- Revitalisasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang ditargetkan beroperasi 2020, belum terlaksana sampai sekarang karena permasalahan tipping fee pengolahan sampah
- Pemprov Bali mengaktifkan kembali proyek PLTSa TPA Suwung dengan BUMN sebagai pengelolanya
- Studi kelayakan sedang dilakukan untuk dampak lingkungan dan risiko ekologi insinerator PLTSa dan kepastian pasokan sampah dan ketersediaan lahan penumpukan sampah
- Aktivis lingkungan meragukan kesiapan pengelola terkait teknologi pengelolaan sampah untuk pembangkitan listrik pada PLTSa TPA Suwung
Proyek-proyek besar atas nama lingkungan di Bali kerap muncul jelang konferensi internasional. Terakhir, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar akan diwujudkan secepatnya, ditargetkan beroperasi 2020.
Namun, pemerintah Bali pernah gagal dalam proyek besar mengurangi timbunan sampah menjadikan listrik. Badan Pengelola Kebersihan wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) pernah menjamin semua sampah di TPA akan sepenuhnya bisa dimusnahkan pada 2012. PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) menjadi investor pengolahan sampah di TPA Suwung saat itu.
Empat Pemda kawasan Sarbagita yang membuang sampahnya ke TPA Suwung membuat kerjasama penanganan sampah sejak 2007. Salah satu klausul adalah investor bisa mengolah sampah jadi listrik namun tak terpenuhi dan sudah putus kontrak. Tidak ada kesepakatan soal tipping fee dari tiap ton sampah yang diolah karena biaya pembakaran sampah sangat mahal.
baca : Proyek “Penghijauan” Gunungan Sampah Bali Diresmikan. Apakah Efektif?
Di era pemerintahan Jokowi, rencana insenerator sampah ini kembali diluncurkan Kemenko Kemaritiman. Salah satu proyek dari Perpres No.58/2017 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Dinaungi Perpres No.35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah yang Menghasilkan Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Direncanakan di 12 kota besar lain selain Denpasar, yakni Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Palembang, dan Manado.
Proyek di TPA Suwung ini dibahas dalam rapat koordinasi di Kantor Gubernur Bali, pada Rabu (13/02/2019), Denpasar. Dipimpin Gubernur Bali, dihadiri perwakilan pemerintah kawasan Sarbagita, pelaksana proyek Waskita Karya dan PT Indonesia Power, dan para pihak lainnya.
Gubernur Bali I Wayan Koster meyakini proyek ini akan diselesaikan dalam waktu sesingkatnya. “Sedang dibuat feasibility study (FS), harus mulai beroperasi 2020,” sebutnya usai rapat yang dihelat tertutup dari media itu.
Terkait mangraknya proyek sebelumnya di era Gubernur Mangku Pastika, ia menyebut kali ini tak mungkin gagal. “Dulu dikelola swasta, semua minta tipping fee, ternyata bohongan saja semua,” ia tertawa. Saat ini menurutnya lebih baik karena dikelola BUMN model sharing.
Tantangan lain adalah memastikan pasokan sampah dari kawasan Sarbagita dan ketersediaan lahan untuk menumpuk sampah. Karena sebagian besar gunungan sampah di TPA kini diurug tanah dan ditanami sejumlah pohon.
baca juga : Menyoal Listrik Sampah: Amankah bagi Lingkungan dan Kesehatan?
Proyek Revitalisasi TPA Regional Sarbagita Suwung ini diluncurkan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada Desember 2017 di TPA Suwung. Proyek yang dibuat untuk mengurangi bau, mencegah longsor sampah, dan menyambut sidang tahunan IMF dan World Bank di Bali pada 2018 ini dilaksanakan selama 3 tahun dimulai akhir Desember 2017 sampai Oktober 2019.
Ditanya dampak lingkungan dan risiko ekologi insinerator, Koster menyebut akan dinilai dari Amdal. “Tak ada jalan lain,” katanya soal pemilihan pembakaran sampah untuk jangka pendek ini karena makin tak terkendali. Sementara untuk jangka panjang, Pemprov akan membuat peraturan penanganan sampah dari hulu ke hilir. “Sekarang alirannya dari hulu berjubel di sini, harus dipotong mata rantai. Tahun 2021 bakal setinggi 21 meter,” jelas Koster.
Namun ada risiko lain. Karena ada 2 model penataan TPA, pengelola memerlukan tambahan lahan untuk sanitary landfill, dan yang direncanakan adalah sekitar 1,4 hektar lahan mangrove dekat TPA Suwung. “Ini namanya trade-off, pilihan yang harus dilakukan untuk mengatasi, pilihan pahit, sampah harus diselesaikan,” kata Koster. Pihaknya sedang meminta izin pemanfaatan area taman hutan rakyat mangrove ini ke kementerian.
