- Maluku Utara berada di tiga lempengan besar yang memengaruhi tingkat kegempaan. Ada juga sesar Halmahera, yang bisa menimbulkan bencana gempa lebih dahsyat
- Sesar Halmahera baru ditemukan sekitar 1994, ketika Kecamatan Kao dan Malifut, Halmahera Utara, gempa besar lebih tujuh skala richter
- Informasi soal sesar Halmahera masih minim. Jadi, perlu riset lebih lanjut, antara lain untuk melihat pergerakan maupun periodesasi gempa dari sesar ini
- Pada 2018, Malut alami gempa tektonik 970 kali. Pada 2017, terjadi 852 kali gempa tektonik dan gempa berkerumun (swarm)di Halmahera Barat, sebanyak 2.809 kali.
Wilayah Maluku Utara, rawan risiko bencana, antara lain gempa bumi. Wilayah ini berada di tiga lempengan besar yang memengaruhi tingkat kegempaan. Ada juga sesar Halmahera, yang khawatir menimbulkan bencana gempa lebih dahsyat.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ternate menyebutkan, ada sesar baru ditemukan sekitar 1994, ketika Kecamatan Kao dan Malifut, Halmahera Utara, dilanda gempa besar lebih tujuh skala richter. Usai gempa ditemukan ada sesar baru di tengah Pulau Halmahera.
Kustoro Hariyatmoko, Kepala BMKG Ternate saat memaparkan sebaran peta gempa bumi di Maluku Utara, mengatakan, sebaran gempa bumi di Malut sangat kompleks karena dipengaruhi tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Indo Australia.
Tidak hanya tiga lempeng besar itu, juga ada sesar Halmahera di daratan Pulau Halmahera yang bergerak dan mempengaruhi beberapa daerah yang selama ini jarang gempa. Meski begitu, katanya, untuk memastikan siklus atau perulangan kejadian dari sesar Halmahera perlu riset lanjutan.
Data awal, tentang sesar Halmahera ini belum sampai 50% jadi perlu riset guna menggali lebih banyak lagi, setidaknya 60-70%.
“Tujuan riset untuk memastikan perulangan apakah 20 tahun atau 30 tahun,” katanya dalam pertemuan membahas kesiapsiagaan bencana diadakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) akhir Januari lalu.
Dia mencotohkan, sesar Palu Koro, misal, memiliki siklus perulangan selama 30 tahun. Dari riset itu, bisa dihitung berapa lama lagi periodesasi perulangan gempa.
Bagi Kustoro, sesar Halmahera sangat berbahaya karena pasca gempa besar di Kao dan Malifut, belum ada aktivitas kegempaan lebih besar. Artinya, aktivitas sesar ini sedang terkunci. “Hal ini sebenarnya sangat berbahaya. Jika terjadi periodesasi perulangan peritsiwan gempa akan makin dahsyat.”
Sesar besar di laut Maluku, atau sesar Sula- Sorong, katanya, memiliki skala gempa cukup besar. Contoh, gempa dari sesar Sula Sorong pada 1998 menyebabkan tsunami di Mangole, Kabupaten Kepulauan Sula. Dari semua sesar ini, katanya, sangat perlu kewaspadaan guna menghindari korban jatuh.
Catatan gempa empat tahun terakhir terbilang cukup tinggi. Data BMKG Ternate menyebutkan, sebaran gempa bumi laut Maluku, sangat dominan di Halmahera. Begitu daerah sesar Sula Sorong, memengaruhi Bacan Obi dan sebagian besar Halmahera Selatan.
Untuk jumlah gempa, katanya, terbayak di Halmahera Barat, dengan gempa swarm atau berkerumun karena terjadi hampir sepanjang tahun. Selain di Halbar dan Morotai. Di Selatan Halmahera juga terjadi hal sama.
Di selatan Pulau Bacan, katanya, terjadi gempa hampir setiap saat. Data 2017, gempa cukup banyak terjadi di Morotai, bahkan sempat merusak fasiltas di Pulau Rao.
Tahun 2018 , juga gempa di Selatan Halmahera, menyebabkan sebagian besar warga mengungsi ke ketinggian.
“Ke depan perlu upaya riset periodesasi gempa yang pernah terjadi disertai tsunami. Terutama kesiapsiagaan aparatur mengantisipasi ketika bencana,” kata Kustoro.
Dia bilang, sebenarnya di beberapa daerah, warga punya kesiapsiagaan gempa dan tsunami. Yang perlu jadi pertanyaan, katanya, kesiapsiagaan aparat menjawab persoalan ketika bencana terjadi.
