- Selama puluhan tahun, warga Dusun Sungai Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hidup dalam keterbatasan air bersih. Sumber air dipasok dari luar dusun dan air hujan
- Sulitnya air bersih mengganggu kesehatan warganya. Penyakit diare akibat kebiasaan meminum langsung air hujan tanpa dimasak menjadi penyakit umum. Perkembangan anak-anak cenderung stunting
- Setiap keluarga di Dusun Sungai Sembilang setiap bulan sedikitnya mengeluarkan biaya sebesar Rp285 ribu untuk membeli air bersih untuk minum, masak, mencuci, dan mandi. Penggunaan air mineral kemasan juga mendatangkan persoalan baru yakni sampah plastik yang akhirnya mengganggu kesehatan masyarakat
- Meski pendapatan para nelayan di Dusun Sungai Sembilang cukup untuk kebutuhan keseharian, tapi sebagian besar habis digunakan untuk biaya BBM, air bersih, dan tingginya harga kebutuhan pokok
***
Pengantar
Taman Nasional Berbak Sembilang yang berada di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, serta di Kabupaten Muaro Jambi – Tanjung Jabung Timur, Jambi, telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO. Pengukuhan ini dilakukan pada sidang ke-30 International Coordinating Council of the Man and Biosphere Programme [ICC-MAB] di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu [25/7/2018].
Terkait penetapan cagar biosfer tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang mengadakan liputan penulisan bertema “Lanskap Sriwijaya”. Para peserta, selain diberi pemahaman ekologi dan lanskap [bentang alam], teknik jurnalistik seperti pembuatan proyeksi, peliputan dan penulisan narasi, juga meliput langsung ke bentang alam Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Kegiatan ini dilaksanakan pada 10-16 November 2018, dengan dukungan Mongabay Indonesia, ZSL Indonesia, dan KOLEGA South Sumatra. Dari pelatihan ini, terpilih enam tulisan yang akan ditayangkan setiap hari, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan batas waktu pengiriman, Januari 2019.
Baca tulisan sebelumnya:
Berharap Nelayan Hidup Harmonis di Dusun Sungai Sembilang
Petis Udang Sembilang, Lama Mengolahnya Susah Menjualnya
***
Persoalan air bersih untuk dikonsumsi masyarakat di Dusun Sungai Sembilang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, sudah berlangsung puluhan tahun. Mereka sangat bergantung pasokan dari luar dusun, jika dulu air sumur tanah kini air kemasan. Sumber air bersih lainnya adalah air hujan.
“Kalau saya langsung minum air hujan. Selama ini saya sehat-sehat saja, jarang kena diare. Tapi kalau untuk buat susu untuk anak, saya rebus dulu,” kata Yana [40], ibu tiga anak yang lahir dan besar di Dusun Sungai Sembilang. Dusun ini terbentuk sejak 1968, merupakan permukiman penduduk tertua dibandingkan enam dusun dan desa lainnya di Sembilang.
Minum air hujan tanpa dimasak juga dilakukan Junaidi [13], anak Yana. “Segar nian kalau minum air hujan,” kata Junaidi yang tingginya hanya 120 sentimeter dan berat 48 kilogram. Anak sehat, usia 13 tahun, seharusnya memiliki tinggi badan berkisar 150-160 sentimeter dan berat 50 kilogram.
“Kawan-kawan aku di sini juga banyak yang langsung minum air hujan. Kami tidak sakit perut,” jelasnya.
Jika hujan tidak turun, kata Yana, dia membeli air mineral. “Satu galon seharga Rp15 ribu untuk kami berempat. Suami saya jarang pulang karena selalu melaut, mencari ikan.”
Jika dia tidak memiliki uang untuk membeli air, dia akan membeli air hujan yang dijual warga. Harganya Rp5.000 per jerigen.
Kebiasaan minum air hujan tanpa dimasak atau direbus juga diakui warga lain. “Di sini sudah biasa,” kata seorang tetangga Yana yang keberatan disebut namanya.
Mengutip artikel yang ditulis Henny Anugerah di Halosehat.com, ada 10 ancaman kesehatan bila minum air hujan. Mulai dari sakit perut, demam berdarah, kelainan pembuluh darah, hingga turunannya daya tahan tubuh.
Rasyid [45], petugas kesehatan Puskesmas Pembantu Dusun Sungai Sembilang, membenarkan jika kebiasaan minum air hujan secara langsung atau tanpa dimasak banyak dilakukan warga di dusun tersebut. “Makanya penyakit diare dan tekanan darah tinggi banyak dialami warga di sini,” ujarnya.
