- Populasinya badak jawa yang kecil, hanya 67 individu di Semenanjung Ujung Kulon, dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas genetic
- Hasil analisa genetik yang dilakukan melalui kotoran menunjukkan, dari 19 individu yang diteliti, ternyata berasal dari dua garis keturanan induk betina
- Rencana habitat ke dua badak jawa sudah direncanakan sejak 1993 ketika dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] Badak Indonesia 1993-2003 disahkan. Dilanjutkan SRAK Badak Indonesia 2007-2017
- Dalam bahasan draf SRAK Badak Jawa [2019-2029] pada 25 Januari 2019, muncul usulan perluasan habitat badak jawa di Ujung Kulon
***
Baca tulisan sebelumnya:
Terancam Punah, Haruskah Badak Jawa Bertahan di Ujung Kulon?
Badak Jawa Bisa “Marah” pada Manusia
Habitat Badak Jawa, Adakah yang Seideal Ujung Kulon?
***
Seekor buaya muara [Crocodylus porosus] terus meronta dalam jaring nelayan di tepi pantai Paniis, Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Sebagian besar penduduk Kampung Paniis melihat kejadian yang tidak biasa itu, sejak pukul 18.00 WIB hingga perlahan cahaya purnama muncul.
Tanpa diduga, suara ombak menderu terdengar mendekati pantai. Semua yang ada segera berlari, menyelamatkan diri. “Hanya seorang nenek yang menjadi korban hempasan tsunami di Paniis ini. Semua penduduk menuju perbukitan Gunung Honje di selatan kampung,” tutur Untung, petugas jagawana di Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], 22 Januari 2019 lalu.
Tsunami akibat longsoran 64 hektar Gunung Anak Krakatau pada Sabtu, 22 Desember 2018, pukul 21.30 WIB, telah menewaskan ratusan orang di pesisir Selat Sunda. Namun, hanya satu jiwa yang jadi korban di Kampung Paniis. Mereka “diselamatkan” kehadiran buaya meronta sebagai peringatan dini dari alam.
“Oleh karena itu, badak jawa [Rhinoceros sondaicus] aman-aman saja di Semenanjung Ujung Kulon,” terang Mamat Rahmat, saat menjabat Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon [sekarang Kepala Sub Direktorat Pemulihan Ekosistem Kawasan Konservasi], 22 Januari 2019. “Tidak ditemukan satu pun badak jawa menjadi korban. Sebab, semua satwa yang ada di Semenanjung Ujung Kulon memiliki insting melarikan diri ke perbukitan.”
Gunung Anak Krakatau tengah bertumbuh. Erupsi yang terjadi merupakan fase konstruksi, membangun tubuhnya hingga besar. “Untuk mencapai sebagaimana Krakatau meletus pada 1883, memerlukan waktu ratusan tahun. Namun, siklus yang terjadi patut diwaspadai,” papar Yanwar, pensiunan BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika] divisi mitigasi gempa dan tsunami.
Namun, yang mengancam badak jawa dari kepunahan bukan hanya erupsi Gunung Anak Krakatau. “Populasinya yang kecil, hanya 67 individu di satu kantong Semenanjung Ujung Kulon, telah memperlihatkan penurunan kualitas genetik,” ujar Rois Mahmud, Rhino Conservation Coordinator WWF Indonesia-Ujung Kulon.
Ada badak jantan yang kakinya membengkak hingga jalannya diseret, namanya Si Robot. Ada yang telinganya melipat dan robek, panggilannya Si Rawing. “Hasil analisa genetik yang dilakukan melalui kotoran menunjukkan, dari 19 individu yang diteliti, ternyata berasal dari dua garis keturanan induk betina,” terangnya.
SRAK Badak
Sejak 1974, ketika “jawara” pemburu badak, Sarman dan Murdja’i ditundukkan, perburuan ditenggarai tidak ada lagi. Namun, genderang perang tetap ditabuh. Hingga saat ini, 5 Rhino Protection Unit masih beroperasi sejak 1999.
Sementara, rencana second habitat atau rumah kedua badak jawa sudah direncanakan sejak 1993 ketika dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] Badak Indonesia 1993-2003 ditandatangani Menteri Kehutanan [kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan]. Lalu, dilanjutkan SRAK Badak Indonesia 2007-2017.
