Mongabay.co.id

Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 3]

Seorang staf membersihkan rerumputan di bawah solar panel PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Bali I Wayan Koster menegaskan bahwa pemerintahannya akan beralih pada energi bersih dan terbarukan (EBT). Gubernur baru yang dilantik pada September 2018 lalu ini berkali-kali menyebutkan Bali akan lebih banyak menggunakan energi gas dibanding bahan lain seperti batubara.

Namun, komitmen itu justru dipertanyakan ketika saat ini Bali masih menggantungkan listriknya terutama dari pembangkit listrik berbahan batubara dan diesel. Apalagi, dalam kasus terakhir, warga justru kalah ketika menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Bali sebelumnya terkait pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang yang menggunakan batubara.

Tulisan ketiga atau terakhir ini bagian dari tulisan berseri yang menelisik sejauh mana Gubernur Bali berusaha mewujudkan komitmen itu dalam kebijakan dan programnya, bukan hanya pernyataan. Bagian kali ini tentang apa saja energi alternatif yang bisa digunakan dan apa tantangannya.

Tulisan pertama bisa dibaca dengan mengklik tautan ini. Tulisan kedua dengan mengklik tautan ini.

***

Suasana senyap terasa di tengah hutan kawasan Bedugul, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali pertengahan Desember 2018 lalu. Pohon-pohon setinggi sekitar 5 meter memenuhi hutan yang masuk kawasan Bukitcatu, Desa Candikuning itu. Hanya semilir angin terdengar sesekali seperti juga suara burung dan serangga.

Di salah satu titik, sisa-sisa pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) masih berdiri di dalam hutan. Hutan lebat mengelilingi pembangkit dan fasilitas lain yang sebagian besar sudah berkarat itu.

PLTP Bedugul sudah hampir 15 tahun mangkrak. Padahal, dia pernah digadang-gadang untuk menjadi sumber energi bersih dan terbarukan di Bali. Apalagi jika dibandingkan dengan batubara. Namun, rencana itu kemudian gagal meskipun investor sudah membangun pembangkit di tiga lokasi berbeda di kawasan itu.

Pembangunan PLTP Bedugul dilakukan pada 1995 oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan Bali Energy Ltd (BEL). Pertamina sendiri sudah merencanakan sejak 1974 dengan menetapkan Kabupaten Buleleng dan Tabanan sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi.

Menurut studi investor, PLTP Bedugul ini akan menghasilkan setidaknya 165 MW. Sumber lain menyebut akan sampai 414 MW.

baca :  Bali Memerlukan Percepatan Energi Bersih dan Terbarukan

 

PLTP Bedugul dibangun pada 2005 tetapi saat ini mangkrak karena ditolak warga. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Namun, rencana puluhan tahun itu kemudian ditentang warga setempat meskipun pembangunan sudah selesai sebagian. Sumur sudah dieksplorasi. Pembangkit sudah terpasang. Begitu pula dengan kolam pengolahan limbah.

Alasan penolakan warga saat itu adalah karena PLTP Bedugul berada di pegunungan yang oleh umat Hindu setempat dianggap suci. Beberapa organisasi, seperti Walhi Bali dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) turut menolak proyek geothermal di Bedugul.

DPRD Bali pun bersuara sama untuk menolak. Salah satu Anggota DPRD Bali pada saat itu I Gusti Made Suryantha Putra mengatakan pembangunan PLTP Bedugul berada di ‘hulu’ yaitu gunung dan hutan yang termasuk kawasan disakralkan, Kawasan ini juga sebagai sumber air kehidupan.

“Jika sampai ini rusak maka kehidupan dan keharmonisan akan terganggu,” ucapnya seperti ditulis Kantor Berita Antara.

baca juga :  Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

 

Diungkit Lagi

Hampir 15 tahun berselang sejak proyek itu terhenti, wacana tentang perlunya menghidupkan lagi PLTP Bedugul mulai muncul kembali. Begitu pula pada saat Gubernur Bali I Wayan Koster selalu mengatakan bahwa Bali akan bergantung pada EBT, bukan energi fosil.

Dalam kunjungan kerja ke Bali pada pertengahan Februari lalu, Komisi VII DPR RI pun sempat mengajukan ide untuk menghidupkan kembali PLTP yang masih mangkrak hingga saat ini. Namun, Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati tegas menolak ide itu.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali Ni Luh Made Wiratni mempertegas penolakan itu. “Geothermal (PLTP Bedugul) sudah pasti Gubernur tidak akan mau. Berapapun investornya mau berinvestasi lagi. Saya sudah bolak-balik mendampingi beliau bertemu investor dan beliau tetap menolak,” kata Wiratni.

baca juga :  Begini Wacana Pembangunan Bersih Gubernur Baru Bali. Realistiskah?

 

Sisa-sisa PLTP Bedugul yang saat ini tidak berfungsi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

I Gusti Bagus Wijaya Kusuma, profesor di bidang konservasi energi Fakultas Teknik Universitas Udayana, termasuk salah satu anggota tim ahli yang pada saat itu diminta oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk mengkaji sejauh mana peluang penggunaan PLTP Bedugul untuk memenuhi kebutuhan energi Bali, terutama dari sisi EBT.

“Dari kajian kami di lapangan terdapat beberapa pembohongan publik,” kata alumni S3 Brunel University, London ini.

Pertama, menurut Wijaya, potensi energi listrik yang dihasilkan tidaklah setinggi yang disampaikan kepada publik. Hanya sekitar 4 MW dari tiap sumur. Kedua, pembangunan PLTP Bedugul dibangun dengan cara menakut-nakuti penduduk Bali bahwa akan terjadi masalah listrik jika tidak dibangun pembangkit baru. Ketiga, proses pembangunannya juga tidak melibatkan publik.