Kemungkinan banyaknya anak di Dusun Sungai Sembilang mengalami stunting, kata Rasyid, sangat mungkin sebagai dampak sulitnya air bersih untuk dikonsumsi. Misalnya, banyak anak pertumbuhannya tidak sesuai usia, seperti Junaidi, anak Yana, yang pertumbuhannya terlambat.
“Pemerintah sepertinya belum memikirkan hak anak untuk hidup sehat, seperti kebutuhan air bersih. Padahal mereka tinggal di negara yang kaya akan sumber daya alam. Semoga pemerintah bisa mencarikan solusi mengatasi persoalan air bersih di dusun ini,” terangnya.
Rasyid mengatakan, sampah plastik air kemasan juga menumpuk setiap hari. Memang warga membeli menggunakan galon, tapi sebagian lagi dalam dalam botol dan plastik, seperti nelayan, juru mudi speedboat atau tongkang, serta para pendatang. “Sampah terus bertambah, pastinya.”
Puluhan juta untuk air bersih
Setiap keluarga di Dusun Sungai Sembilang dipastikan membeli air bersih setiap harinya, meskipun di musim penghujan. Artinya pada saat musim penghujan, mereka hanya dapat menghemat biaya.
Guna membeli air minum, setiap keluarga rata-rata butuh 15 galon, sehingga harus mengeluarkan uang Rp225 ribu per bulan. Sementara air untuk mandi dan mencuci, yang dibeli dari sumur bor, dua jerigen per hari atau Rp2.000 per jerigen. Sebulan Rp60 ribu. Total pengeluaran untuk air bersih sekitar Rp285 ribu per keluarga. Dalam sebulan, warga Dusun Sungai Sembilang yang berjumlah 1.430 jiwa dari 327 kepala keluarga belanja air bersih sebesar Rp93.195.000.
“Jika musim hujan mungkin hemat sekitar Rp50-100 ribu per bulan,” kata Anwar [50], warga Sembilang.
Mengolah air payau siap dikonsumsi
Guna mengatasi persoalan air bersih, hingga mengurangi ketergantungan masyarakat dengan air mineral yang salah satunya dampaknya berupa sampah plastik dan biaya hidup yang tinggi, Yayasan Simpul Indonesia mengembangkan air bersih yang diambil dari sumur bor. Diproses dengan filter untuk siap dikonsumsi yang dinamai Rumah Water Treatment.
Tahap awal, baru satu sumur bor dibuat, kedalamannya 120 meter. Pada Oktober 2018, sumur ini telah beroperasi, airnya dibagikan gratis ke warga. Rencananya, air yang dinyatakan sehat untuk dikonsumsi itu dijual seharga Rp5.000 per galon.
Anang [60], pengurus sumur bor mengatakan, air hasil sedotan awal rasanya payau. “Berikutnya, diproses tujuh jam agar siap konsumsi,” jelasnya.
Berdasarkan perhitungan sederhana, meski pendapatan nelayan Dusun Sungai Sembilang sekitar Rp350 ribu per hari atau Rp10.500.000 per bulan per kapal, yang rata-rata dibawa dua nelayan selama sembilan bulan -namun ada tiga bulan musim yang tidak baik untuk melaut sehingga sebagian besar uang dikeluarkan untuk membeli air bersih dan bahan bakar minyak [BBM].
Penghasilan harian itu, setengahnya dibelanjakan BBM. Sisanya, dibagi dua nelayan yakni Rp75 ribu per orang atau Rp2.250.000 sebulan. Penghasilan ini kemudian dikurangi biaya air bersih keluarganya sekitar Rp285 ribu per bulan.
Sisanya, sekitar Rp1.960.000, untuk biaya makan dan sandang per keluarga nelayan yang rata-rata empat orang. Penghasilan ini tidak utuh di tangan para istri, sebab sering dikurangi biaya rokok. Penghasilan bersih ini dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti beras, sayur, minyak, dan gula yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan di kota.
“Lebih mahal dibandingkan di Palembang karena semua kebutuhan pokok ini didatangkan dari sana yang biaya angkutnya cukup mahal,” kata Anwar.
“Kami terbantu lauk berupa ikan karena tidak dibeli. Para ibu di sini siap bekerja atau membantu pekerjaan apa pun jika ada upahnya, agar ada uang tambahan,” tandas Yana.
* Hega Dwi Dian Dola, mahasiswa semester VI Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Email: [email protected]