudian, persoalan mendasar yang ketiga, adalah besarnya volume dan nilai ekspor rajungan dan kepiting yang diekspor ke sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia. Aktivitas berlebihan itu justru mendorong eksploitasi yang melebihi ambang batas antara 2014-2018. Kata Halim, jika pola pembangunan kelautan dan perikanan terus-menerus diarahkan untuk mengejar target ekspor ikan secara gelondongan semata, niscaya stok sumber daya protein di laut yang diklaim terus meningkat bakal habis tak tersisa.
menarik dibaca : Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?
Agar ketiga persoalan mendasar di atas bisa dipecahkan dan tak terulang lagi pada Pemerintahan baru yang akan datang, Halim menawarkan dua solusi, yaitu mengatur perizinan melaut dengan mempertimbangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap jenis ikan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan sebagaimana direkomendasikan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan).
“Kedua, laporan log book harus divalidasi untuk melakukan pencatatan hasil tangkapan ikan. Laporan tersebut, sudah dilakukan di banyak negara, seperti Norwegia, Denmark, Perancis, dan Jepang, yang menjadikan log book sebagai dasar pembuatan laporan,” pungkasnya.