- Demonstrasi warga mendesak Gubernur Sultra, mencabut sekitar 15 izin tambang di Wawonii, sudah dua kali dalam Maret ini. Pada Rabu (6/3/19), berakhir ricuh, beberapa orang dilarikan ke rumah sakit.
- Tercatat, ada 11 orang luka, baik warga maupun polisi. Kaca kantor gubernur pecah, pelayanan publik pun juga lumpuh total. PNS dan honorer sibuk menyaksikan warga dan aparat bentrok.
- Massa ditemui Kadis ESDM, Andi Azis dengan menyampaikan enam poin, pertama, di Wawonii ada 18 IUP. Rinciannya, tujuh IUP mineral logam dan batuan dan 11 IUP non mineral logam dan batuan. Kedua, soal koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Ketiga, pemprov akan mendatangi kementerian baik ESDM dan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Keempat, soal menyiapkan langkah apabila ada gugatan dari perusahaan. Kelima, akan menelaah risiko pencabutan IUP. Keenam, akan menurunkan tim di lokasi melihat dan mendalami bagaimana duduk persoalan.
- Penolakan tambang di Wawonii, sudah sejak lama. Bahkan, sudah disaapaikan sejak kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra 2018. Gubernur Ali Mazi berjanji menolak pertambangan. Setelah duduk, gubernur dinilai lambat memenuhi janjinya.
Aksi warga menolak pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, pada Rabu (6/3/19), berakhir panas. Aparat keamanan dari Satpol PP dan polisi menembakkan gas air mata bahkan, sampai trjadi pemukulan terhadap pendemo. Beberapa orang dilarikan ke rumah sakit.
Wawonii, merupakan pulau kecil di Sultra, seluas 715 kilometer persegi, tetapi dikerubuti belasan izin tambang. Demonstrasi warga mendesak Gubernur Sultra, mencabut sekitar 15 izin tambang di Wawonii, digelar di Kantor Gubernur, sudah dua kali dalam Maret ini.
Baca juga: Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes Berbuah Aniaya dan Penangkapan
Aksi pertama, Senin (4/3/19), sekitar 300 warga mendatangi kantor gubernur, didampingi organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Kendari, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan LMND Kendari. Mereka bersatu dalam elemen bernama Front Rakyat Sultra Bela Wawonii.
Dalam aksi pertama, warga dan mahasiswa terlibat saling dorong dengan polisi–Polda Sultra dan Polres Kendari—dan Satpol PP. Massa mencoba mendobrak barikade keamanan guna menemui Gubernur Sultra, H. Ali Masi. Tindakan saling dorong tak berlangsung lama, massa memilih mundur.
Baca juga: Warga, DPRD dan Pemerintah Konawe Kepulauan Tolak Tambang, Bagaimana Sikap Gubernur?
Di depan gerbang Kantor Gubernur Sultra, mahasiswa menggelar teatrikal dan kubur diri. Dalam teatrikal mereka menggambarkan tanah Wawonii, yang dulu penuh nyiur nan rimbum, seketika berubah. Kelapa tumbang dan tanah dikeruk investor tambang. Warga menjerit dan menangis menyaksikan ini.
Pada Rabu (6/3/19), Front Rakyat Sultra Bela Wawonii, kembali menggelar demo. Massa lebih banyak. Pada demo kedua ini, warga dan mahasiswa tak ada jedah menggelar long march dari Kampus Universitas Halu Oleo hingga ke depan kantor gubernur. Sampai di kantor gubernur, massa mendorong barikade polisi dan Satpol PP.
Aparat berjatuhan menghalau warga. Massa akhirnya berhasil masuk ke halaman Kantor Gubernur Sultra. Tak mau kalah dari warga, seorang anggota Polres Kendari menembakkan gas air mata tepat di tengah-tengah demonstran. Bukan cuma sekali, ledakan gas air mata terdengar puluhan kali.
Kepulan asap dari gas air mata, membuat warga dan mahasiswa berhamburan. Saya juga tak luput semburan gas air mata. Begitu juga ibu-ibu berumur 50-60 tahun yang ikut aksi. Mereka duduk tersimpuh karena mata perih.
Ada yang pingsan, dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ada juga berlari tak tahu arah, mata tak bisa dibuka karena perih. Warga kalang kabut.
Ricuh terjadi dua kali. Pertama, depan gerbang kantor gubernur, kedua, usai pertemuan antara Kadis Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, Andi Azis, dengan warga.
Tercatat, ada 11 orang luka, baik warga maupun polisi. Kaca kantor gubernur pecah, pelayanan publik pun juga lumpuh total. PNS dan honorer sibuk menyaksikan warga dan aparat bentrok.
“Kawan kami dipukuli Pol PP dan Polisi seperti binatang. Walau sudah terjatuh masih juga dipukuli menggunakan rotan,” kata Mando, kordinator lapangan.
Mando mengatakan, aksi mereka adalah aksi damai. Warga hanya ingin bertemu Gubernur, H. Ali Mazi, agar mencabut 15 IUP di Wawonii. Mando juga kecewa atas sikap Wakil Gubernur, Lukman Abunawas.
Walau warga sudah dipukuli dan ditembaki gas air mata, Lukman, tidak mau keluar dari ruang kerjanya.
“Dia hanya mengutus Pak Andi Azis. Padahal, dia ada di ruang kerja. Ini kami tahu dari Pak Andi Azis sendiri,” katanya.
Dia tahu alasan Lukman Abunawas, tak mau menemui massa, karena takut. Kelimabelas izin tambang ini, terbit saat Lukman menjadi Bupati Konawe pada 2007-2013.
Respon Pemerintah Sultra
Massa ditemui Kadis ESDM, Andi Azis. Dia menyampaikan, enam poin. Pertama, katanya, di Wawonii ada 18 IUP. Rinciannya, tujuh IUP mineral logam dan batuan dan 11 IUP non mineral logam dan batuan.
Kedua, soal koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Ketiga, pemprov akan mendatangi kementerian baik ESDM dan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Keempat, soal menyiapkan langkah apabila ada gugatan dari perusahaan. Kelima, akan menelaah risiko pencabutan IUP. Keenam, akan menurunkan tim di lokasi melihat dan mendalami bagaimana duduk persoalan.
Dia berjanji, membahas aspirasi pendemo, dalam rapat internal yang dipimpin langsung Gubernur Sultra. “Ini kami akan tindaklanjuti dan koordinasi dengan lembaga-lembaga baik daerah maupun pusat. Banyak yang harus kami koordinasikan dengan para lembaga-lembaga berwenang,” katanya.
Masih di rumah sakit
Dari ricuh demo tolak tambang warga Wawonii, tercatat tujuh orang jadi korban, empat ibu-ibu dan tiga mahasiswa. Sampai Kamis (7/3/19), tujuh orang itu masih mendapatkan perawatan di RSUD Kota Kendari. Ibu-ibu lemas karena terpapar asap gas air mata. Sedang tiga mahasiswa dirawat karena mendapat pukulan benda keras.
Hasinah, perempuan 53 tahun ini petani di Wawonii. Dia bilang, kepala pusing dan mata merah. Meskipun begitu, dia tak gentar. “Konsekuensi perjuangan. Daripada kita mati perlahan-lahan karena pulau ditambang. Mending, kami mati di Kendari, saat demo saja,” katanya.
Dia tak akan berhenti menyuarakan penolakan tambang di Wawonii. Belum juga beroperasi, perusahaan tambang sudah mencaplok lahan mereka. Pohon produksi mereka, seperti jambe mente, pun terancam.
“Mau digusur semua. Kami tidak mau. Kami menolak tambang. Kami mau bertani. Kami sudah bisa hidup,” katanya.
Gubernur lambat cabut izin
Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi, dinilai lambat mencabut IUP di Wawonii. Gubernur juga terkesan membiarkan masalah ini berlarut dan rela melihat korban berjatuhan.
Mando, kordinator warga menolak tambang mengatakan, masalah di Wawonii, sudah disampaikan sejak kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra 2018.
Kala Ali Mazi menginjakkan kaki di Wawonii, kata Mando, warga sudah menyampaikan keluhan soal tambang.
Kala itu, Ali berjanji siap menolak pertambangan di Pulau Kelapa itu. Setelah duduk jadi gubernur, Ali seakan lupa ingatan. Hal itu terlihat pada program 100 hari Ali Mazi.
“Tak ada penyelesaian konflik Wawonii. Kami sampaikan lewat demo di DPRD Sultra, hasilnya DPRD mengeluarkan rekomendasi agar gubernur segera mencabut IUP. Sampai sekarang, masuk 2019, IUP tidak juga dicabut,” kata Mando.
Mando mengatakan, masalah tambang di Wawonii, menabrak setidaknya dua aturan, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Peraturan Pemerintah Sulawesi Tenggara tahun 2014.
Pulau kecil, seharusnya bebas izin tambang
Pulau Wawonii, katanya, masuk pulau-pulau kecil di Indonesia. Ekosisitemnya harus tetap terjaga dan tak boleh ada pertambangan karena bisa merusak.
Dia bilang, yang masuk IUP penambangan di Wawonii, ada enam kecamatan dengan luas 23.373 hektar atau 32,08% dari total daratan Kepulauan Wawoni, hanya 73.992 hektar.
Berdasarkan UU Nomor 1/2014 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, luasan suatu wilayah yang bisa ditambang lebih dari 2.000 kilometer persegi. Luasa wilayah Wawonii, hanya 700-an lebih kilometer persegi, atau 73.000-an hektar.
Enam kecamatan yang masuk dalam wilayah IUP, kata Mando, Wawonii Barat, Wawonii Tengah, Wawonii Selatan, Wawonii Timur, Wawonii Utara, dan Wawonii Tenggara.
Dalam RTRW Sultra No 2/2014, Pasal 39, menjelaskan, Wawonii tidak untuk kawasan pertambangan. Wawonii hanya buat pertanian, perikanan dan pariwisata.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Konawe Kepulauan juga menyebutkan, pulau ini rawan bencana longsor dan banjir. “Tak bisa ada aktivitas pertambangan,” katanya.
Dari rincian itu, kata Mando, gubernur sudah bisa mencabut IUP di Wawonii. Sayangnya, dari keterangan-keterangan itu, Ali Mazi belum bisa mengambil sikap. “Kami hanya mempertahankan budaya kami. Kami petani dan pengusaha jambu mete dan kopra. Bukan penambang. Kami takut daerah rusak. Ini yang kami perjuangkan.”
Walhi Sultra, juga mengecam tindakan represif polisi kala membubarkan massa demonstrasi yang menolak pertambangan di Konawe Kepulauan.
Saharuddin, Direktur Eksekutif Walhi Sultra, mendukung, perjuangan warga Wawonii. Mereka, katanya, ingin mempertahankan lingkungan hidup sehat dan dilindungi Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009.
Kepolisian dan Pol PP, katanya, seharusnya bisa menahan diri dan tak anarkis kepada warga. Mereka, katanya, hanya sekelompok orang yang menyuarakan keprihatinan terhadap tempat hidup.
Walhi mendesak, pelaku kekerasan baik Polri maupun Satpol PP bisa ditindak sesuai hukum berlaku.
“Kekerasan itu tindak pidana. Harus diusut,” kata Udin, sapaan akrabnya.
Selain itu, kata Udin, Konkep, merupakan pulau kecil yang tak layak ada eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan.
“Kami juga mendesak gubernur mencabut IUP. Kami meminta, warga bersama-sama berkolaborasi menggugat pemerintah agar mencabut IUP itu.”
Hidayatullah, Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (Jadi) Sultra, dalam keterangan pers, mengatakan, cara aparat menggunakan kekerasan dalam menangani demonstrasi di luar batas prosedur. Dia menuntut, Pemprov Sultra dan kepolisian bertanggung jawab karena jatuh korban.
Demonstrasi, katanya, bagian dari ekspresi pendapat, yang dijamin dalam negara demokrasi. Penyampaian pendapat itu, katanya, harus dilindungi. “Meminta Gubernur Sultra dan Kapolda Sultra, minta maaf terbuka atas kekerasan itu.”
Keterangan foto: Dua mahasiswa terbaring kesakitan. Mereka dipukuli pakai rotan oleh polisi dan Satpol pp. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia