- Pemkab Lembata, NTT, berencana membangun kolam apung dan jety Pulau Awalolong
- Aktivis lingkungan menolak pembangunan tersebut karena dapat merusak lingkungan, kawasan laut, nilai sejarah dan budaya, serta diduga sebagai upaya privatisasi Pulau Awalolong
- Pulau Awalolong diusulkan menjadi kawasan cagar alam, sehingga pengelolaannya dilindungi oleh undang-undang
- Pemkab Lembata beralasan pembangunan kolam apung dan jety sebagai pengembangan destinasi wisata dan justru menyelamatkan Pulau Awalolong dari kepunahan
Pulau Awalolong atau sering disebut Pulau Siput beberapa bulan belakangan ramai diperbincangkan. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) ingin membangun kolam apung dan jety di pulau yang berjarak sekitar 350 meter dari kota Lewoleba.
Para aktivis penolak pembangunan itu membuka posko di depan rumah sakit Damian Eropaun, Lewoleba, Lembata. Mereka juga mendatangi setiap rumah warga meminta dukungan. Bahkan dua buah petisi penolakan dibuat di change.org.
Lambertus Leumara selaku penggagas petisi kepada Mongabay Indonesia, Rabu (13/2/2019) mengatakan Awololong bisa dikategorikan sebagai cagar budaya. Sesuai UU No.11/2010 tentang Cagar Budaya, daerah cagar budaya di darat dan atau di air perlu dilestarikan keberadaannya, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan.
“Bila kita sepakat bahwa Awololong itu bekas kerajaan leluhur dan asal-usul nenek moyang kita, memiliki kebudayaan yang tinggi dengan berlimpah kearifan lokal yang diwariskan hingga saat ini, pantas kalau Awololong patut dilindung dan dilestarikan,” tegasnya.
baca : Wisata Berburu Siput di Awalolong. Perlukah Diatur?
Bila diubah menjadi destinasi wisata kuliner atau hiburan, Lambertus mengatakan Awololong bakal kehilangan sisi sejarah dan budaya penting Lembata.
Pulau Awalolong perlu dibuatkan Perda sebagai kawasan cagar budaya, sehingga bisa dijadikan destinasi wisata dan penelitian sejarah dan budaya.
“Awalolong dipugar dan dilestarikan bukan membangun sesuatu yang baru diatasnya. Bagaimana mau melindungi ekosistem di bawah laut Awalolong kalau di atasnya ada restoran dan kolam apung,” tegasnya.
Belum Miliki Amdal
Dominikus Karangora, putra Lembata yang menjabat Divisi Media dan Komunikasi Walhi NTT menjelaskan Pemkab Lembata menganggap pembangunan kolam apung sebagai sebagai hal yang unik. Menurutnya, alasan itu keliru. Pemkab Lembata tidak dapat membedakan mana ciri khas dan ketertinggalan Pulau Awalolong.
Pulau Awalolong sebagai pulau memiliki potensi sumber daya alam tinggi. Pemanfaatannya harus dilakukan secara berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekologi untuk kesejahteraan masyarakat dan generasi mendatang.
Dominikus menilai pembangunan restoran apung berpotensi menimbulkan kerusakan dan pencemaran laut, sehingga wajib dilakukan Amdal sesuai dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup.
Pengujian Amdal bisa dilakukan di tingkat propinsi sesuai pasal 27 ayat (2) UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. “Sebagai salah satu komisi penilai AMDAL di tingkat provinsi, sampai dengan adanya aksi penolakan pemasangan tiang pancang di Awalolong, belum ada dokumen AMDAL yang kami terima sehingga pembangunan itu harus dihentikan,” katanya.
Melalui Forkopimda, lanjutnya, Pemkab Lembata harus menjelaskan kepada masyarakat tentang izin yang telah didapat dari Pemprov NTT, apakah itu izin lokasi, izin pengelolahan atau izin lingkungan.
baca juga : Masyarakat NTT Melawan Proyek Reklamasi di Lembata. Ada Apa?
Upaya Privatisasi
Walhi NTT menganggap pembangunan kolam apung dan jety sebagai upaya privatisasi sumber daya alam karena nantinya publik harus membayar untuk mengaksesnya.
Sebagai pulau kecil, kata Dominikus, pengelolaan Pulau Awalolong diatur UU No.1/2014 tentang Pengelolahan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU No.1/2014 itu menjelaskan wilayah pesisir atau pulau kecil milik negara yang diperuntukkan untuk konservasi dan ruang-ruang publik bukan untuk privatisasi.
Selain itu, izin pembangunan yang memanfaatkan sisi laut atau perairan pesisir dalam bentuk HP-3 (Hak Pengelolahan Perairan Pesisir) dan diberikan kepada perseorangan, badan hukum atau masyarakat adat.
“HP-3 tidak diperuntukkan bagi lembaga negara. Pengelolahan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus harus berdasarkan peran serta masyarakat,” sebutnya.
Dalam prosesnya, Pemerintah hanya melakukan sosialisasi dengan sebagian kecil masyarakat. Dominikus menduga demi memuluskan niat privatisasinya, Pemkab menciptakan situasi yang berpotensi terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.
Sebab berdasarkan sosio-historisnya, Awalolong bukan milik sekelompok suku. Ada banyak suku yang memiliki hubungan dengan Awalolong. Masing-masing suku mempunyai cerita tentang Awalolong dan sampai saat ini, suku-suku tersebut belum duduk bersama untuk membicarakannya.
“Untuk itu WALHI NTT meminta Bupati Lembata untuk segera menghentikan pembangunan kolam apung dan jety tersebut,” tegasnya.
menarik dibaca : Benarkah Proyek Reklamasi Pantai Lembata Langgar Hukum?
Menjaga Kepunahan
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday kepada Mongabay-Indonesia menjelaskan, pembangunan tetap berjalan. Izin lingkungan UPL dan UKL sudah diurus. Karena pembangunan kolam apung dan jety itu skala kecil, maka tidak perlu ada AMDAL.
Thomas beralasan Pemkab Lembata ingin agar Awalolong jangan hilang tinggal nama. Karena dari luas awal sekitar 65 hektar, sekarang hanya tersisa 9 hektar.
“Saat ini kan orang hanya datang dan pulang. Nantinya ada tempat semacam rest area dimana orang bisa duduk bersantai dan berceritera. Tujuan jangka panjang kita suatu saat riset-riset mengenai siput di Awalolong. Bukan cuma wisata bahari tetapi wisata budaya juga. Ada jety apung agar perahu nelayan bisa bersandar disitu. Pemerintah ingin agar setiap orang yang ke Awalolong punya tempat untuk berceritera mengenai sejarah pulau ini,” pungkasnya.
baca juga : Soal Moratorium Tambang, Gubernur NTT Ditagih Janji Utamakan Pariwisata dan Pertanian