- Penduduk Dusun Sungai Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan mencapai 1.430 jiwa dengan luasan wilayah 35 hektar, tidak punya keinginan untuk membuka lahan dengan cara merambah hutan. Mereka berprofesi sebagai nelayan dan pedagang
- Masyarakat Sembilang menjunjung tinggi tradisi yang tidak hanya berlaku bagi wong Sungsang beretnis Melayu, tapi juga para pendatang. Misal, pernikahan, syukuran, kematian, dan peringatan hari besar agama
- Di luar Dusun Sungai Sembilang, memang terdapat sejumlah konflik lahan antara pemerintah dengan masyarakat desa. Misalnya, batas desa, status atau kepemilikan lahan sebagaimana terjadi dengan Desa Tanah Pilih
- Empat persoalan penting yang harus diselesaikan agar tidak terjadi konflik adalah batas dan status dusun, air bersih, pengelolaan sampah, dan jaringan komunikasi
***
Pengantar
Taman Nasional Berbak Sembilang yang berada di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, serta di Kabupaten Muaro Jambi – Tanjung Jabung Timur, Jambi, telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO. Pengukuhan ini dilakukan pada sidang ke-30 International Coordinating Council of the Man and Biosphere Programme [ICC-MAB] di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu [25/7/2018].
Terkait penetapan cagar biosfer tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang mengadakan liputan penulisan bertema “Lanskap Sriwijaya”. Para peserta, selain diberi pemahaman ekologi dan lanskap [bentang alam], teknik jurnalistik seperti pembuatan proyeksi, peliputan dan penulisan narasi, juga meliput langsung ke bentang alam Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Kegiatan ini dilaksanakan pada 10-16 November 2018, dengan dukungan Mongabay Indonesia, ZSL Indonesia, dan KOLEGA South Sumatra. Dari pelatihan ini, terpilih enam tulisan yang akan ditayangkan setiap hari, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan batas waktu pengiriman, Januari 2019.
***
Tidak semua masyarakat yang menetap di kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang, Sumatera Selatan dan Jambi, berkonflik lahan dengan negara. Salah satunya, masyarakat Dusun Sungai Sembilang, yang berada di tengah hutan mangrove dan gambut Sembilang.
Setengah abad lalu, tepatnya 1968, dua nelayan asal Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, bernama Narusin dan Kabah, beberapa kali mencari ikan di anak Sungai Sanjang. Mereka mendapat banyak ikan, terutama sembilang, sehingga membangun pondok atau rumah panggung di muara Sungai Sanjang yang kemudian hari dinamakan “Dusun Sungai Sembilang”.
Selanjutnya, nelayan lain dari Sungsang datang mencari ikan sekaligus membangun pondok dekat Narusin dan Kabah. Sungai Sanjang pun berubah nama menjadi Sungai Sembilang, dan nama Sungai Sanjang diberikan pada anak sungai dekat pemukiman nelayan.
Sekitar 1976, tidak hanya masyarakat Sungsang yang menetap di sana. Hadir pula nelayan dari Telang, Upang, Meriana, serta pendatang dari Bugis, Jawa, Minangkabau, dan China perantau dari Riau. Nelayan menetap di sana karena kawasan tersebut aman dari gangguan badai serta tidak pernah berkonflik dengan harimau sumatera dan buaya muara yang saat itu ramai berkeliaran di bentang alam Sembilang. Sementara pendatang lainnya berprofesi sebagai pedagang.
Seluruh nelayan bersepakat memilih pemimpin dan pemerintahan di dusun tersebut. Tahun 1982, terbentuklah pemerintahan Dusun Sungai Sembilang, dan terpilihlah Asmuni sebagai kepala dusun, yang menjabat enam bulan lalu digantikan Hasan Cuaca hingga 1987.
Meski saat ini jumlah penduduk Dusun Sungai Sembilang mencapai 1.430 jiwa dengan luasan wilayah 35 hektar, tapi masyarakat tidak pernah atau punya keinginan untuk membuka lahan dengan cara merambah hutan.
“Masyarakat di sini merasa puas dengan luasan dusun yang ada. Sebagian besar mencari uang sebagai nelayan, lainnya sebagai pedagang. Mungkin itulah sampai sekarang masyarakat tidak pernah berkonflik dengan pemerintah karena merambah hutan untuk dijadikan kebun atau lahan pertanian,” kata Yunan Alwi, Kepala Dusun Sei Sembilang, 12 November 2018, lalu.
Yunan berharap, ke depan jangan sampai terjadi konflik apa pun di Dusun Sungai Sembilang, dan berharap pemerintah membina masyarakat dengan baik.
Kerukunan masyarakat multietnis di Sembilang
Masyarakat Sembilang menjunjung tinggi tradisi yang ada. Tradisi ini tidak hanya berlaku bagi wong Sungsang yang beretnis Melayu, para pendatang juga. Misalnya pernikahan, syukuran, kematian, peringatan hari besar agama, dan lainnya.