Dalam bahasan draf SRAK Badak Jawa [2019-2029] terbaru, 25 Januari 2019 bahkan, muncul usulan perluasan habitat di Ujung Kulon. Aksi darurat tahap pertama untuk tiga tahun, 2019-2022, merupakan bagian utama dokumen penyusunan SRAK tersebut.
Habitat badak jawa saat ini hanya di Semenanjung Ujung Kulon yang dibatasi Tanah Genting, sekitar dua kilometer jaraknya dari pantai selatan Karangranjang ke pantai utara Laban. Semenanjung Ujung Kulon ada di barat Tanah Genting, ke timurnya terbentang dataran rendah yang menghubungkan ke perbukitan Gunung Honje.
Sebagian kawasan Gunung Honje, saat ini menjadi kawasan Javan Rhino Studi and Conservation Area [JRSCA]. Koridornya Semenanjung Ujung Kulon; Cibandawoh-Karangranjang ke Gunung Honje; dan Kalejetan-Aermokla. “Baru tiga badak jantan lalu-lalang di kawasan tersebut,” tambah Mamat Rahmat. “Satu badak jantan mati, bernama Samson di pantai Karang Panjang, 23 April 2018 lalu,” tambahnya.
Perluasan habitat di kawasan Gunung Honje, perlu dikondisikan dari JRSCA di Cihujan-Cilintang bagian barat ke Cimahi-Cibiuk bagian timur Gunung Honje. Jika luas JRSCA sekitar 5.000 hektar, ditambah perluasan habitat sekitar 5.000 hektar, akan ada kantong populasi ke dua di habitat alaminya seluas 10.000 hektar.
“Perluasan habitat ini tidak dapat disebut second habitat. Rumah kedua badak jawa harus ditentukan di luar Ujung Kulon,” jelasnya.
Perluasan habitat memang harus ada sosialisi ke masyarakat sekitar, sebelum dibuat perencanaan lokasi dan studi kelayakan. “Secara teknis kami siap membantu,” kata Harini Muntasib, dosen IPB yang juga Ketua Tim Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak JRSCA.
Sosialisasi pastinya memerlukan waktu, khususnya pendampingan masyarakat sekitar. Studi kelayakan dan pembangun koridor yang menghubungan daerah sebaran, secara teknis lebih mudah dilakukan. “Sosialisasi perluasan habitat perlu segera dilakukan,” papar Hadi S. Alikodra, pakar konservasi senior Indonesia.
Menentukan rumah kedua
Penentuan lokasi rumah ke dua badak jawa, perlu ditentukan segera. Saat ini, hanya 60 persen dari luasan Semenanjung Ujung Kulon yang digunakan sebagai wilayah sebaran badak. Sisanya, perbukitan Gunung Payung di bagian barat dan Gunung Kendeng bagian tengah, tidak digunakan sebagai area jelajah.
Menurut Widodo Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia [YABI], pada pembahasan Draf SRAK Badak Jawa 25 Januari 2019 lalu, Ujung Kulon sebagai habitatnya badak jawa karena “terpaksa” sebab, di tempat lain persebarannya terancam perburuan. “Namun, tidak mudah mendapatkan rumah ke dua badak jawa sebagaimana Ujung Kulon,” ujarnya.
Kriteria rumah kedua badak jawa:
- Habitat nyaman, sesuai perilaku hidup
- Akses mudah untuk pengelolaan jangka panjang
- Bebas perburuan dan kerusakan habitat
- Jauh dari lokasi bencana seperti tsunami [tidak di tepi pantai], gempa [tidak dekat sesar patahan], erupsi gunung berapi (tidak dekat gunung api aktif], dan longsor [tidak ditempatkan di perbukitan].
- Keragaman vegetasi, khususnya jenis-jenis pakan tinggi.
Selain perencanaan teknis, pendananan yang cukup sangat diperlukan untuk penyelamatan badak jawa. Pastinya dengan komitmen kuat semua pihak. Tanpa aksi nyata, sama saja membiarkan badak jawa menuju kepunahan, meski berbagai strategi dipersiapkan.
*Haerudin R. Sadjudin, Peneliti badak senior, lebih 40 tahun terlibat program konservasi badak di Indonesia