Diperkirakan pada tengah tahun ini area lama akan berhenti menerima sampah baru. Sampah akan mulai mengisi sanitary landfill. Volume sanitary landfill baru sekitar 1 juta m3, bila diisi sampah 1100 ton/hari akan penuh dalam 445 hari (September 2020). Sementara waktu pembangunan PLTSa hingga operasional perlu 24 bulan (April 2019 – April 2021).
Volume sampah yang masuk selama masa konstruksi diperkirakan 2,7 juta m3. Dengan daya tampung sanitary landfill 1 juta m3, maka perlu area baru untuk menimbun sampah, dan yang diajukan adalah area Tahura Mangrove.
baca juga : Ini PLTS Kayubihi, Satu-satunya Proyek Energi Terbarukan yang Masih Beroperasi di Bali
Yuyun Ismawati, aktivis lingkungan yang giat meneliti pengelolaan limbah berbahaya dan kini bermukim di Inggris mengatakan program waste to energy (WTE) Pirolysis di UK tidak bisa dibandingkan dengan calon WTE Indonesia karena feedstock-nya agak berbeda.
“Memang bisa saja dipaksakan secara teknis pengeringan, campur ini dan itu jadi pellet RDF (Refuse Derived Fuel) lalu dibakar dengan teknik Pyrolysis tapi jadi ada extra unit dan butuh energi,” paparnya soal teknik ini.
Sementara di TPA Suwung, sampah bernilai ekonomi akan jadi rebutan dengan pemulung dan pedaur-ulang yang sudah mapan usahanya. Sampah yang bisa dibakar dan sampai ke Suwung nanti hanya residual dan nilai kalorinya rendah.
“Kemungkinan akan butuh fuel additive to burn the waste dan opsi termurah adalah low grade coal. Pertanyaannya, apa fuel additive yang akan digunakan dalam operasional WTE di Indonesia? Siapa yang akan diuntungkan?” selidik Yuyun terkait kemungkinan penggunaan bahan bakar batu bara ini.
Penerima penghargaan lingkungan The Goldman Environmental Prize 2009 ini menilai semua proyek WTE di Indonesia belum feasible secara finansial maupun ekonomi. Tipping fee Rp400.000 – Rp500.000 per ton sampah menurutnya akan memberatkan Pemda.
Aturan tentang siting atau lokasi WTE di Indonesia juga belum ada. Menurutnya di Eropa ada pembedaan insentif untuk penggunaan thermal treatment sebagai energy from waste facility dan sebagai waste disposal site. Selain itu aturan penanganan abu terbang (municipal incinerator fly ash/MIFA) dan abu kerak (municipal incinerator bottom ash/MIBA) belum jelas.
Ia memperkirakan semua MIBA dan MIFA proyek WTE akan dilonggarkan penanganannya karena Kemenko memaksakan proyek WTE 12 kota harus jadi.
menarik dibaca : Bali Memerlukan Percepatan Energi Bersih dan Terbarukan
Hokkop Situngkir, Direktur Waskita Karya Energi menjelaskan studi kelayakannya rampung April atau Mei ini. Hambatan lebih ke teknis, lahan yang tersedia menurutnya harus sejalan dengan kapasitas PLTSa. “Ingin dipercepat tapi sampah bertambah. Solusinya mempercepat waste management,” ujarnya. Lahan PLTSa diplot 5 hektar, untuk kekurangannya diusulkan penggunaan lahan mangrove untuk tambahan penampungan sampah sementara sekitar 1,4 hektar.
Saat ini sampah Sarbagita lebih dari 1000 ton per hari, peningkatannya sekitar 4% dari tahun 2017 sampai 2019. “Sepanjang 3 tahun setelah PLTSa beroperasi sampah yang datang dan kita tambang bisa kita kelola,” jelasnya. Sampai bisa mengajukan penambahan lokasi penimbun sampah atau menambah daya PLTSa. Tambahkan insinerator sehingga sampah yang dibakar makin banyak.
Ia meyakini dengan tim teknologinya mampu menangani limbah insinerator seperti B3 dan fly ash. “Perlu penanganan khusus, di Indonesia belum ada teknologi pengolahan sampah, yang sudah berhasil Jepang, China, Taiwan,” tambah Hokkop. Ia menyebut salah satu timnya konsultan dari Perancis yang ditunjuk Indonesia Power.