Masyarakat juga bergotong royong sebulan sekali untuk membersihkan lingkungan, termasuk membangun atau memperbaiki rumah warga. Pijakan tersebut, mengikuti adat marga Sungsang. Itu disebabkan, sebaran nelayan lokal di wilayah Sembilang sejak masa Kesultanan Palembang adalah marga Sungsang.
“Para pendatang tidak keberatan, bukan karena tidak peduli dengan kelestarian adat istiadat sendiri, namun seluruh masyarakat dusun lebih mementingkan norma sosial dan kekeluargaan,” kata Christin Monika, warga Dusun Sungai Sembilang.
Potensi konflik di Dusun Sungai Sembilang
Di luar Dusun Sungai Sembilang, memang terdapat sejumlah konflik lahan antara pemerintah dengan masyarakat desa. Misalnya, batas desa, status atau kepemilikan lahan. Contohnya, Desa Tanah Pilih. Masyarakat desa tersebut menyatakan lahan desa yang mereka tempati sudah sejak awal 1970-an, jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh pemerintah sebagai taman nasional.
“Meski belum ada, ke depan ada empat persoalan yang dapat memicu lahirnya konflik antara masyarakat Dusun Sungai Sembilang dengan negara,” kata La Ode Muhammad Rabiali, dari ZSL [Zoological Society of London] Indonesia, 15 November 2018.
Pertama, dalam konteks batas dan status dusun, tidak ada kejelasan antara Dusun Sungai Sembilang dengan batas wilayah Desa Sungsang IV, juga khususnya dengan Taman Nasional Berbak Sembilang.
Terkait status, Dusun Sungai Sembilang masuk kawasan taman nasional [enclave], dari perspektif sejarah, masyarakat menyatakan Dusun Sungai Sembilang telah lama eksis sebelum penetapan atau perluasan Taman Nasional Berbak Sembilang pada 2003. Hal ini berpengaruh dengan eksistensi masyarakat, khususnya ketergantungan mereka terhadap alam sekitar yang sudah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.
“Misalnya, ketergantungan masyarakat yang secara turun temurun terhadap kayu untuk kebutuhan perahu, rumah, rumah ibadah, jembatan, dan berbagai sarana dan prasana dusun lainnya. Masyarakat juga terbiasa mengambil dan memperjualbelikan flora dan fauna yang ada di taman nasional sebagai sumber mata pencaharian, seperti jual beli burung beo, jalak, dan pertambakan ikan.”
Kedua, air bersih, sulitnya akses menjadikan masyarakat mengonsumsi air yang tidak higienis.
Ketiga, pengelolaan sampah, tidak adanya sistem ramah lingkungan menjadikan masyarakat membuangnya ke sungai, laut, atau di bawah kolong permukiman yang sebagian besar perairan. Secara factual, masyarakat sangat takut membakar sampah di daratan karena bisa menjadi penyebab kebakaran lahan dan hutan skala besar, mengingat sebagian besar lahan yang ada merupakan tanah bergambut.
Keempat, masyarakat sangat menginginkan jaringan telekomunikasi masuk ke Dusun Sungai Sembilang. Hal ini untuk mempermudah komunikasi antarwarga juga dapat mengetahui perkembangan informasi dari luar.
Sementara desa di luar Dusun Sungai Sembilang, yang berpotensi konflik lahan dengan negara, antara lain:
- Desa Penuguan dalam hal batas, pembukaan lahan di Taman Nasional Sembilang, pemekaran desa dan pembangunan infrastruktur desa
- Desa Tabala Jaya dalam hal batas desa, penjualan tanah desa, perluasan wilayah transmigrasi baru, dan kontribusi perusahaan
- Desa Sumber Rejeki dalam hal batas desa dan konflik lahan dengan taman nasional, penjualan tanah desa, upaya pembebasan status lahan taman nasional, kepemimpinan desa, revitalisasi sungai, serangan hama penganggu tanaman, dan pemekaran kecamatan
- Desa Purwodadi dalam hal tata batas, status dan kepemilikan lahan
- Desa Tanah Pilih dalam hal tata batas, status dan kepemilikan lahan
- Desa Banjar Sari yang pernah berkonflik dengan PT. Sumber Harapan Sarana [SHS] dalam hal kebun plasma
Bagaimana mengatasi potensi konflik tersebut? La Ode menjelaskan, dengan menjaga jangan sampai ada warga yang mengganggu kawasan konservasi. Kuncinya, masyarakat hanya beraktivitas sebagai nelayan atau berdagang. Menjadi nelayan lebih jauh dari upaya pengrusakan bentang alam, meskipun perairan juga masuk kawasan konservasi.
“Pemerintah harus tegas terhadap warga yang coba bertani atau berkebun di wilayah terlarang,” tandasnya.
* Sakeena Ihramia, mahasiswa semester V Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, Sumatera Selatan. Email: [email protected]