“Dari sisi ekonomi, PLTP Bedugul juga tidak visibel,” lanjutnya.

Selain karena ada penolakan, menurut Wijaya, pembangunan itu juga tidak berlanjut karena investor memiliki masalah internal. Mereka belum siap secara finansial.

Ketika kemudian saat ini muncul wacana untuk melanjutkan lagi pembangunan PLTP Bedugul, bagi Wijaya, itu sebenarnya mengulangi cerita lama. Sebagai salah satu orang yang membuat draf alasan menolak PLTP Bedugul, Wijaya mengatakan, alasan pada saat itu tetap relevan. Tidak hanya karena alasan agama dan budaya, tetapi juga karena secara hukum dan teknis juga tidak sesuai.

“Saya tidak mungkin menelan ludah saya sendiri dengan menerima ide geothermal Bedugul lagi meskipun nantinya sudah menggunakan metode terbaru,” katanya.

Wijaya mengatakan PLTP Bedugul juga tidak bisa disebut sebagai energi terbarukan karena uap yang dikeluarkan bisa habis jika tidak diinjeksikan kembali ke dalam bumi. Jika memang mau fokus pada EBT, menurut Wijaya, Gubernur Bali seharusnya bisa fokus pada tenaga surya.

Menurut Wijaya beberapa lokasi yang cukup luas di Bali, misalnya Nusa Penida, potensial menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Dengan menggunakan teknologi baru, lanjutnya, tiap 1 ha lahan bisa menghasilkan 10-12 MW. Artinya, Bali hanya memerlukan lahan tak lebih dari 150 hektare untuk memenuhi kebutuhan energi listriknya.

“Kalau untuk energi angin, Bali tidak terlalu bagus karena relatif lebih lemah,” katanya. Begitu pula dengan sumber energi alternatif lain semacam arus laut. Wijaya mengaku sudah pernah membuat pembangkit listrik arus laut di selat antara Nusa Penida dan Nusa Ceningan, Klungkung tetapi gagal karena arus yang terlalu kuat itu.

baca juga :  PLTS Kubu, Proyek Ambisius yang Kini Tidak Terurus

 

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Nusa Penida mangkrak dan baling-baling pembangkit listrinya tidak ada yang berfungsi sama sekali saat ini. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Evaluasi Energi

I Gusti Agung Putra Putradhyana, praktisi energi bersih dan terbarukan, termasuk yang mendorong agar kebijaakan EBT Bali lebih memberikan perhatian pada sumber-sumber energi alternatif, seperti tenaga surya.

Secara umum, arsitek yang lebih akrab dipanggil Gung Kayon ini mengapresiasi iktikad Gubernur Bali untuk beralih ke EBT. Hal itu bisa terlihat dari beberapa rencana seperti peralihan dari batubara dan diesel ke gas serta rencana pembangunan center of excellence (CoE) EBT di Kayubihi, Bangli dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 50 MB x 2 di Melaya, Jembrana.

baca juga :  Ini PLTS Kayubihi, Satu-satunya Proyek Energi Terbarukan yang Masih Beroperasi di Bali

Ada pula rencana pembuatan Peraturan Daerah tentang penggunaan kendaraan listrik di Bali. “Saya lihat dia (Gubernur Bali) serius dengan penggunaan EBT di Bali,” katanya.

Gung Kayon sepakat bahwa penggunaan tenaga surya tidak bisa serta merta diterapkan di seluruh Bali. Perlu kesiapan biaya dan jaringan. Untuk itu Bali perlu skenario jangka pendek, menengah, dan panjang.

Untuk jangka panjang, akan lebih bagus kalau Bali bergantung sepenuhnya pada EBT. Dalam masa transisi tersebut, penggunaan gas sebagai pilihan sementara bisa dipahami. “Masalahnya, kita juga masih impor sumber energi gas ini baik dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga belum bisa mandiri energi,” katanya.

menarik dibaca :  Memanen Cahaya Mentari ala Kayon

 

Gung Kayon memperlihatkan sepeda listriknya yang menggunakan energi dari matahari. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Idealnya, menurut Gung Kayon, Bali bisa melakukan bauran energi bersih. Selain dari matahari, sumber energi lain yaitu hidro. “Jika memang tenaga surya dibilang intermiten, maka Bali perlu baterai penyimpanan energi skala besar. Jepang sudah memberikan contoh bagaimana mereka bisa menggunakan baterai bekas mobil untuk menyimpan energi listrik,” katanya.

Di sisi lain, ambisi peralihan ke EBT itu juga perlu disertai dengan evaluasi penggunaan energi di Bali. Tidak hanya sekadar penggantian pembangkit. Dengan evaluasi itu akan terlihat penggunaan apa saja yang mungkin bisa dikurangi dan dihemat. “Jadi tidak hanya berganti sumber energi, tetapi juga menghemat penggunaan energi itu sendiri,” ujarnya.

Evaluasi penggunaan energi itu bisa dilakukan dalam skala kecil. Misalnya, individu dan rumah tangga. Dari sana, pengguna juga bisa melakukan desentralisasi sumber energi. Kayon menyebut contoh penggunaan sepeda listrik tenaga surya yang dia lakukan selama ini sebagai salah satu bentuk desentralisasi itu. “Penggunaan energi listrik harus disesuaikan dengan kebutuhan. Jadi bisa lebih efisien,” katanya.

“Untuk itulah, pendidikan kepada warga terkait penggunaan listrik juga penting dilakukan,” tegas Gung Kayon.

baca juga :  Mewujudkan Kemandirian Energi Berawal dari Desa di Bali

***

Keterangan foto utama : Seorang staf membersihkan rerumputan di bawah solar panel PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version