- Penyelamatan orangutan sumatera dari hasil penyitaan masyarakat maupun akibat terjebak di perkebunan terus dilakukan
- Selama ini, pemelihara orangutan sumatera tidak pernah diproses hukum. Ini yang menyebabkan orangutan yang dijadikan sebagai satwa peliharaan selalu ada, dan dampaknya perburuan tetap terjadi terjadi karena adanya permintaan
- Sosialisasi harus dibarengi dengan penegakan hukum agar UU KSDAE Nomor 5 Tahun 1990 dapat dijalankan
- Sejak 2012 hingga 2018, tim Human Orangutan Conflict Response Unit [HOCRU] OIC sudah menyelamatkan 162 individu orangutan di Sumatera Utara dan Aceh hasil peliharaan dan yang terisolasi di perkebunan
Penyelamatan orangutan sumatera [Pongo abelii] masih terus dilakukan, baik melalui penyitaan maupun karena terjebak di perkebunan. Sampai kapan kondisi ini berlangsung?
Panut Hadisiswoyo, Ketua YOSL – OIC [Orangutan Information Centre] mengatakan, penyelamatan orangutan memang tetap terjadi. Penegakan hukum untuk para pemelihara orangutan, selain pemburu dan penjual, harus diberikan. Tujuannya, memberikan efek jera.
“Selama ini, pemelihara orangutan tidak pernah ada proses hukum. Bila kondisinya seperti ini, pengambilan orangutan dari habitatnya akan terus terjadi, karena adanya permintaan,” terangnya, baru-baru ini.
Panut mengatakan, dari 2012 hingga 2018, tim Human Orangutan Conflict Response Unit [HOCRU] OIC sudah menyelamatkan 162 individu orangutan di Sumatera Utara dan Aceh dari peliharaan dan yang terisolasi di perkebunan. Rincinya, diselamatkan dari perkebunan lalu dipindahkan ke habitatanya sebanyak 100 individu, sementara sisanya hasil sitaan masyarakat dikirim ke karantina orangutan di Batu Mbelin, Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, yang dikelola SOCP. Orangutan yang berada di karantina saat ini sebanyak 300 individu.
“Untuk kelayakan apakah bisa langsung dilepaskan ke habitat alaminya, atau harus berada di karantina, semua diputuskan tim medis,” jelasnya.
Menurut Panut, berdasarkan data Population and Habitat Vialibility Assesment [PHVA] terakhir, jumlah orangutan sumatera sebanyak 14.779 individu, termaksud dua populasi yang berada di Jantho [Aceh] dan Bukit 30 Jambi. “Mempertahankan populasi yang sudah ada harus dilakukan, yang pastinya harus diimbangi dengan menjaga habitatnya,” katanya.
Baca: Bukan Hanya Perburuan, Habitat Orangutan Sumatera juga Harus Diperhatikan
Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL] Ruswanto, menjelaskan agar tidak terjadi perburuan orangutan sumatera yang merupakan satwa kunci TNGL, pihaknya terus melakukan Smart Patrol atau patrol pintar berbasis informasi handal. Fungsinya, mencegah masuknya pemburu dan menghalau kegiatan ilegal.
“Pemantauan, inventarisasi sumber pakan orangutan, pengelompokan habitat apakah masih baik atau tidak adalah bagian utama dari patroli tersebut.”
Ruswanto mengatakan, terkait masyarakat yang memelihara orangutan sumatera, pihaknya mengimbau untuk diserahkan ke negara karena orangutan merupakan satwa liar dilindungi. Jika tidak mau, pihaknya bersama penyidik Gakkum memproses hukum, khususnya UU KSDAE Nomor 5 Tahun 1990.
“Sosialisasi masih terus dilakukan kepada masyarakat, khususnya yang berada di sekitar penyangga TNGL. Selama ini belum pernah ditemukan masyarakat yang melihara lebih dari satu individu orangutan,” jelasnya.
Baca: Strategi Konservasi Orangutan Harus Perhatikan Segala Hal, Mengapa?
Terkait alih fungsi kawasan menjadi perkebunan, Ruswanto mengatakan, pihaknya berpatokan pada SK Penetapan TNGL 2014. Wilayah yang sudah menjadi kebun, diserahkan ke Balai Penetapan Kawasan Hutan [BPKH] karena yang berwenang kembalikan tapal batas adalah mereka.
“Contoh kasus Wilayah III batas Sumatera Utara dan Aceh. Pihaknya sudah melakukan pemetaan dan diketahui dari Aceh ada yang masuk kawasan Wilayah III TNGL. Untuk mengukur ulang, kami serahkan ke BPKH karena mereka yang berwenang,” terangnya.
Baca juga: Sekian Lama jadi Pajangan, Akhirnya Pongky Bebas…
Andi Sinaga dari Forum Investigator Zoo Indonesia menyatakan, ada tebang pilih terhadap proses hukum saat ini. Penegak hukum hanya fokus pada perdagang, sementara pemelihara sama sekali tidak pernah diproses.
Contoh kasus adalah Pongki, orangutan sumatera yang dipelihara oleh seorang perwira polisi di Aceh Tamiang, proses hukumnya tidak jelas. “Lebih menyedihkan, orangutan ini dititipkan di Medan Zoo, dan bertahun disana mata kanannya mengalami kebutaan.”
Andi menyatakan, tidak boleh ada lagi istilah penyerahan sukarela. Tidak boleh ada lagi sosialisasi. UU KSDAE Nomor 5 tahun 1990, sudah cukup lama dibuat dan sosialisasi sudah puluhan tahun. Selama ini, pemelihara orangutan adalah mereka yang berpendidikan sehingga mustahil tidak mengetahui bila orangutan merupakan satwa dilindungi.
“Sudah saatnya hukum ditegakkan agar tidak ada lagi orangutan yang hidup di kandang peliharaan,” tandasnya.