Dedy Arif, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Malut bilang, sesar Halmahera sangat berisiko jika gempa. Apalagi, tipe sesar Halmahera berada di daratan. Kalau gempa tepat di sesar akan menimbulkan destruksi karena gempa kuat. Sesar Halmahera, katanya, sesuai penjelasan BMKG memanjang mengikuti Pulau Halmahera. Kondisi ini, katanya, mengkhawatirkan karena mengancam daerah-daerah di pulau itu.
Dedy mencontohkan, Weda, Halmahera Tengah, selama ini jarang gempa. Belakangan, pada akhir 2018, mulai terasa beberapa kali gempa. Dia duga, gempa ini karena gerakan sesar Halmahera.
Baginya, penjelasan BMKG mengenai sesar Halmahera ini data awal yang memerlukan riset serius. “Riset harus karena yang dipaparkan itu data awal. Melalui riset ditelusuri posisi sebenarnya sesar Halmahera. Ketika gempa diketahui titik atau triangulasinya.”
Sesar Halmahera , kata Dedy, sesuai peta gempa yang dipaparkan BMKG sudah diketahui posisi atau titik pusat, di Kao, Halmahera Barat. Namun demikian, perlu riset lebih lanjut memastikan titik-titik gempa.
Data BMKG Ternate juga menyebutkan hampir setiap saat di beberapa kawasan gempa hanya berskala kecil hingga tidak terlalu berdampak pada kerusakan dan korban jiwa. Data gempa dalam empat tahun terakhir banyak dan fluktuatif.
Pada 2018, Malut alami gempa tektonik 970 kali. Pada 2017, terjadi 852 kali gempa tektonik dan gempa berkerumun di Halmahera Barat, sebanyak 2.809 kali.
Pada 2016, gempa 862 kali dan 2015, kejadian gempa tektonik 964 kali dan gempa berkerumun di Halmahera Barat 1.164 kali. Gempa berkerumun lebih merusak dibandingkan kejadian 2017.
“Gempa swarm 2015 itu skala lebih besar dan menyebabkan beberapa kerusakan bangunan dan korban jiwa,” katanya.
Bicara gempa berkerumun yang melanda Halmahera Barat, kata Kustoro, memang sangat unik hingga perlu riset lanjutan.
Halbar, menjadi satu-satunya tempat yang mengalami gempa berkerumun dengan kejadian begitu banyak. Halbar, juga memiliki dua gunung berapi yaitu Gunung Gamkonora dan Gunung Ibu.
Dengan kondisi Halbar yang rawan gempa maupun ada dua gunung berapi ini, pemerintah daerah dan masyarakat perlu memiliki model mitigasi bencana yang baik.
Soal gempa berkerumun begitu banyak terjadi dan hanya berpusat di Halbar, menyebabkan banyak informasi beredar bahwa kejadian ini karena aktivitas gunung api bawah laut purba. Dedy bilang, sampai saat ini belum ada literuatur atau riset menjelaskan ada gunung api purba di kawasan itu.
“Saya belum pernah membaca riset tentang gunung api purba di laut Teluk Jailolo yang memengaruhi gempa swarm di Jailolo.”
Dia bilang, riset gempa swarm di Jailolo, sebenarnya sudah mulai oleh BMKG bekerjasama dengan German Research Centre For Geosciences (GFZ) Jerman, dengan melibatkan IAGI Malut.
Setidaknya, kata Dedy, dengan riset itu Pemerintah Halbar, perlu membuat berbagai pertimbangan dalam membangun daerah dan mitigasi.
“Misal, dalam pengembangan dan pembangunan tata ruang Kota Jailolo, tetap memperhatikan hasil hasil riset itu,”katanya seraya bilang, gempa swarm baru terjadi di Jailolo.
Fenomena swarm sendiri, katanya, terjadi lebih pada bagaimana magmatik dan tektonik saling mempengaruhi satu dengan lain. Mengacu hal ini, katanya, jenis konstruksi bangunan di wilayah ini, harus benar-benar sesuai standar bangunan aman bencana.
Keterangan foto utama: Pulau Halmahera, Muluku Utara. Wilayah Maluku Utara, rawan risiko bencana, antara lain gempa bumi. Wilayah ini berada di tiga lempengan besar yang memengaruhi tingkat kegempaan. Ada juga sesar Halmahera, yang khawatir menimbulkan bencana gempa lebih dahsyat. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia